Sedang Membaca
Ulama Banjar (91): H. M. Syatta Alie
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (91): H. M. Syatta Alie

H. M. Syatta Alie

(L. diperkirakan 1927)

H. M. Syatta Alie adalah salah satu tokoh yang termasuk ulama di Kabupaten Tabalong memiliki prinsip: “Dunia fana sebagai mazra’atul akhirah”. Selama 73 tahun melaksanakan rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, agama dan pembangunan. Begitu pula halnya bagi kehidupan keluarga, daerah serta kelangsungan hidup bermasyarakat. Meski dengan memiliki pendidikan yang sangat terbatas namun didorong oleh himmah, semangat serta daya juang yang tinggi semua itu dapat dilaksanakan dengan baik, membuahkan hasil dan dapat dibanggakan.

Setidaknya dari tahun 1929 hingga 2002, selama lebih kurang 73 tahun lamanya H. M. Syatta Alie menuturkan beberapa hal yang dapat dipersembahkannya sebagai putera daerah Tabalong demi kemajuan tanah tumpah darah maupun pembangunan dan pengembangan agama. Juga tidak ketinggalan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan atau kehidupan yang layak bagi keluarga, serta mencerahkan kehidupan masyarakat. Ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan selama itu, sebagaimana disebutkan berikut ini.

Tahun 1947 – 1949 mengikuti secara aktif perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam hal ini ikut bergabung dalam kesatuan MN. 1001/MTKI di bawah pimpinan Tjilik Riwut asal Kalimantan Tengah, dalam rangka pengintegrasian kesatuan perjuangan di Kalimantan Selatan. Semua bergabung dalam kesatuan Angkatan laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV Pertahanan Kalimantan Selatan yang dikomandani oleh Brigjen H. Hasan basri dari Kandangan, Hulu Sungai Selatan. Wilayah sector perjuangan ketika itu adalah sekitar Kurau, Pelaihari, Gambut dan Aluh-aluh dengan nama samaran Satta Mat Ali.

Tahun 1965 – 1970 menjadi Ketua Cabang Partai Nahdlatul Ulama (NU) Tabalong yang ketika itu merupakan partai Islam terbesar di Kalimantan Selatan. Juga ikut serta dan berperan secara aktif dalam menghantarkan berdirinya daerah Kabupaten Tabalong pada tanggal 1 Desember 1966.

Pada periode tahun 1966–1971 menjadi wakil rakyat duduk sebagai anggota DPRD Tingkat II Kabupaten Tabalong dari fraksi Nahdlatul Ulama. Ketika itu berhasil mewujudkan pemerintahan dan pembangunan daerah tingkat II Tabalong yang semula berada di bawah pemerintahan kabupaten Hulu Sungai Utara, beralih menjadi Kabupaten yang mandiri. Karir di bidang politik ini masih berlanjut sebagai anggota aktif anggota DPRD Tingkat II Kabupaten Tabalong pada periode tahun 1992 – 1997. Dan kali ini dari fraksi Golkar melanjutkan roda pemerintahan dan pembangunan daerah tingkat II Kabupaten Tabalong.

Baca juga:  Ulama Banjar (181): Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshari AZ, MA

Sejak tahun 1971 sampai 1990 tercatat sebagai seorang pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Tabalong. Setelah meniti karir dari bawah atau sebagai staf pada gilirannya juga pernah memegang jabatan tertinggi selama menjadi PNS, yaitu sebagai Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kabid Kesra) selama 12 tahun. H. M. Syatta Ali selama membina berumah tangga dikaruniai 10 orang anak dan semua telah berhasil menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang Pascasarjana serta semua sudah mampu hidup mandiri.

Selain apa yang disebutkan di atas, H. M. Syatta Alie juga berkiprah aktif di bidang sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Organisasi yang ditekuni adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tingkat II Kabupaten Tabalong. Sejak awal terbentuknya sudah aktif di organisasi yang menghimpun para ulama ini, yakni lebih dari seperempat abad lamanya. Dari hasil musyawarah daerah (Musda) MUI setempat, beliau pernah menduduki berbagai jabatan penting dan menentukan bagi kelancaran organisasi.

Pada periode kepengurusan 1997 – 2002 dipercaya untuk menduduki jabatan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tingkat II Kabupaten Tabalong. Jabatan tertinggi ini diperoleh atas dukungan dari berbagai pihak, baik dari kalangan ulama sendiri maupun pihak pemerintah atau umara dan unsur-unsur lainnya. Dengan demikian terpilihnya beliau itu dapat dikatakan secara aklamasi, dan ketika itu umur beliau sudah memasuki usia senja, yakni di atas 70 tahun lebih. Pada usia ini pada umumnya kondisi kesehatan dan daya pikir serta kemampuan menalar semakin menurun, stamina tubuh pun semakin berkurang sehingga harus banyak istirahat.

