Sedang Membaca
Pidato Lengkap Kiai Afifuddin Muhajir (1): Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushūsh dan Maqāshid)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Pidato Lengkap Kiai Afifuddin Muhajir (1): Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushūsh dan Maqāshid)

Pengukuhan Gelar Doktor (HC) kepada KH. Afifuddin Muhajir dari kampus UIN Walisongo Semarang.

Naskah awal pidato pengukuhan Dr (HC) Kiai Afifi adalah berbahasa Arab, karena permohonan panitia, naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selamat membaca..

Negara ini menderita oleh deretan episode penjajahan dalam rentang waktu yang panjang setelah mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Setelah proklamasi kemerdekaan, didirakanlah republik dan pemerintahan nasional. Dan untuk pertama kalinya setelah tiga ratus tahun bangsa ini merasakan nikmatnya kemerdekaan. Setelah melewati perbedaan pendapat yang tajam, para pendiri bangsa akhirnya sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar bagi Negara yang baru didirikan.

Saya berpandangan bahwa Pancasila dalam hubungannya dengan syariat berkisar di antara tiga kemungkinan. Pertama, ia tidak bertentangan dengan syariat karena berdasarkan istiqrā’ tidak ditemukan sama sekali ayat maupun hadis yang bertentangan dengan lima silanya. Kedua, ia sesuai dengan syariat karena berdasarkan istiqrā’ juga ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang selaras dengan kelima silanya. Ketiga, ia adalah syariat itu sendiri.

Saya memiliki kesimpulan beberapa poin berikut. Pertama, NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah bersifat syar‘iy, yakni sesuai dengan syariat Islam baik dalam nashūsh maupun maqāshid. Kedua, Pancasila bukan penghalang (māni‘) untuk menerapkan aturan syariat di negara yang berlandaskan atasnya. Ketiga, Konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar negara adalah seluruh undang-undang negara tidak boleh bertentangan dengan salah satu dari sila Pancasila. Keempat, Republik Indonesia adalah negara kesepakatan yang berdiri di atas asas yang mendapatkan kesepakatan.

Kata Kunci: Indonesia, Pancasila, Nushūsh, dan Maqāshid.

Sekilas Sejarah Pancasila

Gerakan kemerdekaan Indonesia menunjukkan polarisasi bipolar. Gerakan nasional sekuler yang berdasarkan patriotisme ansih, dan gerakan nasional Islam yang berdasarkan Islam dan patriotisme. Kedua ideologi ini mewarnai sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945.

Ada demarkasi yang jelas antara mereka yang menginginkan negara sekuler dengan mereka yang menginginkan negara Islam. Kekuatan Islam meminta agar Islam dan syariahnya menjadi dasar negara ini. Kekuatan sekuler menolaknya dan meminta sekularisme yang menjadi dasarnya. Itu adalah dua prinsip yang tidak dapat dikumpulkan karena keduanya berlawanan. Perselisihan ini sangat berbahaya. Sebab seandainya tidak menemukan kesepakatan, negara ini tidak akan pernah ada. Masing-masing kelompok bersikeras mewujudkan apa yang menjadi impiannya. Sementara air mata, darah, harta, dan jiwa semua telah dikorbakan.

Bahtiar Effendy mengatakan, “Tuntutan ideologis perjuangan politik untuk sebuah negara Islam pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia hingga setidaknya tahun 1950-an adalah logis dan masuk akal, karena kondisi politik membuka peluang terjadinya persaingan aktif baik bagi kelompok Islam maupun nasionalis. Titik pusat perjuangan Islam adalah bentuk negara dan konstitusinya, karena Islam adalah agama dan sistem politik sekaligus. Oleh karena itu, jika Islam dipaksakan menjadi agama substansial pada masa itu, maka ini berarti Islam hanya terkait dengan nilai-nilai ajarannya, padahal negara yang dibentuk masih mencari wujud dasar negara, maka Islam wajib dipandang dan dipraktikkan pada tataran ideologis dan simbolik”.

