Perkembangan Islam setelah terbentuknya agama secara definitif, memang selalu menarik perhatian pengamat. Tidak saja dari soal perkembangan intelektualitasnya yang sedemikian mengakar dengan tradisi filsafat klasik, namun di sisi lain bahwa corak mistik yang juga memiliki keterkaitan dengan tradisi helenistik di sekitar abad pertengahan ternyata menampilkan realitas dunia Islam semakin unik dimana hampir warisan intelektual seperti ini tak dimiliki oleh pengalaman agama-agama mana pun. Dimensi mistiknya terutama memperoleh kedudukan yang cukup kuat dan tetap bertahan hingga saat ini, menjadi warna tersendiri dalam perjalanan sejarah aktivisme-intelektual Islam.
Di Indonesia, perkembangan tarekat mungkin beriringan dengan proses islamisasi, sejauh bahwa tarekat dipahami sebagai bentuk ajaran tasawuf yang dibawa oleh para pedagang Arab, India, atau Persia ketika singgah di wilayah Nusantara. Pada abad ke-8 atau 9, Islam memang telah masuk ke wilayah ini yang penyebarannya mulai pesat setelah abad ke-13, dimana telah terdapat organisasi dagang Sufi (ta’ifah) yang terlibat secara aktif dalam penyebaran Islam. Tiga abad kemudian, muncul tokoh sufi besar, Hamzah Fansuri, penyair Sufi prolifik dan menonjol dalam sejarah kesusastraan Melayu. Ulama tasawuf kelahiran Barus—yang menurut Tome Pires dikenal di Barus terdapat kerajaan “Panchur” atau “Fansur—sehingga nama “Fansuri” jelas merujuk pada daerah dimana ulama mistik ini dibesarkan. Fansuri merupakan ikon mistisisme Islam di Nusantara, terutama dari karya-karya sastranya yang tampak dipengaruhi ajaran-ajaran monisme Ibnu ‘Arabi.
Barangkali bahwa perkembangan tarekat di Jawa juga memperoleh akar historisnya melalui aktivitas perdagangan dari para cendekiawan, ulama, serta tokoh tarekat yang berasal dari Sumatera yang kemudian ikut memperluas penetrasi Islam yang puncaknya dimulai sejak abad 16 atau 17. Nampaknya, di Jawa, tarekat tumbuh subur sebagai aktivisme-intelektual dibawah tradisi pesantren, sebab apa yang diistilahkan sebagai “tasawuf” yang berkonotasi “jalan” atau tepatnya “jalan menuju surga” yang aspek-aspeknya bersifat etis dan praktis sering dipertukarkan maknanya dengan istilah “tarekat” oleh para kyai pesantren. Dalam tradisi pesantren istilah “tarekat” diberi makna sebagai “bentuk kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkan dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial, dengan menjalankan praktik wira’i dan mempraktikkan riyadhah” (Dhofier: 2011). Sekalipun bahwa aspek tarekat juga merupakan cara berpolitik para kyai untuk menyembunyikan identitas anti-kolonialisme dirinya yang kerap dicurigai pihak penjajah sebagai “islamisme ekstrem”, cara ini tetap paling efektif untuk menarik masyarakat yang pada saat itu terpapar tekanan politik dan ekonomi akibat kolonialisme.
Dari definisi di atas, tampak terdapat dua ciri utama dalam aspek tarekat, yaitu kepatuhan kepada syariat Islam melalui pengamalan yang ketat, mempraktikkan wira’i serta riyadhah, dimana yang pertama merupakan cara hidup yang “asketis” dengan tujuan membangkitkan kesadaran profetik dalam diri seseorang melalui keteladanan spiritual para nabi, sedangkan yang kedua merupakan praktik hidup sederhana dan prihatin, seperti berpuasa dan menahan diri dari makan dan berpakaian sekadar kebutuhannya. Praktik kedua ini akan membentuk kesalehan asketik, dimana dorongan duniawi umumnya lebih cenderung ditekan untuk tujuan pencapaian kualitas “kesucian” tertentu. Tarekat dengan demikian, seharusnya memadukan aspek lahir dan juga batin secara harmonis, dimana kecerdasan intelektual melalui peneladanan profetik secara lazim dipadukan dengan pengalaman spiritual yang dijalankan melalui aspek kesederhanaan dan “kefakiran” dalam konteks sosial.
