Sedang Membaca
Damarjati Supadjar dan Garis Hubung Islam-Jawa
Ubaidillah
Penulis Kolom

Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, BRIN, yang menekuni kajian budaya, agensi, perubahan sosial yang tercermin dalam bahasa. Sekarang tengah melaksanakan riset mengenai kaitan folklor dan proses islamisasi masa awal di wilayah Cirebon. Ia menyelesaikan Program S1 Sastra Indonesia di Universitas Jenderal Soedirman dan S2 di Program Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada.

Damarjati Supadjar dan Garis Hubung Islam-Jawa

Islam Jawa

Kolega saya di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Muhammad Nur Prabowo Setiabudi baru saja menerbitkan ‘Islam-Jawa: Menyingkap Ajaran Keutamaan dalam Agama, Spiritualisme, dan Filsafat Jawa’. Buku ini menelaah secara sistematis pemikiran Damarjati Supadjar, seorang profesor di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, yang telah wafat pada 2014 lalu.

Singkat kata, buku ini penting untuk memahami bagaimana kelanjutan diskursus keislaman di tanah Jawa pada masa kontemporer ini. Ketajaman penulis menelaah pemikiran Damarjati Supadjar ini termanifestasi dalam keputusan memberi tanda hubung dalam judul Islam-Jawa.

Secara struktural, Islam-Jawa adalah kata, bukan sebuah frase sebagaimana bila penulis memutuskan menjudulinya dengan Islam Jawa atau Jawa Islam. Keputusan garis hubung adalah keputusan morfologis ketika kita menggunakan kacamata ilmu linguistic. Berbeda jenis dengan pembentukan frase yang berada di ranah tradisi sintaksis yang mempelajari satuan kata yang telah tetap maknanya.

Islam-Jawa dibentuk dengan mempersatukan komponen makna dari morfem (satuan pembentuk kata). Dengan kata lain, dunia batin kata yang disatukan dalam manifestasi struktural inderawi kata Islam-Jawa. Penjudulan Islam-Jawa telah menunjukkan substansi pemikiran Damarjati Supadjar itu sendiri bahwa Islam telah mengisi dunia batin kebudayaan Jawa. Pengaruh di level batin ini yang membuat apa yang tampak secara lahiriah sering dianggap tidak Islami, tetapi ketika diperiksa sampai menyentuh dimensi esoterisnya tidak terlepas dari penghayatan keberislaman.

Pembentukan judul Islam-Jawa disadari atau tidak oleh penulis sebenarnya meneruskan tradisi berpikir Masyarakat Jawa yang kerap membentuk struktur yang anti-struktur bila saya meminjam peristilahan Prof. PM. Laksono dalam pidato valediktorinya. Kita menjadi serba salah dalam dekonstruksi Islam-Jawa. Kita tidak bisa bilang Jawa sama dengan Islam, karena pembentukannya melibatkan morfem yang berbeda. Namun, kita juga tidak bisa memisahkannya begitu saja, karena konstruksi tersebut bukan sebuah frase yang memungkinkan tiap kata penyusunnya berdiri sendiri. Islam dan Jawa tetap merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi terhubung secara manunggal.

Baca juga:  Sabilus Salikin (49): Tarekat Junaidiyah: Kisah al-Junaid (2)

Sebelum membaca buku karya Muhammad Nur Prabowo Setiabudi ini, saya membaca ‘Saya, Jawa, dan Islam, sebuah karya otobiografi intelektual Irfan Afifi. Buku yang terakhir disebut itu merupakan kegelisahan penulisnya menghadapi kenyataan seolah Jawa dan Islam saling menegasikan. Kegamangan diri (saya) di antara Jawa dan Islam ini menuntun Irfan Afifi untuk menelaah berbagai literatur mengenai Jawa dan Islam.

Kegamangannya sedikit terjawab ketika sampai pada babak sejarah pasca-Perang Diponegoro (1825-1830), pemerintah kolonial mendirikan Institut Bahasa dan Budaya di Surakarta pada 1832. Lembaga ini berfokus melakukan penelitian filologis dan arkeologis mengenai kejawaan. Irfan Afifi menyebut lembaga riset ini berusaha keras untuk ‘menciptakan imaji ‘Jawa asli’ atau ‘Jawa esensi’ yang belum terkontaminasi dengan unsur asing bernama Islam’. Jawa asli yang cukup jinak terhadap kolonialisme karena Jawa pasca-Islam telah menghasilkan perang yang traumatik bagi pihak kolonial.

