Rohmatul Izad
Penulis Kolom

Dosen Filsafat IAIN Ponorogo. Alumni Akidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga dan Pendidikan Pascasarjana di Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.

Kebebasan Beragama ala Abu Manshur al-Hallaj

Al-Hallaj merupakan ikon sufisme paling melegenda di jagat raya mistik Islam. Namanya tak pernah berhenti disebut-sebut hingga hari ini, baik dalam nama pujian maupun sumpah serapah dan dendam yang tak pernah usai. Kisah tentang al-Hallaj pun sarat dengan berbagai mitos dan dongeng yang memabukkan sekaligus memporak-porandakan nurani.

Siapa sebenarnya al-Hallaj? Ia bernama lengkap Husain Manshur al-Hallaj, lahir di desa Tur, daerah Fars, Persia, pada 244 H/858 M. Al-Hallaj lahir dari keluarga miskin, ayahnya merupakan tukang pemilah benang. Sejak kecil ia dititipkan oleh kedua orangtuanya kepada Syaikh Sahl al-Tustari, seorang sufi besar di zamannya, al-Hallaj berguru kepada beliau dengan mengaji dan mengabdi kepada Tuhan di masjid tempat syekh itu mengajar.

Konon, ketika al-Hallaj sedang menyapu di mihrab, dia menemukan selembar kertas kewalian gurunya, yang turun dari langit. Secara diam-diam, al-Hallaj menelan kertas itu guna mendapatkan keberkahan. Tak lama kemudian, ia tiba-tiba menjadi aneh, sering ngomong sendiri. Terlepas kisah ini benar atau tidak, kita bisa menduga bahwa sejak remaja, ada semacam keunikan dalam diri al-Hallaj.

Di usianya yang baru genap 12 tahun dia sudah hafal Alquran 30 juz. Untuk menambah wawasan keagamaannya, dia juga mengkaji beragam ilmu Islam kepada sejumlah guru di Wasit, dekat kota Ahwaz. Usai mengaji di sana, dia pergi ke Baghdad untuk melanjutkan ngaji sufi kepada tokoh yang lebih otoritatif, seperti ngaji kepada Abu Qasim al-Junaid, Amir al-Makki, dan guru sufi lainnya. Ketika al-Hallaj berusia 20 tahun, dia sudah diangkat sebagai guru di bidang tasawuf.

Al-Hallaj lalu pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Di kota ini, pergumulannya dengan dunia sufi semakin matang. Bahkan otoritasnya di bidang tasawuf semakin menonjol.

Ketika ia berada di Arafat, dia mendaki sendiri, meninggalkan teman-temannya dan para pengikutnya, naik sampai ke puncak gunung. Lalu, al-Hallaj berdiri dan memanjatkan doa dalam barisan puisi yang indah dan mengguncang:

Baca juga:  Indonesia Darurat Tenggang Rasa

Oh Tuhanku, Pembimbing orang-orang bingung

Tambahi kebingunganku

Jika aku kafir, maka tambahi kekafiranku

 

Di kemudian hari, pada suatu tempat, al-Hallaj mengungkapkan isi hatinya lagi untuk menegaskan bahwa keinginan yang dipanjatkan dalam doa itu telah dikabulkan oleh Tuhan seraya berkata:

Aku mengafiri agama Tuhan

Kekufuran bagiku adalah wajib

Meski bagi banyak umat Islam amatlah buruk

 

Menurut penjelasan Kiai Husein Muhammad (2011), kata “kafir” yang dimaksud al-Hallaj adalah makna genuine-nya, yakni “satartu” (aku menutup) atau “aku menyembunyikan”. Dengan kata lain, makna “jika aku kafir maka tambahi kekafiranku” adalah “jika aku menutup atau menyembunyikan keyakinanku (kepada-Mu), maka tambahi usahaku menutupi atau menyembunyikan keyakinanku (kepada-Mu).

Makna “aku mengkafiri agama” juga berarti demikian. Ini merupakan sebuah gambaran keikhalasan dari seorang hamba dalam mengabdi kepada Tuhan.

Selepas dari Makkah, a-Hallaj kembali ke Baghdad, dia lalu banyak membincangkan problem kesufian dengan Syekh al-Junaid, Abu Bakar al-Syibli, dan ulama sufi lainnya. Pergolakan spiritual al-Hallaj menunjukkan bahwa ia bukanlah tipe orang yang mudah puas, pemikirannya berkembang, melawan arus utama, menggerogoti ortodoksi, dan radikal, tetapi juga sekaligus semakin matang.

Dalam perlajanan karier spiritualnya, al-Hallaj tampil dan membuka diri dengan gagasan-gagasan mistik yang mendobrak dan mengemparkan. Karena saking terbukanya, pemikiran mistiknya sering mengundang resistensi, kebingungan masyarakat, sampai kemarahan.

