Setiap masyarakat manusia sudah pasti memerlukan penguasa karena dalam diri manusia itu masih tersisa sifat-sifat kebinatangan dan kecenderungan untuk menyiksa orang lain (az-zhulm). Seandainya penguasa itu tidak ada, kehidupan masyarakat manusia akan berada dalam keadaan halai-balai dan penuh dengan kekacauan yang pada akhirnya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Menurut sejarawan Ibnu Khaldun, penguasa bukanlah orang yang memaksakan kehendaknya kepada orang lain, tetapi seseorang yang melakukan suatu tugas sosial yang penting yang tujuannya berkelindan erat dengan kelanjutan eksistensi manusia itu sendiri.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kekuasaan itu adalah hubungan. Dalam kitab magnus opus-nya, Muqaddimah, Ibnu Khaldun menulis:
Ketahuilah bahwa kepentingan rakyat kepada penguasa bukan pada diri dan tubuhnya, seperti keelokan bentuk badannya, kecantikan wajahnya, kebesaran tubuhnya, luasnya ilmu pengetahuannya, indahnya tulisannya, atau ketajaman otaknya. Kepentingan mereka itu terletak dalam hubungan antara dia dan mereka. Oleh karena itu, kekuasaan dan penguasa itu termasuk hal yang bersifat relasional (min al-umur al-idhafiyah). Jadi, terdapat keseimbangan antara kedua belah pihak. Dia dinamakan penguasa karena ia mengurus persoalan rakyat, sedangkan rakyat adalah mereka yang memiliki penguasa.
Dari kutipan ini terlihat bahwa bagi Ibnu Khaldun sebenarnya tidak ada suatu kekhasan yang terdapat pada diri penguasa, selain bahwa ia dipercaya rakyat untuk mengurusi mereka. Kepentingan yang dimilikinya bukan karena sesuatu hal ihwal yang luar biasa terdapat dalam dirinya, tapi karena rakyat mempercayakan kepadanya untuk mengurus urusan mereka.
Sebagai akibat dari pendapatnya ini, Ibnu Khaldun memperlihatkan bahwa baik-buruknya seseorang berkuasa sangat tergantung pada bagaimana caranya mengurus kepentingan rakyat itu. Apabila kekuasaannya itu dilaksanakan dengan lemah lembut, semua pihak, termasuk penguasa dan rakyat, akan berada dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Dan dengan demikian, tujuan kekuasaan itu telah tercapai. Sedangkan apabila kekuasaan itu dilaksanakan dengan keras, penuh hukuman dan penindasan, serta selalu mencari-cari pelbagai kesalahan kecil yang dilakukan rakyat, rakyat akan diselimuti oleh rasa ketakutan dan merasa tertindas.
Dalam keadaan seperti ini, sifat yang berkembang di kalangan rakyat adalah sifat suka berdusta dan tidak mengatakan apa yang sesungguhnya. Penipuan dan kebohongan merupakan ciri yang tersebar luas di tengah masyarakat. Penguasa sama sekali tidak dapat mengandalkan diri kepada rakyat, terutama dalam menghadapi krisis dan peperangan.
Mereka akan menjadi senjata makan tuan bagi penguasa, karena rakyat akan menjadi pengkhianat dan meninggalkannya dalam keadaan perang itu. Malah mungkin juga bahwa mereka akan berbuat makar untuk membunuh penguasa itu.
Oleh sebab itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa seorang penguasa yang baik itu adalah seseorang yang berada di tengah rakyat, serta berlaku baik dan lemah lembut terhadap mereka. Dengan demikian, rakyat akan menyayanginya serta akan mempertahankannya sampai tetesan darah penghabisan dalam memerangi musuh-musuhnya. Penguasa itu akan terlindung dari segala pihak.
Jangan terlalu pintar
Kekasaran dalam melaksanakan kekuasaan, menurut pendapat Ibnu Khaldun, biasanya bersumber pada ketajaman otak si penguasa itu. Otaknya demikian tajam sehingga pandangannya terlalu jauh ke depan. Penguasa seperti menghendaki rakyat melaksanakan rencana-rencananya yang amat berjangka panjang itu, sehingga sangat memberatkan beban rakyat.
Berdasarkan kenyataan itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa seorang penguasa itu jangan terlalu pintar. Salah satu kaidah bagi seorang penguasa adalah apa yang menurut Ibnu Khaldun sebuah hadis yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw: “Berjalanlah sesuai dengan langkah orang yang terlemah di kalanganmu!” Jadi, penguasa yang terbaik bukanlah yang paling pintar, tetapi yang bersifat pertengahan, karena sifat seperti itulah yang sangat terpuji. Ibn Khaldun menulis, “Al-mahmudu huwa at-tawassut (Sifat yang terpuji adalah pertengahan).”
