Sedang Membaca
Sabilus Salikin (6): Tarekat dalam Pandangan Ibnu Taimiyah
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (6): Tarekat dalam Pandangan Ibnu Taimiyah

Sabilus Salikin (1): Islam, Tasawuf, dan Tarekat 1

Pada bagian sebelumnya sudah disinggung bahwa Ibn Taimiyah menyebut para sufi sebagai ahl ulum al-Qulub (pakar-pakar ilmu hati) yang bebas dari bid’ah ketika ia mengatakan: “Perkataan pakar-pakar ilmu hati dari kalangan sufi dan yang selain mereka, seperti Abu Hamid Muhammad aL-Ghazâli pula Ibn Taimiyah mengutip pernyataan yang mengukuhkan kebenaran tarekat para sufi: “Tarekat para sufi adalah tujuan (ghayah), karena mereka menyucikan kalbu mereka dari hal-hal selain Allâh dan memenuhinya dengan dzikrullah; dan ini merupakan prinsip dakwah para rasul.”

Pengakuan Ibn Taimiyah mengenai kebenaran tarekat para sufi juga mencuat dari pernyataanya yang dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-Aqidah al-Ishfahaniyah, yaitu ketika ia berbicara tentang mu’jizat para Nabi: “Tidak ada jalan bagi akal untuk memahami mukjizat para nabi hanya dengan komoditi akal semata. Hal-hal lain dari keistimewaan para nabi hanya dapat dipahami dengan “rasa” oleh orang yang menempuh tarekat tasawuf…”

Jika Nabi memiliki suatu keistimewaan yang Anda tidak punya modelnya, maka Anda sama sekali tidak akan memahami keistimewaan itu, apalagi membenarkannya, karena pembenaran hanya muncul setelah pemahaman, dan model yang dimaksudkan di sini terdapat di awal tarekat tasawuf. Adapun rasa (dzauq) maka ia seperti ‘menyaksikan’ dan ‘mengambil dengan tangan’ dan hal itu tidak ada kecuali dalam tarekat para sufi.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (54): Risalah Ijtihad–Taqlid, Formula Khusus untuk Umat Islam dalam Bermadzhab

Ibn Taimiyah bahkan tidak mengingkari konsep “mabuk” yang kadang-kadang melahirkan berbagai ungkapan yang sepintas terkesan berbau syirik tetapi sebenarnya tidak dimaksudkan demikian, ungkapan-ungkapan yang dikenal dengan syathahat. Ungkapan-ungkapan pada dasarnya muncul secara otomatis dari kondisi fana’ (“ekstase”) yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh pertimbangan atau kesadaran apapun kecuali semata-mata karena terbuai oleh keagungan dan keindahan Tuhan.

Dalam kaitan ini ia mengatakan: “Sebagian tokoh sufi yang mengalami kondisi spiritual tertentu (dzawi al-ahwal) kadang-kadang mengalami ‘mabuk dan lenyap dari selain Allâh’ dalam keadaaan fana’ yang singkat. Keadaan mabuk seperti itu terjadi tanpa disengaja, tanpa pertimbangan. Kadang-kadang dalam keadaan itu ia berkata subhani (maha suci aku), atau ungkapan-ungkapan lain seperti yang mempengaruhi Abu Yazid al-Busthami dan orang-orang berjiwa sehat (al-ashihha) lainnya.”

Hal itu menurut Ibn Taimiyah sejalan dengan makna-makna hadits qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Dalam hadits itu disebutkan bahwa apabila seorang hamba selalu berupaya menempuh jalan pendekatan diri kepada Allâh dengan melaksanakan secara intensif al-faraidh (perkara-perkara yang diwajibkan) dan al-nawafil (perkara-perkara yang disunnahkan), sebuah upaya yang bermuara pada suatu keadaan (hal) yang dalam hadits itu diungkapkan dengan “sampai Aku mencintainya” (hatta uhibahu), “maka Akulah yang menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.”

Baca juga:  Sabilus Salikin (17): Beragam Tarekat Satu Hakikat

Semua ini dikemukakan Ibn Taimiyah ketika ia membela ahli tarekat yang sejalan dengan sunnah. Di sela-sela pembelaan ini ia menegaskan: Pokok-pokok madzab ahli tarekat yang Islami adalah mengikuti para nabi dan para rasul.

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top