Dia lalu dituduh gila atau kehilangan akalnya. Hal ini bisa dimengerti karena ucapan-ucapan dan bait-bait syair yang dibuatnya dengan nada kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan, tidak dimengerti oleh khalayak umum.

Meski begitu, banyak juga yang menilai bahwa al-Hallaj merupakan waliyullah, pribadi yang unik, mengagumkan, yang telah menyebarkan benih-benih keberkahan.

Baca juga:  Mempertahankan Jiwa atau Mempertahankan Kehormatan? Hifdhu an-Nafs atau Hifdu al-'Ird?

Pada suatu malam yang hening, al-Hallaj merasakan kegelisahan yang luas biasa, batinnya juga mengalami rasa riang yang meluap-luap, dia lalu mendesahkan bait syair yang menyayat hati nurani:

“O, malam, Kekasihku datang

O, malam, pengampunan telah datang

O, malam, aduhai Keindahan, aduhai Manisku

O, malam, Kekasih memuliakanku, Dia datang

O, malam, Kekasih menungkan minuman

Pada gelas besar dari anggur yang memabukkan”

 

Al-Hallaj terus menyembunyikan rasa rindu yang amat dalam dan mabuk cinta selama menjalani hari-harinya. Kekasih yang sungguh dia cintai datang berkunjung, menyeruak, dan merasuk dalam hati.

Banyak orang berpendapat bahwa proses merasuk dari atas ke bawah itu disebut sebagai “Hulul”. Yakni penyatuan antara diri al-Hallaj yang serba terbatas dengan Diri Tuhan yang tak terbatas, dalam satu kesatuan wujud. Sejak itu, hari-hari al-Hallaj disibukkan dengan pertemuan-pertemuan yang menggembirakan, mesra, dan hanyut dalam hadirat Tuhan. Al-Hallaj menulis bait syair indah tentang penyatuan itu:

“Ruh-Mu menyerap dalam ruhku

Bagai anggur larut dalam air bening

Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku

Engkau adalah aku dalam seluruh”

 

Pemikiran al-Hallaj tentang penyatuan ini lalu melahirkan gagasan baru yang benar-benar menggugah. Yakni gagasan tentang “kebebasan beragama”. Meski boleh dibilang, kelahiran gagasan itu merupakan sebuah keniscayaan. Bagi al-Hallaj, semua agama adalah sama. Para pemeluk agama tidak pernah berhenti mencari Tuhan, melalui berbagai jalan, dan berbagai nama.

Semua agama adalah milik Allah dan setiap pemeluk agama tertentu sebenarnya tidak memeluk agama tersebut kecuali telah dipilihkan oleh Tuhan.

Baca juga:  Anak-anak Kita di Bulan Puasa

Karenanya, orang yang marah dengan orang lain yang memiliki keyakinan berbeda, orang itu sebenarnya hanya memaksakan kehendaknya sendiri. Kita perlu menyadari bahwa Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan lainnya adalah sebutan semata dengan nama yang berbeda-beda. Tetapi semua agama itu memiliki tujuan yang sama dan tidak berubah.

Al-Hallaj juga melantutkan bait-bait puisi seperti ini:

“Sungguh, aku telah merenung panjang tentang agama-agama

Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang

Jangan kau paksa orang memeluk satu saja

Karena akan memalingkannya dari akar yang menghujam

Sebaiknya biar dia mencari akar itu sendiri

Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna

Lalu dia akan mengerti”

Puisi ini betul-betul menggambarkan tentang manifesto kebebasan beragama, yang merupakan ekspresi Islam-Tauhid yang sangat esensial dan melampaui perbedaan sektarian antar-beragam madzhab dan aliran. Karenanya, keanekaragaman individu dengan sifat kualitatifnya dan kepercayaan yang berbeda-beda akan terus hadir di mana pun dan kapan pun dan tak bisa dilepaskan dari bingkai raksasa pencitaan Tuhan.

Kehidupan al-Hallaj boleh dibilang merupakan perjalanan spiritual yang total dan tanpa henti. Kepekaannya dalam menggapai tangga Ilahi dan menyibak realitas yang Mutlak, memberi pelajaran penting kepada kita semua. Bahwa untuk menjadi hamba yang sejati, cukuplah fokus mendaki jalan spiritual, tanpa perlu mengusik dan mengulak-alik beragam keyakinan yang berbeda.

Sebab, inti dari semua agama adalah sama, meski rantingnya berbeda, semua agama sejatinya menuju pada satu titik yang sama, yaitu akar dari segala akar, ujung dari segala ujung, dan puncak terakhir tangga kehidupan ini.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top