Tanggal 1 Juni 1945, hari terakhir sidang pertama, Soekarno menyampaikan pidato yang mengajukan lima prinsip yang disebutnya Pancasila sebagai dasar negara, yaitu (1) kebangsaan,

(2) internasionalisme, (3) demokrasi, (4) kesejahteraan sosial, dan

(5) ketuhanan. Soekarno menegaskan, dengan prinsip demokrasi, aturan-aturan Islam mungkin untuk dikodifikasi melalui badan perwakilan rakyat. Pidato kompromi Sukarno ini ternyata efektif meredam runcing perselisihan.

Akhirnya, kedua kelompok sepakat setelah memuncaknya konflik dengan kesepakatan bahwa Pancasila lah yang menjadi dasar negara, bukan Islam seperti yang diinginkan oleh kaum Islamis, juga bukan sekularisme seperti yang dicita-citakan oleh kaum sekuler. Pancasila dalam hal ini lebih merupakan kontrak sosial dan kompromi politik daripada sebagai dasar dan falsafah negara. Demikianlah pendapat Sutan Takdir Ali Shahbana. Meski demikian, dia tetap memilih Pancasila karena mampu menyelamatkan rakyat Indonesia di saat krisis. Nasionalis Islam seperti Hamka, Saifuddin Zuhri, dan Muhammad Nasir juga memiliki pandangan yang sama.

Sementara itu, sub-komite beranggotakan delapan orang dibentuk untuk membahas, bersama Soekarno, masalah yang muncul. Panitia Sembilanbelas menyelesaikan Piagam Jakarta dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Piagam tersebut mencakup lima prinsip berikut:

  1. Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.
  2. Kemanoesiaan jang adil dan beradab
  3. Persatoean Indonesia
  4. Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia

Sehari setelah kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila dideklarasikan sebagai dasar negara, dan ditempatkan pada pembukaan konstitusinya. Itu setelah penghapusan frasa “dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.”, sehingga sila pertama berubah menjadi “Ketuhanan Yang Esa”. Alasan penghapusan adalah warning dari umat Kristiani di wilayah timur Indonesia untuk memisahkan diri dan membentuk negara merdeka bila frasa tersebut tidak dihilangkan. Tentu kekuatan Islam berkeberatan, tetapi setelah musyawarah dan istikharah, mereka akhirnya mantap menghapusnya. Mereka menilai ketiadaannya tidak seserius dan seberbahaya disintegrasi negara. Lagi pula, masih menurut mereka, disintegrasi berarti mempersempit medan dakwah karena tidak ada kebebasan memasuki negara lain untuk kepentingan da‘wah ila Allāh .

Baca juga:  Secangkir Teh dan Harga Diri

Singkatnya, Pancasila melewati tiga tahapan. Pertama, tahap 1 Juni 1945, ketika Soekarno dalam pidatonya mengajukan lima prinsip yang dirumuskannya sendiri. Soekarno menamainya Pancasila. Benarlah pendapat yang menyatakan bahwa Pancasila lahir untuk pertama kalinya pada rentang waktu ini dengan pertimbangan bahwa Soekorno lah yang menamainya Pancasila di sela-sela pidatonya.

Kedua, tahap 22 Juni 1945, ketika Panitia Sembilan menetapkan lima prinsip yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Ketiga, tahap 18 Agustus, di mana disepakati penghapusan frasa “dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloekpemeloeknja”, dan menambahkan Yang Maha Esa sebagai gantinya. Inilah fase terakhir Pancasila. Dengan pertimbangan ini dan dengan melihat bahwa kesepakatan ini tercapai setelah Negara berdiri, benar juga pendapat yang menyatakan bahwa Pancasila lahir pada masa ini (18 Agustus 1945). Adjektiva “keesaan” untuk nomina “ketuhanan” mengungkapkan kehendak sebagian besar penduduk, yakni umat Muhammad ` yang mengimani bahwa Allah  adalah Esa.

Terbetik dalam pikiran bahwa kesepakatan yang kita capai untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara bukanlah alternatif ideal, melainkan degradasi aspirasi dari apa yang diupayakan oleh kedua kelompok. Betul memang, ini adalah penurunan dari langit idealitas ke bumi realitas. Hal seperti ini acapkali terjadi, terutama dalam kehidupan kontemporer kita. Para ahli Fikih menyatakan bahwa di antara syarat hakim adalah memunyai kapasitas berijtihad, yakni menggali hukum langsung dari dalil-dalil terperinci (al-adillat al-tafshīliyyah). Sudah cukup lama umat Islam tidak menemukan hakim yang mencapai level kapasitas ini. Seandainya kita berkomitmen kaku pada syarat ini serta tidak mengabsahkan putusan hakim yang bukan mujtahid, barang pasti permasalahan-permasalahan hukum terbengkalai tanpa putusan dan masyarakat berada dalam krisis.