Buku Manunggaling Kawula Gusti yang ditulis Zoetmulder pada 1906 masih dalam konteks riset filologis yang sama terhadap pemikiran Syekh Siti Jenar. Pembahasan sinkretisme kental di sana, salah satunya adalah perihal sikap meditasi ajaran Syekh Siti Jenar disebut Zoetmulder dipengaruhi oleh tradisi Tantra. Sifat sinkretis ini yang kerap membuat tokoh ini disebut mistikus heterodoks seperti yang terdapat dalam tulisan H. J. de Graaf. Padahal Syekh Siti Jenar selain melaksanakan tarekat Syattariyah, juga membangun tarekat Akmaliyah, dan sikap meditasi atau dzikir tarekat ini menurut Martin Van Bruinessen (1994) dipengaruhi salah satu cabang tarekat Kubrawiyah, tarekat yang didirikan dan dipimpin Najmudin Al Kubra.

Baca juga:  Hikayat Buku dalam Peradaban Islam

Dalam horizon pemikiran Damarjati Supadjar, filsafat manunggaling kawula gusti ini serupa kalimat tauhid laa ilaaha illalah. Damarjati Supadjar memasukkan filsafat tersebut dalam kategori Rukun Ikhsan, bersama Innalillahi wainna ilaaha illalah (sangkan paraning dumadi), dan laa haula walaa quwwata illa billah (pamoring kawula gusti). Rukun ikhsan ini lebih ditemui dalam disiplin-disiplin tasawuf.

Membaca Damardjati Supadjar dalam rentang perjalanan ide dapat kita lihat dalam transformasi ungkapan ‘mati sajeroning urip-mati di dalam hidup’. Menurut Zoetmulder, mati sajeroning urip adalah salah satu aspek dari manunggaling kawula gusti. Damarjati Supadjar menerjemahkannya sebagai ‘meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia. Serat Kala Tidha yang ditulis oleh Ranggawarsita pun mengutip mati sajroning ngaurip ‘mati di dalam hidup’. Serat Centhini pun memiliki bait ngrasa mati jro ning urip ‘merasa mati di dalam hidup’.

Buku Islam-Jawa ini mengurai perjumpaan Damarjati Supadjar dengan pemikiran-pemikiran para filsuf Jawa. Konstruksi pemikiran Damarjati Supadjar sebagai monumen kontemporer memiliki garis hubung dengan Ki Ageng Suryomentaram, Raden Mas Panji Sosrokartono, Ranggawarsito, Yasadipura I, Sultan Agung Hanyakrakusomo, Alfred North Whitehead, dan sederet nama lainnya. Dalam jaringan pemikiran demikian, kita bisa mengatakan bahwa Damarjati Supadjar adalah garis hubung pemikiran Islam-Jawa.

Garis hubung ini melampaui perbincangan Islam Jawa dalam koridor Muhammadiyah sebagai perserikatan yang lahir dari rahim keraton Jawa di Yogyakarta, atau Nahdlatul Ulama yang akomodatif terhadap praktik tradisi lokal dalam menjalankan kehidupan beragama. Damarjati Supadjar terhubung dengan pemikiran yang tumbuh dalam proses Islamisasi Jawa pada abad-15, bila kita menempatkan acuan manunggaling kawula gusti disampaikan Syekh Siti Jenar yang hidup pada masa itu.

Baca juga:  Al-Intishar wat Tarjih: Kristologi Jawa-Pegon Karangan Muhammad Humaidi Shalih al-Jawi (1930)

 

Referensi

Afifi, Irfan. 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Sleman: Tanda Baca.

Bruineseen, Martin Van. 1994. Studies of Sufism and the Sufi Orders in Indonesia. Die Welt des Islams, vol. 38, hal. 192-219.

Laksono, Paschalis Maria. 2023. Siap Kejut. Disampaikan pada acara pamitan pensiun Guru Besar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada pada 4 April 2023.

Setia Budi, Muhammad Nur Prabowo. 2023. Islam-Jawa: Menyingkap Ajaran Keutamaan dalam Agama, Spiritualisme, dan Filsafat Jawa Damarjati Supadjar. Malang: Pustaka Peradaban

Zoetmulder, P.J. 1991. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan monism dalam sastra suluk Jawa: Suatu Studi Filsafat. Jakarta: Perwakilan Koninklijk Instituut Voor Taal, en Volkenkunde dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top