Sedang Membaca
Folklor dan Sakralitas Danyang

Peneliti Desa. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media, seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jogja, Bali Post, Pikiran Rakyat, dan lain sebagainya. Bukunya yang telah terbit berjudul Potret Legislatif Desa Pasca Reformasi (2014) serta Jagoan dan Kekuasaan (2018). Bersama peneliti desa lainnya menulis buku Potret Politik & Ekonomi Lokal di Indonesia (2017). Kumpulan tulisannya bisa dirunut di rizamultazamluthfy.blogspot.com

Folklor dan Sakralitas Danyang

Sejak dahulu kala, folklor berperan dalam membentuk identitas dan jatidiri suatu bangsa. Munculnya folklor turut menandai bahwa peradaban besar bermula dari kisah-kisah kecil yang diturunkan lintas generasi. Riwayat perjalanan manusia tak pernah kering dari beragam cerita yang dibumbui dengan legenda dan mitos. Seiring dengan semakin gencarnya misi dan hasrat kaum modernis, folklor tetap bertahan. Keberadaannya dirasakan, dihayati, bahkan tersimpan di hati rakyat, meskipun roda globalisasi berputar kian cepat. 

Di antara folklor yang kerap mendapat atensi sejarawan, antropolog, serta peminat kajian lokal yaitu hikayat berdirinya desa. Sebelum dipersembahkan untuk negara, nasionalisme kebangsaan yang tertanam dalam jiwa rakyat tertuju kepada desa. Dalam sejarah Indonesia, rasa cinta terhadap desa mengawali tumbuhnya benih-benih patriotisme. Bagaimanapun, desa menjadi cikal-bakal sebuah negara. Lantaran kehadirannya mendahului negara, eksistensi desa menggambarkan karakter, sikap, serta semangat siapa saja yang bermukim di dalamnya.

Bagi orang desa, hikayat di atas mengandung sakralitas tak tergoyahkan sepanjang masa. Betapa para sesepuh selalu memberikan wejangan kepada kawula muda untuk senantiasa menjunjung tinggi “sejarah desa”. Dalam berbagai kesempatan, mereka berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menelaah warisan historis nenek moyang. Agenda publik menjadi momentum berharga untuk menyelipkan pesan bahwa ikhtiar penggalian jejak kehidupan para leluhur merupakan keniscayaan.

Sumber Cahaya

Folklor yang disajikan dalam tulisan ini berasal dari Sidobandung, salah satu desa di Bojonegoro, Jawa Timur. Awal mula lahirnya desa ini terkait erat dengan sejarah Dusun Mekarah. Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh sesepuh desa, Dusun Mekarah pada masa silam berupa belantara dengan cahaya yang menyebar ke empat penjuru: utara menuju Alas Purwo (Banyuwangi), selatan menuju Gunung Wilis (perbatasan Nganjuk-Kediri), barat menuju Gowongan (Yogyakarta), serta timur menuju Awar-Awar.

Baca juga:  “Taksu Ubud” Geliat Seniman dan Budayawan Ubud di Masa Pandemi

Dahulu kala, ketika melihat empat cahaya tersebut, seorang raja berniat menelusuri sumbernya. Akan tetapi, putrinya, Sulastri, melarang kepergian sang ayah dan menawarkan diri untuk mencari titik permulaan cahaya. Mengantongi izin dari baginda, ia meninggalkan kerajaan bersama Kiai Macan Putih. Ia berjalan ke Desa Sobontoro usai beristirahat sejenak di Desa Kapas. Sesaat kemudian langkahnya terhenti di tanah gersang yang hanya ditumbuhi iles-iles.

