Sedang Membaca
Mazhabisme dan Wahabisme
Syahirul Alim
Penulis Kolom

Penulis lepas soal agama, sosial, dan politik.

Mazhabisme dan Wahabisme

pesantren

Saya kira kontribusi terbesar dari wacana internalisasi konflik dalam sejarah Islam kontemporer adalah kepentingan politik, yang secara dikotomis diwakili oleh kelompok yang meyakini mazhab Islam ortodoks dan disisi lain mereka yang secara ‘heterodoks’ tidak mengakui atau mengabaikan keberadaan mazhab yang terbentuk sedemikian rupa selama berabad-abad ini. Pertarungan pengaruh politis yang diwakili kedua kecenderungan ini hampir selalu mempersoalkan klaim antara sunah dan bid’ah, tidak lebih!

Perkara sunah dan bid’ah ini tentu saja persoalan klasik yang telah muncul sejak jaman Nabi Muhammad masih hidup. Sunah dalam konteks ‘langage’ nya—meminjam istilah Roland Barthes—adalah “tradisi” atau kebiasaan hidup masyarakat yang menyejarah, yang secara semantik telah sedemikian dipahami oleh masyarakat Arab. Sunah dalam konteks tradisi masyarakat Arab pra-Islam, tentu saja mencakup segala kebiasaan baik dan juga buruk. Maka, seketika setelah Nabi hijrah ke Madinah, muncul istilah “muhdats” atau “bid’ah” (pembaharu atau kreator) yang muncul sebagai oposisi biner terhadap sunah. “Siapa yang mengadakan perkara baru (muhdats) yang diluar kebiasaan, maka dia telah melakukan bid’ah (haddaatsan)“, demikian kata Nabi.

Bid’ah dengan demikian lebih dekat kepada konotasi politik, sebab yang dilarang Nabi adalah melanggar sunah atau kebiasaan baik yang ditetapkan kepada umat muslim pada waktu itu agar tidak melanggar “kesucian” kota Madinah, dengan merusak, memfitnah, atau membangkitkan rasa permusuhan diantara sesama masyarakatnya sesaat setelah ditetapkannya Madinah oleh Nabi menjadi wilayah “haram” sama seperti status kota suci Mekah yang lebih dahulu disebut wilayah yang sangat dihormati (al-haram).

Baca juga:  Krisis Otoritas Tokoh Agama

Dari urusan politik ini, kemudian melebar tak karuan sampai ke ranah teologis, akidah, bahkan mistis. Barangkali, sejak dimulainya masa kekhalifahan yang empat (al-Rasyidun) berbagai perbedaan muncul—dimana hampir seluruhnya lebih bercirikan politik daripada agama—sekalipun perbedaan atau tepatnya “penyimpangan” terhadap sunah, tidak kemudian dinilai sebagai bid’ah, apalagi sampai dituduh sebagai hal yang sesat dan menyesatkan. Buktinya, Umar bin Khatab dengan santai menyatakan “nikmatnya bid’ah itu seperti ini” ketika mempraktikkan salat tarawih berjamaah dalam satu masjid dengan jumlah hitungan rakaat 23. Padahal, salat tarawih sebagaimana yang dilakukan Nabi lebih sering dilakukan secara sendiri-sendiri, hanya beberapa kali saja Nabi melakukannya di masjid secara berjamaah di setiap malam di bulan Ramadan.

Sejauh ini, memang sangat teramat sulit membangun suatu wacana dialogis antara dua kecenderungan pemikiran dan kultur kelompok Muslim, antara mereka yang mengklaim sebagai para pembela “kebenaran” mazhab—bahkan lebih sering terdistorsi hanya kedalam satu wajah mazhab—dengan mereka yang kerap dituduh sebagai kaum puritan, kolot, anti-pembaharuan, berjenggot, berjubah dst. Proses dialogis hampir tak mungkin terjadi, selama setiap kelompok atau mazhab tersebut sama sekali belum merubah cara pandangnya tentang esensi akidahnya, melalui ijtihad, pembaharuan, mencipta sesuatu yang baru dan menggagas perubahan. Disatu sisi, “Mazhabisme” jelas sangat patuh terhadap ortodoksi sehingga hampir-hampir fanatik dalam membela pemikiran tradisionalnya, sedangkan disisi lain, Wahabisme semakin gencar mempertanyakan klaim-klaim ortodoksi melalui cara-cara yang “serampangan” sehingga kerap menjadi ajang perselisihan yang hebat di antara keduanya.