Baca juga:  Ulama Banjar (111): KH. Ahmad Nudja H. Sa’al

Oleh sebab itulah pada periode tersebut H. M. Syatta Alie tidak dapat berbuat banyak lagi seperti dahulu, dan belakangan di tahun 2002 itu beliau kurang aktif. Hal ini disebabkan oleh penyakit kencing manis (diabetes) yang dideritanya sudah berjalan selama 20 tahun. Akhirnya atas pertimbangan kesehatan pisik yang tidak mendukung untuk dapat bekerja aktif lagi menjalankan roda organisasi MUI, maka dengan penuh kebijakan, H. M. Syatta Alie melalui rapat paripurna MUI Kabupaten Tabalong yang dilaksanakan pada tanggal 26 Februari 2002, menunjuk Drs. H. Ahmad Rasyidi, Lc, salah seorang unsur Ketua menjabat Ketua Harian sampai dengan tibanya Musyawarah Daerah (Musda) IV MUI Kabupaten Tabalong pada pertengahan Desember 2002.

Berdasarkan pengabdian dan aktivitasnya di berbagai bidang kehidupan, baik pemerintah, masyarakat maupun di lapangan keagamaan, H. M. Syatta Alie tidak diragukan lagi sebagai aktivis organisasi. Kepiawaian yang dimilikinya berhasil menghantarkan mampu berkarir dan menuai sukses, baik di bidang legislatif atau dunia politik, bidang ormas keagamaan melalui wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lebih dari itu lagi beliau tercatat sebagai sosok pejuang yang ikut aktif mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari kemungkinan direbutnya kembali oleh kolonial Belanda pada masa itu.

Tentu saja kepeloporan H. M. Syatta Alie patut menjadi cerminan sekaligus untuk direfleksikan guna meraih suskses dalam meniti kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini bagi keluarga seperti anak dan cucu beliau, kepribadian sang ayah atau sang kakek tercinta ini menjadi acuan sekaligus panutan. Setidaknya berbagai kebaikan yang berhasil beliau ukir itu selalu dikenang sepanjang masa, dijadikan iktibar serta pelajaran berharga, sehingga tidak mudah dilupakan begitu saja. Jasad beliau memang sudah tiada, namun kepeloporan dan lebih-lebih nilai-nilai kejuangan yang diwariskan tetap menjadi pusaka berharga.

Baca juga:  Ulama Banjar (79): KH. Birhasani

Suatu pelajaran berharga sekaligus mengandung hikmah yang tinggi sehingga patut direnungi ialah prinsip hidup yang sekaligus menjadi tausiyah H. M. Syatta Alie kepada generasi muda. Tausiyah ini bisa dibilang sebagai motto beliau semasa muda dan berkiprah dalam berbagai aktivitas yang ditekuninya. Tausiyah itu dalam bahasa Arab dan merupakan petikan syair, yakni: “Al-hayaatu aqidatun wajihadun”. Artinya, hidup adalah pendirian dan perjuangan. Ungkapan yang singkat namun padat ini oleh H.M. Syatta Alie diinterpretasikan, bahwa apabila hidup tanpa pendirian dan perjuangan, maka sama dengan hidup dalam keadaan mati, hidup tanpa memberi arti.

Kata-kata yang singkat dan indah ini patut digarisbawahi untuk selanjutnya dicermati, disikapi dan ditindaklanjuti dalam kehidupan sehari-hari. Betatapun juga, kalau ia dimaknai secara hakiki, niscaya akan memberi inspirasi bahkan motivasi untuk melahirkan sesuatu yang berarti dalam hidup ini. Demikian pula apabila kata-kata ini diresapi sampai ke hati, maka tidak disangsikan lagi ia akan mampu mempertajam jati diri, sehingga selalu terpanggil untuk melakukan berbagai kreasi. Lebih jauh lagi, rangkaian kata-kata menawan ini sanggup mengetuk hati nurani, sehingga pada gilirannya nanti akan tergugah berkarya tinggi, berprestasi dan berinovasi yang tiada henti.

Siapapun tentu akan membenarkan, bahwa manakala hidup ini tidak diisi dengan perbuatan yang berarti, tentu hanya membuang-buang biaya, materi dan energi saja. Boleh jadi kehidupan semacam itulah yang disebut dan dianalogikan orang sama halnya dengan ‘mati suri’. Falsafah hidup memang patut dicari untuk dilakoni, agar tidak terombang-ambing dalam ketatnya persaingan di era globalisasi ini. Jika hidup tanpa pegangan, sama halnya dengan perahu layar di tengah lautan yang patah kemudi, sementara angin kencang, ombak dan badai datang silih berganti mendera dan menghantam bertubi-tubi.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top