Sulastri lantas memanggil empat cahaya yang meruap. Cahaya pertama datang bersama cantrik bernama Raden Leksono. Cahaya kedua hadir bersama utusan bernama Kertodono. Munculnya cahaya ketiga dari Kedaten Kidul bersama Lembu Suro serta dari Kedaten Lor bersama Mahesa Suro. Adapun cahaya keempat diiringi oleh Ki Dermo. Anehnya, setelah semua cahaya terhimpun, Sulastri menerima lamaran dari Lembu Suro dan Mahesa Suro secara bersamaan. Sebelum putri raja berhasil menjatuhkan pilihan, berlangsung pertempuran dahsyat antara delegasi Kedaten Kidul dan Kedaten Lor tersebut, sehingga menyebabkan taring keduanya patah. Oleh Sulastri, taring Lembu Suro ditanam di tengah sawah, sedangkan taring Mahesa Suro ditaruh di pohon-pohon.

Sulastri menyatukan cahaya-cahaya di atas ke cungkup Mbah Pendem dengan maksud membentuk dusun. Penentuan arah dusun ditempuh dengan memanfaatkan batang bekas empat cahaya. Sulastri berucap bahwa saat bumi semakin padat, dusun tempat berkumpulnya cahaya kelak bernama Mekarah. Ketika menimbang nama desa bagi keempat dusun tersebut, ia terdiam dan berpikir lama. Mengetahui Sulastri kebingungan, Mbah Sutoberok mengulurkan tangan. Delegasi dari Pajang tersebut mengusulkan nama Bandung. Sayangnya, Sulastri merasa kurang puas dengan nama ini. Akhirnya, Ki Dermo menyarankan nama Sidobandung, yang hingga sekarang masih diabadikan oleh warga.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Kafirun (Bagian 1)

Setiap dusun di Sidobandung mempunyai leluhur yang begitu dihormati dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Selain Mbah Pendem, ternyata Mbah Jogo Leksono, Mbah Sangin, serta Mbah Kamandatu juga sangat dimuliakan lantaran dianggap sebagai pelopor atau pemuka. Mereka dipercaya telah melakukan babat alas (membuka hutan untuk dijadikan permukiman). Bagi masyarakat setempat, figur-figur ini sungguh berwibawa, sehingga layak dikenang sepanjang masa. Tak heran jika hari kematian mereka selalu diperingati setiap tahun oleh warga. Momentum ini sekaligus digunakan untuk mementaskan kesenian dan tradisi lokal yang masih terpelihara.

Tokoh Sentral

Awal mula terbentuknya desa tak pernah terlepas dari pencetus, tetua, atau aktor intelektualnya. Mereka berhak mengenakan “lencana kebesaran” lantaran jasa-jasanya selama hidup. Setiap desa menahbiskan figur masing-masing selaku pembesar taraf lokal yang dinilai genap meletakkan fondasi pemikiran masyarakat. Tokoh-tokoh sentral yang menginisiasi tumbuh dan berkembangnya desa lambat laun menjadi ikon lokalitas.

Sebagian tokoh sentral yang telah meninggal dunia dikukuhkan sebagai danyang (roh pelindung desa). Sebagaimana ketika masih bernafas, sosok gaib tersebut memperoleh penghormatan luar biasa. Dalam upacara ritual bersih desa, yang biasanya dipimpin oleh seorang dukun atau tokoh agama, beragam persembahan ditujukan kepada danyang. Pada waktu perayaan-perayaan besar, masyarakat lokal berkumpul di kuburan untuk menggelar sembahyang dan menghidangkan sesajen. Makam sebagai pusat kegiatan religius desa memiliki ciri keramat yang diduga berakar dari beringin-beringin besar di sekitarnya yang turut menciptakan suasana angker.

Baca juga:  Jejak Tarekat dalam Mantra Osing

Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot (ed) dalam Ziarah dan Wali di Dunia Islam (2007: 340) mencatat bahwa dalam konteks demikian, terjadi pengislaman atas pengeramatan pendiri desa yang hampir selalu dipadukan dengan “penguasa gaib” setempat. Betapa makam yang disakralkan kerap ditemukan di lingkungan perdesaan. Hal ini dikarenakan, mentalitas orang desa lebih terikat pada tradisi dan rasa kebersamaannya juga lebih besar ketimbang orang kota.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top