Puncak dari ajaran tarekat tentu saja “kemurnian tauhid” sebagai implementasi dari konsep moral-intelektual triadik: Islam, Iman, dan Ihsan. Ketiga konsep ini dalam ajaran tasawuf dimodifikasi menjadi syariat, tarekat, dan hakikat, dimana islam merupakan gambaran syariat, iman mewakili tarikat, dan ihsan adalah abstraksi dari hakikat. Konsekuensi atas tafsiran doktrin tasawuf ini membawa pada kesimpulan sarjana Barat, bahwa tasawuf merupakan “ajaran tambahan” dalam Islam, padahal sesungguhnya tidak ada aspek tambahan apapun, kecuali menafsirkan “etico-moral” triadik tadi dalam dimensi esoteris-nya tidak melalui tafsiran umum secara eksoteris. Para ahli mistik dalam berbagai tradisi keagamaan cenderung menggambarkan langkah-langkah yang membawa kepada hadirat Tuhan sebagai “jalan” yang juga dibagi kedalam model triadik sebagaimana dalam tradisi Kristiani: “via purgativa” (syariat), “via contemplativa” (tarekat), dan “via illuminativa” (hakekat). Tarekat adalah jalan para sufi yang digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat sebagai “jalan utama” (syar’) sedangkan anak jalan disebut “thariq” dalam pengertian bahasa Arab.
Memang, bahwa para ahli tarekat meyakini dimana Nabi Muhammad saw memiliki serangkaian pengalaman mistik yang muncul dalam episode “kesadaran” kenabiannya dan hal ini tentu saja dibenarkan Al-Qur’an. Namun demikian, Fazlur Rahman tampaknya memandang bahwa pengalaman mistik Nabi dibatasi hanya pada periode Makiyah saja, sebab pada konteks Madaniyah, kita hanya akan melihat pengungkapan yang progresif dari cita religio-moral dan tata kemasyarakatan Muslim yang pada saat itu baru saja terbentuk. Klaim sementara para sufi yang menyatakan selalu mengikuti jejak spiritual Nabi mungkin saja terbantahkan oleh kenyataan historis periode Madaniyah dan mayoritas sahabat Nabipun pada saat itu tidak banyak bertanya soal pengalaman-pengalaman spiritual tersebut.
Suatu pengalaman spiritual tentu saja tidak begitu secara mudah dipahami terlebih dipraktikkan. Oleh sebab itu, dalam tradisi tarekat, seseorang harus mempunyai “penghubung” agar sampai kepada “pemahaman” spritualitas tertentu. Uniknya, cara-cara pengalaman tarekat dapat dianggap sah bila dilakukan dibawah bimbingan guru. Hal inilah barangkali yang kemudian banyak diantara sarjana Barat yang menyimpulkan berdasarkan pengamatan mereka dimana para guru tarekat pada dasarnya bertindak sebagai perantara bagi para muridnya yang ingin berhubungan dengan Tuhan; memiliki otoritas mutlak atas murid-muridnya, baik dalam kehidupan spiritual maupun material, sehingga tarekat hampir merupakan bentuk “pemujaan” terhadap pemimpin-pemimpinnya.
Bagi saya, nilai-nilai etik-spiritual yang ada dalam ajaran dan doktrin tarekat, dapat dipelajari dan dimanfaatkan dalam rangka membangkitkan kesadaran profetik: meneladani sifat-sifat kenabian yang secara intelektual mampu mengubahnya menjadi entitas akhlak yang cenderung menghormati dan menyayangi sesama berdasarkan aspek kebenaran-intuitif berdasarkan renungan-renungan mendalam atas ayat-ayat Tuhan dan tradisi kenabian. Model intuitif dapat diperoleh melalui jalan tertentu melalui tradisi intelektual yang lazim. Ketika metodologi pengetahuan kering dimensi spiritual karena terlampau positivistik, maka intuisi merupakan alternatif “kebenaran” dalam mengisi kekosongan nilai-nilai spiritual suatu pengetahuan yang bersifat empiris.
Saya kira, tujuan utama misi kenabian bukanlah puncak spiritualitas, tetapi manifestasi dari kesempurnaan tauhid yang tidak hanya dimaknai secara teologis, tetapi juga sosiologis. Tuhan hadir dalam ruang iman dan kita taat kepada hukum-hukum-Nya yang mengikat secara moral-transendental. Tauhid bukan sekadar meneguhkan kehambaan manusia dihadapan Tuhan, namun juga menunjukkan eksitensi manusia sebagai “khalifah” yang bertugas memakmurkan bumi, bukan berdiam diri dibalik bilik-bilik “sakral” kontemplasi. Menyadari bahwa fungsi manusia tidak hanya sebatas “hamba” tetapi juga “khalifah”, maka kesenyawaan keduanya akan menuju pada upaya revolusi tauhid: hamba Allah yang siap mengubah dunia dan membangun peradaban. (RM)