Baca juga:  Mimbar Jumat Roestam Hardjodipoero

Kita tampaknya belum siap untuk sampai pada suatu titik persamaan—padahal sejauh ini yang digembor-gemborkan hingga bosan adalah “persamaan” bukan “perbedaan”—dalam berkreasi sehingga berdampak pada pengakuan intersubyektif, bahwa kita tidak sama sekali khawatir terhadap terma “kreatifitas” (al-ibtida’) atau bid’ah. Saya sepakat dengan Ali Harb, dimana ia menulis dalam bukunya bahwa dua kata tersebut (ibtida’-bid’ah) tidak seharusnya dipahami dalam artian negatif, terlebih dipergunakan sebagai bentuk klaim untuk menuduh atau memfitnah golongan tertentu. Akan tetapi kita harus menggunakannya untuk arti positif-konstruktif, berupa karakteristik yang menunjuk kepada perbedaan yang produktif-kreatif.

Lebih lanjut Harb menulis, dimana setiap orang yang berbeda akan melalui jalan yang berbeda dan melangkah dengan langkah-langkah tertentu sebagaimana diyakininya. Karenanya, tak seorangpun berhak yang mengaku telah melewati jalan yang lurus dan benar. Sebab perbedaan-perbedaan jalan yang ditempuh sesungguhnya adalah kreatifitas dan masing-masing tentu saja adalah “kreator”. Maka, bid’ah tidak pernah menyesatkan, tapi lebih merupakan suatu penciptaan, kreasi dan monopoli dalam pengembalian prinsip-prinsip dasar dan pembacaan atas persoalan utama. Bagi saya, hampir dipastikan bahwa tak ada sejauh ini persoalan-persoalan pokok keagamaan Islam yang berbeda, kecuali hal-hal parsial sebagai bentuk “kreatifitas” yang membangkitkan nilai-nilai semangat keagamaan tetapi justru selalu terjebak kedalam lingkaran konflik tak berujung.

Baca juga:  Ramadan: Dari Rekonsiliasi yang Meleburkan Menuju Rekonsiliasi yang Menyuburkan

Bedug, tahlilan, marhabanan, maulidan, dst bukanlah bid’ah dalam konotasi negatif terlebih dipandang menyimpang dari kebenaran ajaran agama Islam. Namun, itulah kreasi dalam konteks menciptakan suatu pembaharuan secara konstruktif-produktif, terlebih terdapat nilai-nilai semangat dalam memberikan kesadaran akan prinsip-prinsip keagamaan dan keislaman yang lebih mementingkan ikatan-ikatan sosial daripada bentuk iman primordial. Namun sayangnya, “mazhabisme” kerap kali buta dalam memegang teguh suatu mazhab bahkan lebih banyak tereduksi kedalam satu kelompok atau golongan tertentu yang kental nuansa kepentingan fanatisme politik. Di sisi lain, Wahabisme terjebak dalam suguhan wacana kering surga-neraka yang sangat tertutup terhadap logika-logika perubahan dan kreatifitas. Realitas kita belakangan ini memang terkesan anti-dialogis, kecuali menciptakan “klaim kebenaran” masing-masing secara fanatik dalam mimbar bebas media sosial. Kita seolah terus menciptakan ketegangan sendiri yang berimbas kepada “perbedaan” dan konflik internal tanpa ujung dan Islam pada akhirnya terjebak dalam dikotomi antara Mazhabisme dan Wahabisme.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top