Sedang Membaca
Haji New Normal dan Neogeopolitik Global
Ribut Lupiyanto
Penulis Kolom

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

Haji New Normal dan Neogeopolitik Global

Musim haji tahun ini istimewa bagi muslim sedunia termasuk Indonesia. Haji dibayang-bayangi pendemi Covid-19. WHO telah menyatakan Covid-19 dapat menjadi endemik seperti HIV. Virus ini diprediksi tidak akan pernah hilang meskipun antivirus ditemukan sekalipun. Konsekuensinya, dunia harus siap menghadapi era new normal.  

Pemerintah Arab Saudi akhirnya memutuskan kebijakan pelaksanaan haji 1441 H dengan sangat terbatas hanya untuk penduduk dan ekspatriat di Arab Saudi. Sedangkan pemerintah Indonesia sudah memutuskan sebelumnya untuk tidak memberangkatkan jamaah haji tahun ini. Sejarah mencatat Arab Saudi pernah menutup ibadah haji pada tahun 1814 karena wabah, pada tahun 1837 dan 1858 karena wabah epidemi, 1892 karena wabah kolera, dan pada tahun 1987 karena wabah meningitis. Sedangkan Indonesia juga pernah meniadakan pemberangkatan jemaah haji pada tahun 1946-1948 karena agresi militer Belanda. Semua ini tentu tidak luput dari hikmah atas skenario-Nya. Salah satu yang dapat dipetik oleh Indonesia adalah dalam aspek geopolitik global.

Geopolitik Global

Setiap tahun jumlah jemaah haji Indonesia adalah terbesar sedunia. Animo berhaji muslim Indonesia terus meningkat setiap tahun. Pada 2019, Jemaah haji Indonesia mencapai 231.000 jiwa.  Sedangkan pada 2018, Jemaah haji Indonesia mencapai 203.350 jiwa.

Statistik di atas wajar mengingat Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar sedunia. Hal ini tentu menjadikan posisi Indonesia strategis di mata Arab Saudi. Musim haji merupakan momentum pengerukan devisa yang sangat besar bagi negara tersebut. Untuk itu, penting kiranya mempelajari dinamika geopolitik Arab Saudi, sehingga Indonesia dapat menerapkan geostrategi yang jitu dalam hubungan bilateral yang menguntungkan.

Baca juga:  Diaspora Santri (14): Nahdlatul Ulama dan Perjuangan Pendidikan di Sydney, Australia

Kebijakan geopolitik almarhum Raja Abdullah telah mengantarkan Arab Saudi sebagai kekuatan terpenting di kawasan Timur Tengah. Kompetisi sengit dilakukan dengan Iran yang memiliki perbedaan pandangan keagamaan.

Rivalitas terakhir yang kentara adalah  ketika perang saudara di Suriah. Riyadh mendukung pemberontak, sedangkan Teheran mendukung rezim di Damaskus. Suwefi (2015) mencatat Raja Abdullah telah banyak menorehkan tinta sejarah bagi geopolitik internasional Arab Saudi. Antara lain pada 1991 Raja Abdullah menolak AS menempatkan pasukan di Saudi dan lebih mendorong negosiasi.

Kekuatan geopolitik Arab Saudi terletak pada dua aspek, yaitu pengaruh politik di Timur Tengah dan terkait kebijakan minyak dunia. Kepemimpinan awal Raja Salman langsung diuji dinamika kekuatan syiah di Irak, Suriah, Yaman, Lebanon, dan Bahrain. Konflik Sunni-Syiah berpotensi pecah dan terus melebar. Sejak lama Arab Saudi menerapkan kebijakan menyeimbangkan eksistensi ulama, suku, kerajaan dan kepentingan Barat.

Kepemimpinan Raja Salman diprediksi tidak akan banyak mengubah kebijakan luar negeri Arab Saudi minimal dalam jangka pendek hingga menengah.