Ibnu Khaldun mengingatkan kita bahwa penguasa itu adalah seorang manusia biasa yang lemah, sama keadaannya dengan orang lain. Perbedaannya adalah karena dia memikul tanggung jawab yang lebih berat. Oleh karena itu, ia memerlukan bantuan dari orang lain. Ia membutuhkan tentara yang akan melindunginya dari musuh-musuhnya. Ia membutuhkan tenaga-tenaga yang akan menjalankan roda pemerintahan. Oleh sebab itu, ia membutuhkan kementerian, pengawal, bagian administrasi dan perpajakan, bagian surat-menyurat, kepolisian, angkatan laut, dan lain sebagainya. Semuanya ini dimaksudkan untuk membantunya dalam melaksanakan tugasnya yang berat itu.
Untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya di tengah masyarakat, penguasa harus memiliki beberapa perangkat fasilitas dan hak yang dapat membantunya dalam melaksanakan tugasnya itu. Di antaranya adalah dominasi (al-ghalabah), pemerintahan (as-shulthan), dan kekuasaan untuk melakukan kekerasan (al-yad al-qahirah). Semuanya ini dipergunakan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi perselisihan dan kesewenang-wenangan dalam masyarakat, sebagai akibat dari sisa-sisa kebinatangan dan kecenderungan untuk berbuat aniaya di antara sesama manusia itu. Jikalau sampai terjadi hal seperti itu, tugas penguasa adalah menyelesaikannya.
Politik, kenegaraan, dan penguasa adalah masalah-masalah yang bagi Ibnu Khaldun tidak ada hubungannya dengan agama. Sepanjang ada hubungannya dengan masalah negara dan politik, perihal itu terdapat bukan saja di kawasan tempat orang muslim ada, tetapi juga terdapat di tempat-tempat liyan yang tidak terdapat orang muslim. Terlepas dari apakah ada tidaknya agama Islam atau syariat Islam, negara akan tetap ada, politik akan tetap ada, dan penguasa juga akan tetap ada. Jadi, meninjau masalah ini dari segi agama, dengan pengertian bahwa hal itu akan tidak ada tanpa agama, ialah suatu pendapat yang tidak mempunyai bukti yang meyakinkan.
Hal ihwal ini tentu tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa agama memang mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam pelaksanaan kekuasaan, karena dengan adanya agama itu, orang melihat persoalan tidak hanya sekadar denga mata dan pendapat manusia saja, tapi juga sudah ditopang oleh pandangan dan petunjuk Allah Swt. Kendati demikian, ini adalah persoalan yang lain. Perihal yang ingin saya teroka di sini adalah bahwa seolah-olah dengan adanya hukum agama itu, barulah negara dan kekuasaan ada. Padahal masalahnya bukan demikian.
Menurut Ibnu Khaldun, ada dua cara yang dapat digunakan penguasa untuk memaksakan kehendaknya kepada orang-orang di sekelilingnya. Pertama, adalah dirinya sendiri saja (bi ma yufridhuhu al-hakim li nafsihi). Sedangkan yang kedua adalah dengan perantaraan solidaritas (bil-‘ashabiyah). Kalau mengenai masalah solidaritas, ini memang merupakan suatu topik yang amat banyak menarik perhatian Ibn Khaldun, karena solidaritas itu memainkan peranan yang sangat besar dalam pemikirannya tentang kekuasaan dan negara. Perihal ini mengingatkan kita akan teori kharisma dan pemimpin kharismatik, terutama seperti yang dijabarkan oleh sosiolog Marx Weber tentang kepemimpinan.
Dalam hubungannya dengan penguasa ini, Ibnu Khaldun membedakan antara kepemimpinan (ar-riasah) dan kekuasaan (al-mulk).
Menurut pendapatnya, pemimpin adalah seseorang yang diikuti orang lain karena sifat-sifat kepemimpinan yang terdapat dalam dirinya, tetapi ia tidak memiliki kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada mereka.
Sedangkan kekuasaan negara adalah kekuasaan untuk mendominasi dan memerintah dengan kekerasan. Kekuasaan itu harus berjuang keras untuk menaiki anak tangga demi anak tangga untuk pada akhirnya sampai ke puncaknya, yakni kekuasaan negara. Dalam mendorong seorang penguasa untuk sampai ke puncak itulah diperlukan solidaritas ini.
Dengan demikian, ia bersama dengan kelompok yang mendukung dan mendorongnya sampai kepada apa yang ditujunya itu. Oleh sebab itu, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekuasaan negara itulah yang menjadi tujuan sesungguhnya dari solidaritas itu (fat-taghallub al-mulki ghayatun lil-‘ashabiyah).
Hakikat kekuasaan
Kelindan antara penguasa dengan moralitas sangat menonjol dalam pemikiran Ibnu Khaldun. Menurutnya, sama sekali tidak mungkin seseorang yang tidak bermoral untuk sampai kepada kekuasaan negara. Kekuasaan pada hakikatnya adalah seperti sebatang pohon kayu.
