Sedang Membaca
Warisan Kuliner Para Habib
Rijal Mumazziq Z
Penulis Kolom

Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember

Warisan Kuliner Para Habib

Ada lelucon begini di kalangan para pendakwah Islam Nusantara, “Ana, Antum, Afwan, Akhi, kita tolak, sebagai bahasa sehar-hari. Sebab, kita punya bahasa ibu sendiri, kecuali yang sudah diserap bahasa Indonesia. Tapi nasi Biryani lengkap dengan kepala kambing kita telan sehabis-habisnya. Itulah namanya akulturasi.”

Tentu itu sekedar lelucon. Tapi memang begitulah anak-anak NU, baju Arab tidak mau make, lebih enak pakai sarung katanya, tapi tiap malam Jumat ke restoran Arab, khususnya yang berduit.

Selain menyumbangkan berbagai kosakata dalam perbendaharaan bahasa Indonesia –ribuan kata Arab telah diserap menjadi bahasa Indonesia– orang Arab juga memberikan sumbangsih citarasa masakan Nusantara. Dalam sebuah liputan jejak kuliner Nusantara yang termuat dalam majalah Tempo edisi khusus tahun 2016 silam, akulturasi budaya paling gampang justru dilhat dari perpaduan kuliner.

Baca juga:

Asal-usul Panggilan Habib

Mengenal Alawiyyah, Tarekat Para Habib

Perjalanan Intelektual Habib Umar Bin Hafiz

Ketika orang Arab dari Hadramaut semakin membanjir di Nusantara pada abad 18, mereka membentuk basis ekologis-sosiologis-kultural bernama Kampung Arab. Mereka datang sebanyak empat kali gelombang akibat konflik di negara Yaman, asal dari kaum Hadharim ini. Demikian tulis Madjid Hasan Bahafdullah dalam “Dari Nabi Nuh Sampai Orang hadhramaut di Indonesia: Menelusuri Asal-Usul Hadharim” (Jakarta: Bania Publishing, 2010).

Baca juga:  Inilah Kisah Habib atau Keturunan Nabi di Iran

Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya merupakan basis koloni mereka. Harap dimaklumi, sebab, berbagai wilayah ini merupakan kota pelabuhan, sehingga memudahkan mereka melakukan mobilitas dan menjalankan perniagaan.

Belanda biasanya menempatkan kampung Arab ini di lokasi yang tidak jauh dari Pecinan, kantong imigran Tionghoa. Masing-masing dipimpin seorang Kapiten yang bertanggungjawab secara administratif kepada pemerintah lokal Hindia Belanda. Inilah strategi licik Belanda yang disebut dengan Wijkenstensel, sebuah peraturan zona pemukiman etnis untuk mempermudah pengawasan.

Keberadaan Kampung Arab ini ternyata juga berdampak pada penguatan karakteristik masakan Arab. Ciri khas hidangan Arab banyak bergantung pada bahan kurma, gandum, beras, daging, yoghurt.

Bagi orang Arab, ke mana pun mereka merantau selalu mengonsumsi masakan yang sesuai dengan citarasa dan ramuan yang mereka gemari. Misalnya, nasi kebuli. Awalnya, jenis hidangan ini masuk ke Nusantara karena dibawa orang Kerala, India, yang menjadi koki di kapal-kapal saudagar Gujarat.

Di kemudian hari, orang-orang Arab menyesuaikan citarasanya dengan selera mereka. Di beberapa kawasan non-Arab, beberapa pengusaha kuliner Arab sudah menyesuaikan citarasanya dengan lidah orang Indonesia. Hanya saja, komposisi bumbunya, dari jinten, pala, cengkih, kayu manis, kapulaga, zaitun, hingga mninyak samin, tetap dipertahankan. Demikian tulis Gagang Ulung dan Deerona dalam jejak “Kuliner Arab di Pulau Jawa” (Jakarta: Gramedia, 2014)

Baca juga:  Gempita Maulid Nabi, dari Abu Lahab hingga Ibnu Taimiyah

Di setiap Kampung Arab, bisa dipastikan ada kedai yang menyajikan minuman dan hidangan khas Arab. Masing-masing memiliki sejarah serta citarasa masakan yang unik dan berbeda. Di kawasan Condet, Jakarta, kita bisa menemukan kedai al-Mukalla dan Sewun. Dari namanya bisa dipastikan, leluhur pemilik kedai berasal dari dua daerah Yaman tersebut. Ada juga warung Sindbad di Tanah Abang dan Abunawas di Matraman.

Di Surabaya, tak jauh dari makam Sunan Ampel, terdapat banyak kedai yang menyajikan masakan Arab. Yang paling kondang restoran Madinah di Jalan Mas Mansyur dengan masakan khas kambing oven dan gulai kacang hijaunya.

Di jalan raya ini pula, ada Depot “Tujuh”, “Jumbo”, “Yaman”, dan “Al-Mutlik”. Semua dimiliki keluarga keturunan Arab yang mewariskan unit usahanya ini secara turun temurun. Tentu, dengan resep rahasia dan sajian khasnya.
*

Sumbangan citarasa Arab dalam masakan Nusantara membuktikan apabila proses pembauran bisa diawali melalui lidah, tidak melulu pada hal yang bersifat formal. Dapur menjadi ruang pertukaran ide, asimilasi, sekaligus saling menghargai.

Karena itu, dalam dunia kuliner, seseorang bisa saja tidak suka dengan tetangganya yang keturunan Arab, misalnya, tapi toh jika dia tetap menyukai menu dessert Umm Ali, atau main course Mandi, atau bahkan pastry roti Khobus, itu berarti emosinya tidak se-stabil kelenjar lidahnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top