AS sebagai sekutu utama menjadi pihak paling berkepentingan terkait kebijakan geopolitik Arab Saudi. Pascawafatnya Raja Abdullah, pemerintah AS langsung menyatakan harapan untuk melanjutkan kemitraan yang erat antara AS dan Arab Saudi di bawah kepemimpinan Raja Salman. Seperti  Inisiatif Perdamaian Arab atau kampanye untuk menurunkan dan kekalahan ISIS.

Baca juga:  Gus Baha: Lawanlah Neraka dengan Ceria

Kekuatan geopolitik minyak Arab Saudi ditunjukkan kekayaan yang dimiliki mencapai 16 persen dari cadangan minyak dunia. AS mengimpor sekitar 1 juta barel minyak per hari dari Saudi. Arab Saudi merupakan negara pemimpin OPEC dan mempunyai pengaruh besar terhadap harga energi dunia.  Pangeran Salman yang berpandangan Barat dikenal pragmatis dan lebih progresif.

WikiLeaks sempat memperingatkan Arab Saudi agar reformasi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor sosial dan budaya secara hati-hati dalam jangka panjang. Penerapan demokrasi yang prematur jika dilakukan akan mengarahkan perpecahan negara dalam tribalisme.

Selain Arab Saudi-AS, geopolitik global yang penting dicermati adalah rivalitas AS-China. Kedua negara besar terus bermusuhan mulai dari aspek ideologi kapitalisme vs komunisme hingga perang dagang. Hal ini membuat polarisasi dalam ekonomi dunia, antara berkiblat pada AS atau China. Hubungan keduanya memanas dalam musim pandemic Covid-19 ini. AS menuding ada rekayasa China dibalik mewabahnya Corona. AS tidak main-main hingga menghentikan perannya sebagai donatur terbesar bagi WHO.

Geostrategi Indonesia

Politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Indonesia mestinya tidak terjebak dalam rivalitas geopolitik AS-Arab Saudi maupun AS-China. Sebagai negara berpenduduk musli terbesar Indonesia bahkan harus bisa mewarnai geopolitik global agar berkedamian, adil dan menyejahterakan seluruh umat manusia.

Hubungan bilateral Indonesia dan Arab Saudi telah terjalin lama dengan mesra. Bidang kerja sama yang menonjol kedua negara antara lain dalam hal pendidikan, keagamaan, haji, pengiriman tenaga kerja, minyak bumi, dan lainnya. Arab Saudi adalah sahabat sejati Indonesia. Beberapa hal penting diperhatikan pemerintahan Jokowi dalam revitalisasi hubungan Indonesia-Arab Saudi.

Baca juga:  Wakaf sebagai Jalan Reforma Agraria (3/3)

Pertama, meneguhkan strategi diplomasi yang menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Kebijakan luar negeri bebas aktif mesti ditonjolkan. Hubungan bilateral mesti dijalankan dalam psikologis kesetaraan.

Kedua, melakukan renegosiasi terkait tenaga kerja Indonesia, khususnya perempuan. Pemerintah mesti menjamin keselamatan dan kesejahteraan TKW yang sebagian besar menjadi pembantu rumah tangga. Moratorium pengiriman TKW mesti dipertahankan hingga kesepakatan yang menguntungkan TKW dan Indonesia terjadi.

Ketiga, melakukan renegoisasi terkait pengelolaan ibadah haji. Diplomasi haji penting mengedepankan keselamatan dan kenyamanan jemaah. Kualitas pemondokan, transportasi, makanan, pengamanan, dan lain-lain mesti berstandar tinggi dan dipenuhi Arab Saudi.

Revitalisasi diplomasi mesti tetap memprioritaskan masa depan hubungan. Indonesia mesti melepas bayang-bayang pengaruh AS dan China. Keberanian Indonesia dapat menjadi cambuk bagi Arab Saudi untuk menirunya. Perwujudan semua ini akan menciptakan kekuatan geopolitik baru (neogeopolitik) antara Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar dengan Arab Saudi yang merupakan negara Islam terkaya. Selain itu perannya menciptakan persatuan global dan berlepas dari rivalitas tidak sehat secara geopolitik antar negara, maka akan semaki meneguhkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top