Pohon kekuasaan itu, bagi Ibnu Khaldun, mempunyai batang (ashl) dan juga memiliki cabang-cabang (furu’). Batang yang tidak mempunyai cabang adalah laiknya orang yang tampil di tengah khalayak tanpa busana. Yang dianggapnya sebagai pokok utama itu adalah solidaritas dengan para pendukungnya yang terutama dan mendukungnya untuk sampai pada tujuan yang akan dicapainya, dan yang juga akan mempertahankannya jika ada pihak liyan yang berusaha menghalanginya atau menghancurkannya. Kelompok solidaritas ini dalam bentuknya yang paling murni ialah keluarga dan sanak kerabat atau orang-orang sesuku atau semarga.
Namun yang paling penting dalam masalah ini bukanlah hubungan keluarga ini, tetapi buah atau hasilnya. Yang dimaksud dengan buah atau hasilnya itu oleh Ibn Khaldun adalah semangat tolong-menolong, bantu-membantu, dan perasaan sehidup semati yang muncul karena adanya perasaan senasib sepenanggungan. Kaitan yang amat rapat antara penguasa dan moralitas itu tampak dengan bernas ketika Ibnu Khaldun mendedahkan tentang apa yang diistilahkannya dengan cabang-cabang (furu’) itu.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa yang dinamakan cabang-cabang itu adalah sifat-sifat terpuji (al-khilal). Jadi, seorang penguasa itu haruslah rapat hubungannya dengan sifat-sifat yang mulia dan memilikinya dalam kehidupan nyata.
Menurut pemikiran Ibnu Khaldun, penguasa adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang agung dan terpuji. Adanya sifat-sifat yang mulia itu pada seseorang memperlihatkan dan memberi petunjuk, bahwa ia mempunyai dasar-dasar nan kokoh dan alami untuk menjadi penguasa, terutama apabila didukung oleh suatu solidaritas yang kuat. Seorang penguasa yang memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia telah mulai kehilangan sifat-sifat kemuliaan yang tadinya dimilikinya, memberikan petunjuk bahwa kekuasaannya itu telah memudar dan ia sedang menunggu kehancuran kekuasaannya itu.
Hubungan yang sangat rapat antara penguasa dan sifat-sifat kebaikan yang dianggit oleh Ibn Khaldun ini adalah sangat menarik, terutama apabila kita perhatikan bahwa dalam pemikiran manusia era kiwari, politik seringkali dianggap sebagai suatu hal yang kotor dan penuh dengan kelicikan, sedangkan hubungan kekuasaan adalah hubungan antara yang berkuasa dan tidak berkuasa, antara yang lemah dengan yang kuat, antara yang menindas dan yang ditindas. Ibnu Khaldun seolah-olah hendak mendedahkan kepada kita bahwa pendapat seperti itu tidak sepantasnya dituduhkan kepada penguasa, karena fungsi penguasa pada hakikatnya adalah fungsi konstruktif dan manusiawi, dengan pengertian bahwa seluruh eksistensi dan kegiatannya diabaikannya untuk kepentingan anggota masyarakat (Zainuddin 1992: 200).
Kekuasaan yang terdapat di tangan penguasa itu adalah suatu hal yang amat mulia yang harus diperlakukan dengan hati-hati dan penuh perasaan, karena ini pada hakikatnya adalah amanah Allah Swt. yang harus diembannya dengan sebaik-baiknya.
Penguasa itu, apabila dipandang dari segi sifat-sifat yang dikemukakan Ibn Khaldun ialah penjaga seluruh rakyat, terutama sekali orang-orang yang berada dalam keadaan lemah dan menderita dari kalangan umat manusia. Tugas penguasa itu adalah tugas untuk mengangkat moralitas, keadilan, kesejahteraan, dan keberagamaan di kalangan umat manusia. Apabila seorang penguasa telah melupakan tugasnya yang asli itu, dan telah mulai terlibat dengan hal-hal liyan yang bertentangan dengan itu, ini berarti ia telah berada di ambang keruntuhan, dan hanya tinggal menunggu masa keruntuhannya saja lagi.
Arkian, meskipun Ibnu Khaldun adalah ilmuwan yang tidak percaya bahwa perkembangan masyarakat dan negara dapat diperhatikan atau diteliti dengan menggunakan kaidah-kaidah agama, dia adalah orang yang percaya sekali bahwa ajaran-ajaran agama itu harus menduduki tempat yang sentral dalam telatah dan sikap penguasa dalam mengemban kekuasaan yang dimilikinya. Penguasa yang ideal ialah orang yang menganggap kekuasaannya itu sebagai amanah Allah Swt, sehingga pelaksanaan kekuasaannya itu dianggapnya tidak lain daripada cara yang terbaik untuk mengabdi kepada Tuhan.