Kondisi demikian tidak direstui oleh syarī‘ah ħanafiyah yang toleran, ia tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Allah  berfirman, “Tuhan tidak membebani jiwa di luar kekuatannya.” Al-Bukhari  meriwayatkan bahwa Rasulullah  bersabda: “Jadi jika saya melarang kalian sesuatu, hindarilah, dan jika saya memerintahkan Anda untuk melakukan sesuatu, lakukan semampu kalian”. Sabdanya lagi, “Tuhan senang bahwa hukum rukhsah (dispensasi) dipilih hamba-Nya, sesenang hukum ‘azīmah yang dipilih.”  Bisa dikatakan bahwa kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara menjadi hal ideal karena telah menjadi satusatunya cara menyelesaikan perselisihan dan pertentangan. Tanpa kehadirannya, semua akan merasakan kekecewaan karena harapan tidak berbuah kenyataan. Pada dimensi ini, realitas menjadi idealitas. Sebab mara bahaya harus dihindarkan, mengusir mafsadat diutamakan daripada mengundang maslahat, dan apa yang tidak mungkin diraih seutuhnya jangan sampai ditinggalkan sepenuhnya.

Sekilas tentang Nushūsh al-Syarī‘ah

Sudah diketahui oleh hampir semua santri bahwa yang dimaksud dengan nushūsh al-syarī‘ah adalah teks-teks suci Alkitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya untuk membimbing manusia dan membawa mereka keluar dari kegelapan menuju terang, sebagaimana juga dimaksudkan teks-teks Sunnah yang dituturkan, dilakukan, dan diikrarkan Rasulullah. Nabi menasehati umatnya supaya mematuhi Alquran dan Sunnah dan agar sentiasa berpegangan pada muatan keduanya dalam urusan diniyah dan duniawiyah. Sabdanya menegaskan kalau kesesatan dapat dihindari dengan berpedoman kepada Alquran dan Sunnah, “Wahai manusia, aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang kalau kalian teguh memegangnya, kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah nabi-Nya.”

Dari keduanya lahir hukum, kaidah, dan sistem untuk menegakkan kehidupan yang adil dan mewujudkan pengabdian kepada Allah Yang Maha Esa. Hukum, kaidah, dan sistem inilah yang disebut syariah yang Dia perintahkan untuk kita ikuti. FirmanNya, “Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu.”

Ibn Ashur berkata dalam Al-Taħrħr, “Syariah, adalah agama yang dianut, derivasi kata al-syar‘, berarti membuat jalan untuk ditempuh.” Qatadah berkata, “Syariah adalah perintah, larangan, ħudūd, dan farāidh.”Al-Qurtubi menulis, “Syariah menurut bahasa adalah jalan menuju mata air.” Syariah menurut istilah adalah agama yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya.”

Sinonim syariah adalah syir‘at yang termaktub dalam firman, “لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا/untuk tiap-tiap umat diantara kamu,

Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” Al-Qurtubi berkata, “Syir‘ah dan syarī‘ah adalah jalan nyata yang ditempuh untuk mencapai keselamatan.” Definisi-definisi ini pada dasarnya memiliki substansi yang sama dengan apa yang telah saya kemukakan.

