Rijal Mumazziq Z
Penulis Kolom

Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember

Gus Dur sebagai Kata Kunci

Mas Abdu L Wahab, ketika memulai dakwahnya di pelosok Papua, justru diberi fasilitas sebuah rumah yang biasa digunakan sebagai basecamp. Pemiliknya adalah Bapak Antonius Rahail, seorang Katolik taat.

Mengapa Pak Antonius menyediakan rumahnya sebagai fasilitas penunjang pendidikan dan dakwah muslim? Jawabannya: karena Gus Dur. Ya, nama terakhir ini sangat dihormati oleh Pak Antonius karena baginya Gus Dur telah mengembalikan martabat rakyat Papua dengan mengembalikan nama “Irian” menjadi “Papua” kembali. Alasan alternatif, selama hidupnya Gus Dur banyak melindungi kebebasan beragama pemeluk agama lain. Jadi wajar apabila ada orang Katolik yang melakukan balas budi dengan cara meyediakan rumahnya sebagai fasilitas dakwah nahdliyyin, dengan tujuan membalas budi kebaikan Gus Dur.

Di Lowoksuruh, Wendit, Malang, ketika KH. Agus Sunyoto mendirikan sebuah rumah dan pesantren Tarbiyatul Arifin, beliau melihat apabila desanya merupakan salah satu desa yang mayoritas dihuni orang non-mulim. Bahkan ada dua gereja di situ. Satu gereja Katolik, satu lagi gereja Kristen Shallom. Acara misi dua gereja ini berjalan dengan menyasar warga-warga miskin. Bahkan untuk mengakrabkan anak-anak dengan gereja, pengelolanya menyediakan semacam taman bermain di teras gereja. Tak heran jika Pak Agus Sunyoto awalnya kaget melihat bocah-bocah berjilbab keluar dari komplek gereja dengan riang gembira. Rupanya mereka habis bermain-main di terasnya.

Melihat hal ini, sebagai upaya melindungi aqidah anak-anak, Pak Agus pun memutuskan mendirikan Raudlatul Athfal (TK). Sebagai pendatang baru yang tinggal di sebuah desa dengan kompleksitas agama penduduknya, membuat Pak Agus mempertimbangkan aspek manusiawi dan mengutamakan kecerdikan dalam dakwahnya. Sebelum pesantren binaannya berdiri disertai perintisan TK, penulis buku Atlas Walisongo ini berusaha menjinakkan kawasannya terlebih dulu. Saat itu, musala di sekitar lingkungannya belum ada. Agar pendirian musala, pesantren serta TK tidak menimbulkan gesekan antar warga, maka Kiai Agus melakukan pendekatan terhadap pendeta dan beberapa tokoh Katolik setempat. Di sisi lain, beliau juga mengurus surat izin lembaganya ke Kemenag Malang.

Baca juga:  Tujuh Buku Gus Dur yang Harus Anda Baca

Berhadapan dengan para tokoh masyarakat dan pemimpin gereja, dengan cerdik Pak Agus menggunakan keyword “Gus Dur” sebagai pembuka. Beliau memperkenalkan diri sebagai pengurus Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi) NU, lalu mendiskusikan kerukunan umat beragama dan bingkai keislaman dan kebangsaan, dan tak lupa menyebut diri sebagai santri ideologis Gus Dur. Tak lupa, karena mereka juga menyukai Bung Karno, Pak Agus membuka ruang diskusi nasionalisme melalui jalan pikiran Bung Karno yang gandrung persatuan itu. Ampuh, melihat karakter Pak Agus yang “en-U” banget dan melihatnya sebagai bagian dari murid Gus Dur sekaligus pengagum Bung Karno, beberapa tokoh masyarakat ini pun ikut tandatangan atas nama warga setempat dengan menyetujui pendirian lembaga pendidikan yang akan didirikan Pak Agus.

Setelah lembaga pendidikan Islam Tarbiyatul Arifin berdiri, Pak Agus langsung membuka pengajian untuk warga sekitar. Agar anak-anak kuat akidahnya, beliau juga mendirikan unit Raudlatul Athfal. Lucunya, ada beberapa anak-anak non-muslim bersekolah di sini dan mereka sampai hafal beberapa surat pendek. Bahkan seorang anak Kristen sampai hafal 22 surat pendek. Dia sekarang bersekolah di SDN, sedangkan adiknya masih duduk di tingkat dasar RA Tarbiyatul Arifin. Di RA ini anak-anak juga diajari kesenian tari Remo sebagai wujud pelestarian budaya.

Adapun para pemuda diajari berkesenian melalui grup shalawat Al-Banjari. Di pondok ini juga terdapat langgar wakaf Sunan Kalijaga. Demi toleransi terhadap warga sekitar, Pak Agus sengaja tidak menggunakan speaker saat mengumandangkan adzan.

