Jelas bahwa term ‘Islam Nusantara’ hanyalah sebuah tipologi belaka, sebuah corak dan cara bagaimana masyarakat Indonesia umumnya menghayati Islam, sesuai dengan konteks historis dan kultur yang telah hidup ratusan tahun yang lalu. Tidak benar Islam Nusantara sebagai sebuah aliran baru dalam Islam, atau sebuah kecenderungan untuk membuat definisi agama menjadi terkotak-kotak.
Di mata dunia internasional, hanya di Indonesia saja agama Islam dapat tumbuh dan berkembang tanpa menggunakan pedang. Artinya, ajaran Islam disebarkan melalui proses akulturasi budaya atau menyesuaikan diri dengan kondisi kebudayaan yang ada. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa Islam lebih renah daripada budaya, tetapi agar semata-mata Islam dapat diterima oleh masyarakat tanpa melalui jalan perang atau penaklukkan.
Terbukti bahwa jalan akulturasi mampu dengan sukses melakukan proses Islamisasi tanpa ada pertumpahan darah. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, kira-kira selama lima puluh tahun, Walisongo dapat melakukan proses dakwah Islamiyah tanpa benar-benar meninggalkan budaya setempat yang telah hidup dan menjadi bagian dari alam pikiran masyarakat Nusantara kala itu.
Dalam teori Darwin dikatakan, seseorang yang dapat bertahan hidup bukanlah orang yang paling kuat, tetapi mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Teori ini dapat menjadi bukti kuat bahwa Islam berkembang di Nusantara bukan melalui jalur kekuatan militer atau kolonialisme sebagaimana ekspansi politik Islam di wilayah Timur Tengah sampai ke wilayah Barat, guna memperluas jaringan kekuasaan Islam sekaligus misi dakwah ekspansif.
Di Nusantara, Islam justru berkembang melalui jalan adaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Cara ajaran Islam beradaptasi juga membutuhkan suatu pemikiran inovatif yang kala itu dilakukan oleh Walisongo dan ulama-ulama yang hidup di era awal penyebaran Islam di bumi Nusantara ini.
Sebagai sebuah tipologi, Islam Nusantara hadir bukan hanya sekadar sebuah wacana belaka, tetapi juga sebagai bentuk penghayatan batin yang amat mendalam bagi umat Islam yang tumbuh dan hidup di Indonesia. Tidaklah mungkin menghayati sebuah ajaran tertentu, tanpa mempertimbangkan lingkungan di mana ajaran itu dihidupkan. Sebab, setiap komunitas masyarakat, di mana pun tempatnya, pasti memiliki alam pikiran tersendiri tentang kebudayaannya.
Misalnya, pada sekira abad ke-15 M, pemeluk agama dan aliran kepercayaan lokal sudah sangat beragam di Nusantara, ada Hindu, Budha, Kristen, penghayat kepercayaan Kapitayan, Sunda Wiwitan, dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah mungkin mengajarkan doktrin Islam dengan secara bersamaan membumihanguskan agama dan kepercayaan yang sudah ada. Justru para ulama kala itu melakukan proses penyesuaian diri dan mulai mengajarkan Islam sesuai ritme keyakinan masyarakat.
Terbukti bahwa jalan akulturasi ini mampu menarik masyarakat untuk memeluk ajaran Islam secara besar-besaran. Kita tak dapat membayangkan apa keyakinan mayoritas masyarakat Indonesia saat ini jika dahulu para ulama tak mampu melakukan dakwah Islam melalui penyesuaian budaya. Hingga hari ini, dampak dari akulturasi budaya itu masih sangat terasa di mana Islam bersentuhan langsung dengan budaya dan menjadi bagian penting bagaimana Islam dapat dihayati dan diamalkan.
Hal ini bukan berarti ajaran Islam dicampuradukkan dengan budaya dan tak lagi menjadikan Islam murni. Justru budaya menjadikan Islam makin hidup dan dapat berkembang secara luas.
Memang, Islam bukanlah budaya, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa Islam tak dapat hidup tanpa budaya. Oleh sebab itu, sangatlah diperbolehkan mengakomodir budaya sebagai bagian penting dari pelengkap orang-orang Islam menjalankan ajaran agamanya.
Cara berkeislaman semacam ini, membuat masyarakat dapat berpikir secara fleksibel dan terbuka. Selanjutnya, corak berkeislaman ala Islam Nusantara juga dapat menerima setiap gagasan baru tentang sistem politik dan ideologi negara. Sebab, antara Islam dan Nasionalisme atau antara Islam dan ideologi Pancasila, bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan. Nasionalisme adalah sikap cinta Tanah Air, sementara Pancasila merupakan ideologi pemersatu yang dapat menghimpun setiap perbedaan di tengah masyarakat. Persis pada wilayah inilah gagasan Islam Nusantara diamalkan dan menjadi penting bagi corak berkeislaman masyarakat Indonesia.
Terbukti di Timur Tengah, banyak masyarakat tidak memiliki sikap nasionalisme yang dikorelasikan dengan Islam, juga mereka tak memiliki ideologi pemersatu semacam Pancasila. Akibatnya, corak berkeislaman mereka sangat kaku, mereka menganggap bahwa hanya Islam saja yang patut menjadi pegangan dan solusi dalam setiap memecahkan setiap problem kehidupan. Tidak melahirkan solusi, justru banyak negara Islam di Timur Tengah mengalami kekacauan yang fatal dan perang saudara, yang bahkan sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang Muslim yang cinta damai.
Tentu, kita tak dapat menghakimi bahwa cara berkeislaman masyarakat Timur Tengah merupakan sebuah kegagalan, mereka hanya mengekspresikan Islam sesuai dengan cara yang mereka pahami. Tetapi, apa yang terjadi di sana perlulah menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi kita semua, bahwa setiap ajaran agama apa pun, harus dihayati sesuai dengan konteks di mana seseorang itu hidup.
Ia harus benar-benar menyesuaikan diri dengan alam pikiran sekitar agar tak bertabrakan yang akhirnya menimbulkan konflik.
Islam Nusantara haruslah terus diwacanakan yang pada gilirannya menjadi karakter dan identitas yang kuat bagi cara berkeislaman masyarakat Indonesia secara luas. Sebuah tipe atau corak Islam yang ramah, cinta damai dan saling menghargai perbedaan. Sebab, kita tidak akan benar-benar bisa menyalankan syari’at agama jika lingkungan masyarakat tidak aman dan berkecamuk konflik.
Orang yang tak mampu memahami hakikat Islam Nusantara dapat dipastikan ia tak mengerti perkembangan sejarah Islam di Tanah Air. Juga, cara beragama mereka terlalu kaku akibat menjadikan alam pikiran orang-orang Islam di Timur Tengah sebagai landasan berpikir dan dipakai untuk berislam di Indonesia. Tidaklah perlu menjadikan term Islam Nusantara sebagai polemik, apalagi sesama muslim saling serang dan menuduh anti-Islam, menista agama, atau semacamnya.