Sedang Membaca
Menggali Nilai Karakter Cagar Budaya Dokterswoning
Rohmatulloh
Penulis Kolom

Dosen Pendidikan di Universitas Islam An Nur Lampung dan bergiat di Komunitas Sekolah Sadar Energi.

Menggali Nilai Karakter Cagar Budaya Dokterswoning

Dokterswoning Saat Ini

Walaupun Indonesia telah merdeka dari penjajah sejak 76 tahun lalu, namun banyak sekali produk peninggalan kolonial yang masih dapat disaksikan bentuknya hingga saat ini. Misalnya bangunan kolonial yang telah dijadikan cagar budaya oleh pemerintah. Di sisi lain banyak juga produk peninggalan yang berbau penjajah dimusnahkan oleh para pejuang karena didasari oleh semangat kepahlawanannya. Ini tidak dapat dihindari karena kecintaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia begitu besar.

Terlepas dari itu, ternyata bangunan cagar budaya peninggalan kolonial yang ada di berbagai kota seluruh Indonesia, tentunya banyak sekali memendam nilai-nilai yang dapat digali sebagai sumber pembelajaran bagaimana membangun nilai karakter semangat dan bekerja sama dalam berkarya, dan merawat nilai-nilai kemanusiaan. Salah satunya dokterswoning atau rumah dokter di Metro sebagai bangunan cagar budaya lokal yang sudah tidak begitu asing lagi bagi masyarakat Lampung. Jika dari dari Pelabuhan Bakauheni maka dapat ditempuh melalui tol Bakauheni-Terbanggi Besar dan keluar di gerbang tol Tegineneng Timur menuju Kota Metro.

Sebagai rumah tinggal dokter, bagaimana peran dokter dan tenaga kesehatan pada saat itu bekerja sama membantu menjaga dan memulihkan kesehatan masyarakat dari wabah penyakit pada saat itu. Begitu pun dalam konteks saat ini misalnya, bagaimana perannya bersama tenaga kesehatan dan para pihak yang berkepentingan lainnya (stakeholder) memiliki semangat berjuang melawan wabah global Covid-19.

Baca juga:  Belajar Menulis dari Tulisan dan Pesan Prof. Azyumardi Azra

Kembali ke bagunan dokterswoning, tidak banyak informasi yang dapat diperoleh kecuali dari sebuah buku kecil tulisan Tim Ahli Cagar Budaya Pemerintah Daerah Kota Metro. Kita akan dibawa menengok kembali jauh ke belakang pada masa Indonesia masih menjadi wilayah jajahan Hindia Belanda. Pemerintah Belanda dalam setiap perencanaannya dalam mengembangkan daerah baru kolonisasinya secara integratif dengan tidak lupa membangun dokterswoning untuk tempat tinggal dokter di Metro.

Metro sebagai daerah yang tidak begitu besar merupakan pusat kota Kolonisasi Sukadana banyak dihuni penduduk dari Jawa. Pendatang dari Jawa yang tinggal di Metro dapat hidup berdampingan dengan penduduk adat asli Lampung. Berdampingan yang bersifat sosial asosiatif sehingga dapat bekerja sama, melebur, dan berbaur yang positif.

Seiring dengan itu, disusun rencana pembangunan kota Metro sebagai ibukota Kolonisasi Sukadana. Bangunan rumah dan kantor termasuk dokterswoning dibangun pada 1939 yang lokasinya tidak berjauhan dengan rumah pejabat dan rumah sakit. Dalam perkembangannya, dokterswoning telah dihuni secara bergantian oleh para dokter yang bertugas.

Bangunan dokterswoning seperti yang dapat dilihat sekarang dengan gambar asli dari koleksi digital Leiden University Libraries ada beberapa yang berubah. Yang paling terlihat mencolok adalah bentuk atap rumahnya. Dalam buku kecil tersebut begitu rinci sekali dijelaskan sampai bagian dalamnya.

Baca juga:  Farag Fouda: Intelektual Muslim yang Ditembak Mati

Walaupun demikian, ada hal penting yang tidak berubah, yaitu nilai-nilai sejarah dan fungsi bangunannya yang banyak menyimpan nilai karakter atau budaya semangat dalam menyelamatkan kemanusiaan dari berbagai serangan wabah penyakit pada masa itu yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Ini penting untuk diketahui generasi sekarang sebagai sumber pendidikan karakter yang penyampaian pesan instruksional atau pembelajarannya langsung dari objeknya.

Pendidikan karakter secara sistem tidak melulu dilakukan pada lembaga pendidikan formal dan non formal. Dokterswoning dapat menjadi lembaga pendidikan informal untuk menyampaikan pesan-pesan pembelajaran nilai pendidikan karakter. Oleh karena itu, dokterswoning dapat dijadikan sebagai “museum pendidikan” yang kegiatannya tidak hanya mengumpulkan, merestorasi, dan menampilkan koleksi saja (ICOM, 2004). Tetapi lebih luas dari itu sebagai tempat ‎untuk memberikan pengalaman belajar pendidikan karakter bagi pengunjungya.

Dari cagar budaya ini, pemerintah daerah juga dapat mengembangkan lebih luas lagi dengan bangunan cagar budaya lainnya sehingga dapat dirancang secara tematik untuk memperkuat ruh dan karakteristik sebagai kota pendidikan. Ini seperti kota bersejarah Leoben di Austria yang memiliki banyak bangunan cagar budaya abad pertengahan dan menjadi tema kotanya sebagai kota tambang dengan memiliki pusat pendidikan tambang dan metalurgi yang terkenal Montanuniversität Leoben.

Baca juga:  Audre Lorde, Feminis Amerika dan Aktivis Hak Asasi Manusia

Banyak sekali program dan kegiatan yang dapat dibangkitkan untuk mendukung keberadaan atau eksistensinya seperti pameran pendidikan, workshop, permainan, bermain peran dan teater, dan lainnya yang lebih fleksibel karena tidak seperti program di lembaga pendidikan formal sekolah ayng sudah begitu terstruktur. Dalam konteks pandemi Covid-19, tentunya mempelajari nilai kesejarahannya menjadi momentum yang tepat dalam melihat peran dokter dan tenaga kesehatan, pemerintah, serta stakeholder lainnya bahu membahu menyelamatkan masyarakat dari paparan wabah global virus Covid-19.

Semoga terwujud “museum pendidikan” dan menambah jumlah museum di Indonesia yang saat ini sebanyak 163 museum (UNESCO, 2020). Namun yang lebih penting dari sekedar angka, bahwa kehadirannya dapat menjadi pusat pendidikan karakter generasi muda dalam memaknai dan membentuk nilai karakter semangat dan bekerja sama berkarya membangun kota, serta merawat nilai-nilai kemanusiaan. Wallahua’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top