Mas Abdul Wahab dan Pak Agus Sunyoto telah membuka sebuah ruang dialogis-interaktif dengan pemeluk agama lain menggunakan kata kunci “Gus Dur”. Andaikata saat itu dakwah yang dilakukan keduanya menampilkan pendekatan yang kaku dan raut muka bengis, mungkin bakal lebih banyak resistensi dari penduduk lokal. Namun karena menggunakan nama Gus Dur sebagai keyword, maka keberadaannya lebih mudah diterima karena mereka yang non-muslim sedikit banyak memahami jalan pikiran Gus Dur sebagai perekat kebangsaan.

Baca juga:  Udik, Mudik dan Kembali Fitri

******
Gus Dur, kita tahu beberapa tahun silam menugaskan para Banser membantu aparat kepolisian berjaga di gereja. Banser bukan menjaga bangunannya, tapi membantu terlaksananya kebebasan beragama. Bahkan, Riyanto, salah seorang Banser harus gugur dalam tugasnya tatkala menenteng bom yang diletakkan di gereja Mojokerto oleh jaringan teroris Fathurrahman Al-Ghozi saat secara estafet meledakkan gereja di beberapa titik.

Sebagai Guru Bangsa, Gus Dur meletakkan aspek pluralitas dan multikulturalisme sebagai bagian tak terpisahkan bangsa ini. Beliau memberi contoh yang tak terucapkan, menjaga kerukunan antar umat beragama, & secara tersirat memberi contoh “kami telah melindungi saudara seiman kalian di sini, jadi tolong lindungi saudara-saudara kami yang berada di situ, di wilayah non-muslim.”

Ketika peristiwa pembakaran masjid di Tolikara terjadi, Idul Fitri 2015, dan beberapa ormas menyerukan jihad ke sana, Banser memilih bekerja dalam diam sembari menyerahkan kasus ini ke aparat penegak hukum. Mereka mempersiapkan fisik, logistik dan mental untuk berangkat ke sana, menjelang Idul Adha. Tak kurang dari 15 Banser pilihan berangkat ke lokasi setelah sebelumnya mengikuti prosesi pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Maulid Simtudduror di rumah Nusron Wahid, Ketum GP Ansor saat itu. Setelah acara usai, rombongan ini berziarah ke makam Habib Husein bin Abu Bakar bin Abdillah Luar Batang. Tanpa disengaja, di lokasi ini mereka bertemu Habib Lutfi bin Yahya, Rais Aam Jamiyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah. Mereka pun minta restu kepada ulama nasionalis ini.

Baca juga:  Humor Gus Dur: ICMI Kelenger, Tapi NU Tetap Seger

Utusan PBNU ini tiba di Bandara Sentani, lalu berangkat ke lokasi dengan didampingi Banser setempat. Lalu tim menuju Bandara Wamena yang dilanjutkan perjalanan darat ke Tolikara.

Di lokasi, sebagaimana laporan AULA Nopember 2015, mereka disambut Muspida setempat dan imam Masjid Tolikara, K. Ali Mashar. Persiapan shalat Idul Adha segera dilakukan di masjid Koramil. Para pemuda GIDI (Gereja Injili di Indonesia) yang ditengarai beberapa minggu sebelumnya terlibat pembakaran masjid, mereka malah mendekat dan ikut membantu Banser menjaga keberlangsungan Idul Adha. Ketika orang-orang GIDI tahu jika yang datang adalah Banser, yang mereka tahu sebagai “anak-anak Gus Dur”, para pemuda ini malah merasa segan atas peristiwa pembakaran masjid. Karena itu, mungkin untuk sedikit menebus rasa bersalah, mereka ikut pengamanan Idul Adha lalu ikut menyumbang 5 ekor sapi.

—-
Bagi saya Gus Dur telah mengajarkan aspek substantif dalam konteks beragama dalam keberagamaan melalui sikap “….kami telah melindungi saudara seiman kalian di sini, jadi tolong lindungi saudara-saudara kami yang berada di situ, di wilayah non-muslim.”, maupun prinsip mayoritas melindungi minoritas dan minoritas menghormati mayoritas.

Kedua prinsip memang enteng diucapkan namun dalam kenyataannya dibutuhkan kesabaran dan kehendak meredam ego sektarian agar kerukunan berbangsa dan bernegara tetap terjaga. Nggak usah adigang adigung adiguna menjadi mayoritas, juga tak perlu merengek manja sebagai minoritas. Semua harus tahu diri.

Semoga nama Gus Dur tetap menjadi “kata kunci” yang tepat untuk keberislaman dan keindonesiaan. (RM)

(Dimuat di Majalah TEBUIRENG, tahun 2017)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top