Syariat Islam dalam pengertian luasnya semakna dengan agama Islam. Dalam pengertian sempitnya, ia adalah bagian dari Islam, yaitu hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Selajutnya, untuk memahami nushūsh alsyarī‘ah secara komprehensif dibutuhkan beberapa hal berikut:

  1. Memerhatikan detail gaya bahasa arab, metode signifikasinya, dan arti denotasi dan konotasinya baik kata, frasa, maupun kalimat. Yang demikian hanya mudah dilakukan oleh orang yang mengusai kaidah-kaidah bahasa.
  2. Menghubungkan nashsh dengan nashsh. Maka perlu mengaitkan antara satu ayat dengan ayat lainnya, hadis yang satu dengan hadis yang lain, ayat dengan hadis, atau hadis dengan ayat. Hal ini karena nushūsh al-syarī‘ah adalah satu kesatuan yang tidak terlepaskan antara yang satu dengan yang lain. Interkoneksi ini tercermin antara lain dengan bayān al-mujmal, takhshīsh al-āmm, taqyīd al-mutlaq, atau taudhīħ al-musykil.
Baca juga:  Manis-Pahit Kenangan AC Milan dan Angan Kejayaan Khilafah

Kita tidak akan mengerti apa yang dimaksud dengan firman, “أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم/Dihalalkan bagimun binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.”, seandainya tidak menghubungkannya dengan ayat yang menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud firman tersebut, yaitu firman-Nya, “حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير/Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi..”

Sementara orang menduga bahwa mark up dari pokok harta dalam hutang dan kredit bukan riba yang diharamkan asal tidak berlipat ganda. Itu berpedoman pada firman, “لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة/Jangankalah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” Salah paham ini

dikoreksi oleh firman di akhir surat al-Baqarah, “وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون/Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan (pula) dianiaya.”

Ayat terakhir menjelaskan bahwa kreditur hanya berhak mengambil kembali pokok harta, tidak boleh lebih atau kurang. Dengan demikian, semua mark up dalam hutangpiutang adalah riba yang haram walaupun kecil.

Imam al-Rāziy ketika menafsirkan ayat ini menulis, “لا تظلمون ولا تظلمون”, yakni kalian tidak menzalimi debitur dengan meminta lebih dari pokok harta, juga tidak dizalimi dengan yang kurang dari pokok harta. Sedangkan firman “أضعافا مضاعفة” secara sintaksis  adalah adverbial yang tidak bisa disimpulkan mafhūm mukhālafah-nya karena ia dicantumkan semata untuk mendeskripsikan kenyataan (li muwāfaqat al-wāqi‘).

Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari menulis dengan singkat tentang syarat kevalidan mafhūm mukhālafah, “Syarat mafhūm mukhālafah adalah tiada tujuan lain dari disebutkannya manthūq selain untuk menegasikan hukum maskūt ‘anh.” Penyebutan “أضعافا مضاعفة” tidak bertujuan untuk menafikan riba dari yang mark up yang tidak berlipat-ganda, tetapi untuk menjelaskan kenyataan semata. Demikian juga al-Alusi dan Ibn ‘Asyur mengatakan yang serupa dalam kitab tafsir mereka.

Berdasarkan hadis “من بدل دينه فاقتلوه/siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia,” orang murtad, konversi agama dari Islam ke agama lain, wajib diadili dan dituntut dengan hukuman mati. Tetapi, adalah bijaksana bila menghubungkannya dengan hadis lain, yaitu hadis “لا ،يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا باحدى ثلاث: الثيب الزاني والنفس بالنفس، والتارك لدينه المفارق للجماعة/tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah  dan bahwa aku adalah rasulullah kecuali karena tiga perkara: pezina muhshan, pembunuh, dan meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri jamaah.”

Dengan hadis terakhir ini dipahami bahwa tuntutan hukuman mati untuk orang murtad tidak berlaku mutlak, tetapi masih dihubungkan dengan sikap separatis dan subversif. Jadi, semata pindah agama tidak bisa dituntut hukuman mati. Ini termasuk membawa lafal muthlaq ke lafal muqayyad.

  1. Menghubungkan nushūsh dengan maqāshid. Memahami nushūsh secara tekstual belaka dan mencabutnya dari akar maqāshid al-syarī‘ah menyebabkan syariat mustahil dan sukar berpadu dengan realitas kehidupan, padahal syariat mengklaim dirinya padu-padan untuk setiap tempat dan zaman. Penjelasan dan contoh-contoh akan dikemukakan dalam sub bab maqāshid al-syarī‘ah.
  2. Menghubungkan nushūsh dengan asbāb al-nuzūl (konteks). Mayoritas mufassir, fuqaha, dan ushūliy berpendapat bahwa apabila ada teks universal yang turun menyikapi kasus parsial, maka yang diperhatikan adalah dimensi

universalitasnya. Kaidah popular mereka, “العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب/yang diperhatikan adalah universalitas teks bukan kekhususan konteks”. Dalam makna yang sama

/ ورود العام على سبب خاص لا يسقط دعوى العمومAlgazali menulis, “

Bahwa teks universal turun untuk kasus parsial, itu tidak menggugurkan universalitasnya.”

/إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها Sebagai contoh, firman “

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” ayat ini turun untuk menyikapi kasus perampasan kunci Kakbah oleh Ali  dari Utsman bin Talhah al-Hajabiy, sang pelayan Kakbah, pada tahun penaklukan Mekkah. Nabi memerintahkan Ali untuk mengembalikannya kepada Utsman. Sabdanya, “هاك خالدة تالدة/ambillah ini, pegang selamanya turuntemurun.” Ayat suci, sekalipun turun menyikapi kasus khusus, universalitasnya tetap diperhitungkan karena menggunakan bentuk plural. Oleh karena itu, ayat ini adalah dasar bagi kewajiban menunaikan amanat apapun. Kendatipun kaidah “ العبرة بعموم اللفظ/yang diperhitungkan adalah universalitas teks” diterima, namun konteks, indikasi, dan sabab al-nuzūl tetap berdampak pada penentuan luas universalitas teks. Para ulama sepakat perihal pentingnya mengetahui sabab al-nuzūl dan kemestian mempertimbangkannya dalam memahami teks, menafsirkannya, dan menggali makna berikut hukum-hukumnya. Mereka merumuskan kaidah: Pengetahuan tentang sebab mewariskan pengetahuan tentang akibat. Dengan beda kata, lain Imam Al-Shatibi menulis, “Mengetahui konteks penyebab wahyu mutlak diperlukan bagi mereka yang hendak mendalami Alquran.”

Di sini, masalah muncul dari kontradiksi yang tampak antara mempertimbangkan universalitas teks dan memperhatikan alasan spesifik. Masalah ini dapat terjawab dengan prinsip pemaduan berikut. Prinsip dasar dalam lafal universal adalah memperhatikan universalitasnya kecuali bukti konteks, indikasi, dan sabab al-nuzūl menunjukkan yang sebaliknya.

Baca juga:  Gus Dur dan M. Imam Aziz: dari Jalan Kultural ke Tebing Politik

Dengan cara ini, pupus sudah kebingungan terkait firman “ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون/Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Muncul masalah krusial yang disulut pendapat yang menghukumi kufur bagi siapa saja yang tidak memberikan putusan berdasarkan hukum Allah, padahal itu, paling maksimal, adalah dosa besar. Sementara dosa besar tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam ke kufur menurut pendapat ahl al-sunnah wa al-jamā‘ah.

Sudah maklum, bahwa ayat ini seringkali dijadikan justifikasi oleh kelompok takfīriy untuk mencap kafir semua orang orang yang memberikan putusan atau bertindak, baik hakim, pengusa, dan seterusnya, bukan dengan hukum yang Allah turunkan. Hal ini tercermin jelas dalam hukum-hukum positif dan perjanjian internasional. Indonesia pun tidak luput dari stempel kafir. Mereka menyebutnya: negara kafir, negara thāgūt.

Semua ini disebabkan pendekatan dan pemahaman teks yang mengabaikan konteks, tujuan, dan sabab al-nuzūl ayat. Ayat ini turun berkaitan dengan Yahudi yang mengganti hukum Taurat dengan hukum cambukan dan mencoret wajah dengan warna hitam. Al-Bukhari mengisahkan dari Ibn ‘Umar  bahwa orangorang Yahudi datang kepada Nabi membawa pria dan wanita yang berzina. Nabi bertanya bagaimana mereka memperlakukan orang yang berzina. “Kami mencoret-coret wajah dengan warna hitam dan memukulinya.” Nabi menelisik lebih jauh, apakah mereka tidak menemukan hukuman rajam dalam taurat. Mereka kompak jawab, tidak sama sekali. Maka seketika Abdullah bin Salam menukas, “Dusta kalian. Mari buka Taurat dan bacakan, kalau memang kalian benar.”

