Kata “mazhab” sangatlah populer di Indonesia. Ia berasal dari kata kerja dalam bahasa Arab “dzahaba” yang artinya pergi.
Secara morfologis atau tasrif, kata “madzhab” adalah masdar mim (mim-prefixed verbal noun) atau isim makan (kata benda yang menunjukkan tempat), yang artinya: bepergian atau tempat bepergian.
Setelah diserap dalam bahasa Indonesia, dia mengalami “pribumisasi” ejaan dan ditulis sebagai: mazhab.
Di kalangan umat Islam, kata ini biasanya dikaitkan dengan sebuah aliran pemikiran dalam bidang hukum Islam: fikih. Karena itu, ada mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Mayoritas umat Islam di Indonesia mengikuti mazhab atau aliran pemikirannya Imam Syaf’i.
Dalam konteks yang lebih luas, istilah mazhab dimengerti sebagai “school of thought”, aliran pemikiran dalam bidang apapun. Dalam bidang filsafat, misalnya, dikenal banyak mazhab pemikiran: idealisme, empirisme, strukturalisme, post-strukturalisme, post-modernisme, dll.
Dalam bidang pemikiran Islam, dikenal pula banyak mazhab. Prof. Al Makin dari UIN Yogyakarta, misalnya, pernah menggunakan istilah: Islam mazhab Sapen alias mazhab IAIN Yogyakarta.
Teman-teman Ciputat juga menciptakan istilah yang tak kalah “serem”: Mazhab Ciputat, untuk menyebut aliran pemikiran Islam yang berkembang di IAIN Ciputat. Mazhab Ciputat ini banyak dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Prof. Harun Nasution dan Cak Nur.
Dengan kata lain, kata mazhab selama ini dikatakan dengan hal-hal yang bersifat serius karena berkaitan dengan hal-hal yang abstrak, yaitu pemikiran. Anda pasti tak pernah membayangkan bahwa kata ini, dalam bahasa aslinya, pernah dipakai dalam pengertian yang sangat tidak “serius”.
Pada abad ketiga Hijriyah, kira-kira pada tahun 800an Masehi, artinya pada masa klasik Islam, istilah “mazhab” pernah dipakai dalam pengertian yang amat tidak serius: pergi jauh untuk buang hajat. Kalau dalam bahasa pesantren ya kira-kira: “lunga ngising”.
Itu tergambar dalam sebuah hadis riwayat Imam Abu Dawud (w. 889 M) yang mengisahkan bahwa Nabi biasanya pergi jauh ke padang pasir untuk buang hajat, sehingga tidak terlihat oleh orang banyak. Pada zaman Nabi, tradisi “jamban” belum begitu populer di kalangan masyarakat Arab. Jika hendak buang hajat, mereka akan menyingkir ke luar jauh dari pemukiman, ke padang pasir.
Dalam koleksi hadis susunan Imam Abu Dawud disebutkan:
ان النبى اذا ذهب المذهب ابعد.
Maksudnya: jika Nabi hendak pergi untuk menunaikan hajat, beliau akan mencari tempat yang jauh. Ungkapan yang dipakai dalam hadis ini adalah: “idza dzahaba al-madzhaba”. Kata “madzhab” di situ dipakai dalam pengertian umumnya, yaitu pergi.
Jadi, secara kebahasaan, kata mazhab artinya pergi, termasuk pergi, misalnya, untuk ngaji, pergi ke warung makan, pergi ke kampus, dsb.
Atau pergi nonton film Dilan, boleh juga disebut “mazhab”. Jadi, jangan selalu berpikir serius soal kata “mazhab” ini.