Pada masa lampau, masyarakat Suku Sasak mempercayai wariga sebagai acuan dalam berhubungan dengan orang lain, karena wariga mampu menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam masyarakat. Budayawan Lombok Lalu Ari Irawan menggambarkan bau nyale atau mencari cacing laut sebagai pembuktian yang jitu, kapan saatnya cacing-cacing itu muncul di permukaan dan dicari para nelayan. Semua itu bisa dilihat melalui wariga.
Adaptasi Hijriah
Ari Irawan menggambarkan konsep rowot dan tenggale sebagai penanda tahun, lantas variabel bulan dan matahari, dan mangse atau musim, hingga kemunculan rowot atau rasi bintang. Setelah penelitian dua tahun, Ari mencermati bagaimana orang Sasak mengadaptasi sistem Hijriah untuk pembuatan kalender, dengan nama-nama yang diubah. Muharam, misalnya, jadi Bubur Putik, Syawal jadi Mame. Masyarakat Sasak setelah memeluk Islam lantas menyesuaikan sejumlah pengetahuan baru dengan kebudayaannya sendiri yang sebelumnya telah mendarah-daging.
Tidak berlebihan rasanya jika wariga ini merupakan satu warisan peradaban yang agung dan bernilai sejarah. Sepanjang sejarah, masyarakat Nusantara, termasuk Sasak di Lombok, menciptakan peradaban klasik untuk memuliakan cara berpikir, berkata, dan berperilaku dalam kesehariannya.
Bagi pengajar Universitas Udayana Ida Bagus Rai Putra, manusia menyadari dirinya sebagai unsur kecil yang larut dalam proses peredaran alam semesta yang maha besar. Pandangan kosmik ini mendasari hubungan harmoni makrokosmos dengan mikrokosmos untuk mewujudkan ketentraman lahir-batin dalam kehidupan. Pengetahuan dan kepercayaan kepada zodiak klasik Nusantara terasa di dalam tradisi kehidupan, semisal zodiak klasik Bali yang mampu membaca sifat-sifat kelahiran anak manusia.
Dalam tradisi Sasak, wariga menjadi acuan dalam melakukan berbagai hal mulai upacara kelahiran hingga kematian. Kapan mulai bercocok tanam, menangkap ikan, melamar gadis, hingga mencuri. Lho, mencuri? Iya, katanya orang Sasak kalau mau mencuri juga melihat wariga. Kapan waktunya, jam berapa, lewat pintu mana, pulangnya ke arah mana. Waaaah…. Apakah berhasil? Belum tentu, karena jangan-jangan penghuni calon rumah yang dicuri juga menerapkan wariga sehingga tahu waktunya pencuri datang. Hahaha…. tentu tidak baiklah memanfaatkan wariga untuk maksud jahat.
Tradisi seperti wariga ini tidak harus dipercaya. Itu terserah kita. Namun wariga sebagai warisan budaya sepatutnya dilestarikan sebagai bagian dari sejarah dan proses berbudaya, sekaligus juga dikaji sebagai satu ilmu pengetahuan. Mengenai “ramal-meramal” yang bisa dilihat dalam wariga, sebaiknya diiringi dengan keyakinan bahwa masa depan dan kebenaran hanya milik Allah SWT. Ilmu ramal-meramal, toh banyak bentuk dan namanya di dunia ini. Wariga hanya satu di antara seribu, yang tentunya tidak dimaksudkan untuk menantang kekuasan Tuhan. Tanyakan saja pada orang Sasak……
Wallahu ‘alam bisshowab…...