Dalam ayat ini, universalitas terletak dalam “ما” dan “من”. Mā mencakup semua hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Sedangkan man mencakup semua orang yang memunyai otoritas menetapkan hukum di berbagai level dan ruang lingkup, seperti pemerintah, hakim, ulama, mufti, kepala sekolah, dan seterusnya. Semua mukallaf yang tidak memutuskan berdasarkan hukum Allah atau memberikan putusan bukan dengan hukum Allah adalah kafir, ini berdasarkan lahir teks ayat. Contohnya adalah zalim dalam menghakimi, menghukum orang yang tidak bersalah, membebaskan kriminalis, meluluskan siswa pada ujian akhir padahal tidak memenuhi syarat kelulusan atau sebaliknya.

Mufassirin berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini. Sebagian ada yang membatasi bahwa kekufuran hanya khusus orang-orang dimana ayat ini turun untuk mereka, yaitu beberapa orang Yahudi. Sebagian lain membiarkan ayat ini dalam universalitasnya. Pada kelompok kedua ini, ada yang menyatakan itu kafir kecil sahaja, bukan kafir dalam pengertian keluar dari Islam; ada juga yang mengkhususkan kekufuran hanya bagi siapa yang hati dan lidahnya ingkar dan menyangkal.

Syeikh al-Mufassirin, al-Thabari, mengutip sejumlah tafsir perihal ayat ini, dan lalu memungkasi, “Pendapat yang paling mendekati kebenaran, menurutku, adalah pendapat orang yang berkata: ayat-ayat ini turun menyikapi orang-orang kafir dari ahlul kitab. Sebelum dan setelah ayat ini memang turun untuk mereka. Merekalah yang dimaksud. Ayat-ayat ini dalam konteks berita perihal mereka…”

Al-Imam al-Razi menilai lemah pendapat yang membatasi ayat hanya untuk orang-orang Yahudi, demikian juga pendapat yang menyatakan bahwasanya orang yang tidak menghukumi dengan

apa yang Allah turunkan adalah kafir. Sebab, firman “ومن لم يحكم بما أنزل الله/Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah” adalah kalam yang disisipi man syarthiyyah, sehingga termasuk lafal umum. Kemudian al-Razi mengutip

‘Ikrimah bahwa frasa “ومن لم يحكم بما أنزل الله” hanya mencakup orang yang hati dan lisannya mungkir dan menyangkal. Sedangkan orang yang hati dan lisan mengakui itu sebagai hukum Allah tapi lalu memilih hukum yang bertentangan dengannya, dia tetap memutuskan berdasarkan hukum Allah tapi menanggalkannya, sehingga tidak mesti dicakup oleh ancaman ayat ini. al-Razi menyebut bahwa demikianlah pemahaman yang benar.

Al-Qurthubi mengutip pernyataan Ibn Mas‘ud dan Hasan bahwa ayat ini mencakup siapa saja yang tidak menghukumi berdasarkan apa yang diturunkan Allah, baik mereka muslim, yahudi, maupun orang kafir lainnya, asal mereka meyakini itu hukum Allah sambil menghalalkan hukum pilihannya. Sedangkan orang melakukan hal itu tapi tetap meyakini bahwa dirinya telah berbuat perkara haram, maka dia muslim yang fasik. Al-Thabari mengisahkan bahwa seseorang bertanya kepada Ibn ‘Abbas perihal tafsir ayat ini. “Apabila seseorang melakukan itu itu, berarti dia kafir. Tetapi, tidak sama dengan kafir kepada Allah, kafir kepada hari akhir….” Jawab yang ditanya.

Terlepas dari keanekaragaman tafsir ayat tersebut, tidak ada di dalamnya yang dapat dijadikan dasar untuk mencap kafir kepada orang yang semata-mata memutuskan dengan selain apa yang telah diwahyukan Allah. Ahli tafsir, betapapun pandangan mereka berbeda pada detail tertentu, mereka sepakat bahwa seorang muslim tidak keluar dari agamanya lantaran semata memutuskan dengan selain hukum Allah. Hal itu, karena sebagian membatasi ayat hanya kepada segelintir Yahudi dimana ayat turun tentang mereka, sebagian lagi memahami kekafiran dalam ayat sebagai kufur kecil, bukan kufur besar.

Bersambung…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top