Sedang Membaca
Sastra Sufistik: Intelektual Pesantren dan Warisan Ulama Nusantara
Sukmadi Al-Fariss
Penulis Kolom

Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Raden Mas Said Surakarta.

Sastra Sufistik: Intelektual Pesantren dan Warisan Ulama Nusantara

Sastra Sufistik

Perjalanan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional telah banyak melahirkan beragam tokoh dengan berbagai karyanya. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara, pesantren mempunyai corak yang khas dan antik dalam menghadirkan beragam keilmuan khususnya dalam ilmu keagamaan.

Buku yang ditulis oleh Raha Bistara ini akan membawa kita kepada pemahaman bahwa pesantren mempunyai kontribusi besar dalam perkembangan pendidikan di Nusantara baik secara keagamaan, budaya, sosial-politik, maupun kenegaraan. Pendidikan pesantren mulai berkembang sejak pada abad ke 15 bersamaan dengan didirikannya kerajaan Islam pertama oleh seorang tokoh bernama Raden Fatah di Demak. Kemajuan pendidikan pesantren mulai berkembang dan tersebar di berbagai wilayah yang nantinya akan mempengaruhi cepatnya penyebaran Islam di tanah Jawa. Tidak hanya itu, hadirnya lembaga Pesantren juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap keyakinan agama Hindu-Budha yang makin hari makin melemah.

Meskipun demikian, hubungan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak terlepas dari adanya pengaruh politik pada masa itu. Raha menjelaskan bahwa hubungan antara agamawan  dan  raja harus harmonis, keduanya bagaikan partner yang tidak dapat dipisahkan, dan saling melengkapi satu sama lain. Pesantren, kiai, dan santri meyakini akan pentingnya menjaga hubungan ini. Sebab hubungan diantara keduanya bukan hanya berbicara masalah sosial-politik  semata, melainkan juga sudah menjelma menjadi bagian etis dari peradaban Nusantara (Raha Bistara April 2024).

Baca juga:  Kaidah-Kaidah Fikih dalam Kelakar Hamzah Sahal

Pada konteks ini kita menyadari, bahwa kedudukan ulama dan para tokoh agama tidak dapat dipisahkan dari roda pemerintahan. Hal ini dikarenakan, ajaran masa lalu telah memberikan gambaran bahwa pendahulu bangsa baik masa pra-Islam maupun masa kini telah ikut serta dalam dunia pemerintahan. Selain sebagai bentuk kepedulian terdap Bangsa dan Negara, para Ulama juga berperan dalam lembaga pendidikannya (pesantren) sebagai penyebar agama Islam sekaligus sebagai penjaga stabilitas sosial-politik di Nusantara.

Warisan Ulama Nusantara

Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai pengaruh besar dalam transmisi keilmuan, pesantren tidak hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama, melainkan juga mencetak tokoh yang akan melahirkan beragam karya dengan nuansa corak dan keilmuan yang berbeda-beda. Hal ini dapat ditelusuri dengan hadirnya karya-karya ulama Nusantara yang sampai hari ini masih dapat kita baca dan nikmati.

Petualangan ulama Nusantara dalam berdakwah, nampaknya tidak hanya secara lisan melainkan juga tulisan. Tulisan-tulisan berisi ajaran agama Islam mulai dari menulis isi kandungan al-Qur’an, akidah, fiqih, tasawuf, dan lain sebagainya. Salah satu karya populer seperti Serat Anbiya (Kitab Para Nabi) yang mengisahkan sejarah perjelanan kenabian mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad Saw. Selain sejarah kenabian ada juga Serat Raja Pirngon (Kitab tentang Raja Firaun), menggambarkan kekejaman raja Mesir yang kemudia mendapatkan azab dari Allah atas kelakuannya.

Baca juga:  Keistimewaan Kesusastraan Al-Quran dan Kitab Asy-Syamil fi-Balaghatil Quran Karya Gus Awis

Meskipun demikian, tidak hanya soal cerita yang bernafaskan keagamaan, karya besar ulama lainnya yang memiliki nilai dan nuasa sastra juga tidak kalah menarik dalam meberikan pengaruh terhadap penyebaran Islam di Nusnatara. Seperti yang kita kenal seperti Serat Yusup yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita ini merupakan perpaduan unsur-unsur romantisdan keagamaan. meskipun cerita ini merujuk pada al-Qur’an, tetapi dalam nuansa yang lain serat ini memberikan bentuk khas kesusastraan Jawa yakni dalam tembang macapat.

Dalam karya yang lain seperti Serat Jatikusuma yang mengisahkan seorang anak raja di kerajaan asmarakandi di negeri Arab yang tidak mau menikah karena ia jatuh cinta kepada putri yang tidak seiman yang mendatanginya dalam satu mimpi. Citra sastra yang terkandung dalam setiap karya ataus serat ini juga menjadi nilai tersidiri sebagai corak dan cirikhas dan salah seorang karya ulama Nusantara.

Selain sastra, karya yang dihasilkan juga memiliki unsur yang berbeda seperti Serat Wulangreh yang berisi ajaran moral (piwulang) bagi generasi muda kelas elite yang ditulis apada tahun 1809, namun keberadaanya sering terabaikan. Karya lain disusul dengan hadirnya Serat centhini yang berisi 12 jilid. Karya agung ini lahri dari rahim para pujangga keraton Surakata  yang mempunyai kumpulan ilmu dari dunia luas pesantren Jawa pada awal abad ke 19.

Baca juga:  Usmar Ismail dan Nahdlatul Ulama: Estetika, Wacana, dan Gerakan

Meskipun secara dasar karya-karya ini mempunyai nilai sastra yang kuat namun keberadaan juga menjadi salah satu pemasok ilmu pengetahuan yang sampai hari ini masih eksis dan menjadi bahan pengetahuan. tidak hanya itu, Raha juga memberikan sentuhannya dengan memaparkan beberapa karya yang terlibat dalam dialektika pergulatan politik pada masa kolonial. Banyak naskah yang tersebar diberbagai wilayah namun dalam eksplorasinya, naskah-naskah ini masih terbilang masih sedikit dan belum terkaji secara penuh.

Dengan demikian lahirnya karya-karya ulama dinusantra memberikan setuhan baru dalam mehami perkembangan ilmu pengetahuan. beragam bentuk ide dan pemikiran dituangkan dalam goresan-goresan tulisan, memiliki nilai tersendiri dalam ilmu pengetahuan yang tidak akan lenyap  ditelan zaman.

Judul Buku      : Sastra Sufistik Dari Kesusastraan Pesantren, Suluk, dan Kedaulatan Diri

Penulis            : Raha Bistara

Penerbit          :Perisai Pena

Tahun Terbit   : Cetakan Pertama, April 2024

ISBN               : 973-623-99261-7-5

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top