Sedang Membaca
Pemenang Lomba Menulis Ramadan Berkah (10): Menyepi Selama Pandemi
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Pemenang Lomba Menulis Ramadan Berkah (10): Menyepi Selama Pandemi

Lomba Menulis Ramadan Berkah Umum

Adapun tulisan pemenang pertama lomba menulis Ramadan Berkah kategori Umum adalah Rahmat Hidayat. Rahmat adalah Santri Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep, Madura. Selamat ya, Rahmat. Berikut tulisannya. Selamat menyimak!

“Rahasiakanlah cintamu pada-Ku. Jangan sampai angin mendengar meski sesiut apa pun. Diamlah. Aku membenci dunia yang gaduh”. Secara puitis, Triyanto Triwikromo dalam novel Surga Sungsang-nya menyampaikan bahwa Tuhan menginginkan “dunia” yang tenang dan khusyuk selama pandemi. Secara implisit, penggalan puisi di atas memberi pesan kepada umat muslim untuk ber-uzlah (menyepi), karantina diri, atau physical distancing di tengah pandemi.

Kali ini, bulan Ramadhan dan malam Idul Fitri tidak akan seramai tahun lalu. Acara buka puasa bersama, pengajian, tabligh akbar, tarawih berjamaah, halal bi halal, takbir keliling dan sebagainya, kini tidak diperbolehkan. Sebab, keramaian dan kerumunan menjadi basis akselerasi penyebaran virus COVID-19. Bahkan, aktivitas ibadah kolektif di dua tanah suci yakni Mekkah dan Madinah ditutup untuk sementara waktu sampai kondisi kembali kondusif.

Himbauan physical distancing menuntut masyarakat muslim di seluruh dunia untuk menjalankan aktivitas ibadah secara soliter. Mau tidak mau, masyarakat harus berdiam diri dan menjalankan ibadah di rumah masing-masing. Kini, rumah menjadi tempat ternyaman dan teraman dari ancaman wabah virus Corona. Alangkah baiknya, upaya stay at home di Bulan Ramadhan ini diniatkan untuk ber-uzlah diri dari hiruk-pikuk duniawi sekaligus mawas diri dari bahaya virus corona.

Menurut Sufyan ats-Tsauri dalam buku biografinya Wafiyat al-A’yan, melakukan uzlah (karantina diri) lebih utama daripada bercampur-baur dalam kerumunan. Rasulullah saw. pun juga melakukan uzlah di Gua Hira’ untuk bertafakkur, menata pikiran dan menjernihkan hati. Bahkan, Nabi Muhammad memerintahkan penduduk Madinah untuk ber-uzlah (melakukan karantina diri di rumah dan menjauhi kerumunan) ketika virus melanda Negeri Syam.

Baca juga:  Masa Depan Ketakpastian: Refleksi dari Musala yang Dikunci

Nabi Muhammad pun melakukan anjuran medis dengan melakukan physical distancing, ketika wabah melanda suatu negeri. Melakukan uzlah selama pandemi merupakan cara yang sangat efektif untuk menghentikan akselerasi penyebaran virus COVID-19. Di sisi lain, tindakan kaum sufi ini sangat bermanfaat bagi kita untuk menata diri dan bermuhasabah selama bulan suci Ramadhan.

Jihad Akbar

Dalam pandangan kaum sufi, ber-uzlah merupakan upaya menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dunia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Aktivitas uzlah kaum sufi ini dapat ditarik dalam konteks pandemi sebagai upaya membentengi diri dari ancaman virus dengan menjaga jarak fisik, sekaligus jihad melawan virus serta menuntaskan berbagai krisis sosial selama pandemi.

Upaya melakukan uzlah (karantina diri) selama Bulan Ramadhan bukanlah perkara mudah. Mengingat, bulan Ramadhan adalah bulan mulia yang sangat ditunggu-tunggu, tidak heran apabila umat muslim selalu mengalami euforia keberagamaan selama Ramadhan.

Akibat euforia yang berlebihan, tidak sedikit umat muslim yang mengabaikan perintah physical distancing. Banyak di kalangan muslim yang memaksakan diri untuk tetap ibadah tarawih berjamaah, melakukan buka puasa bersama, tabligh akbar, dan melakukan pengajian secara sembunyi-sembunyi, sekalipun wilayahnya tergolong zona merah.

Sebagai hamba yang taat, seharusnya kita menyambut dengan gembira kedatangan bulan suci Ramadhan. Akan tetapi, kita tidak lantas membabi-buta dalam beribadah dengan menghiraukan himbauan physical distancing. Dan, tidak sedikit, umat muslim Indonesia berfikir secara fatalistik dengan berargumentasi bahwa kematian manusia ditentukan oleh Allah swt, bukan oleh virus.

Baca juga:  Misbach Yusa Biran, Seni di antara NU dan Masyumi

Egoisme beragama selama pandemi merupakan hawa nafsu yang harus kita lawan selama berpuasa. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin (2014: 234), ber-uzlah (karantina diri) hendaknya diniatkan untuk berjihad melawan hawa nafsu. Kita harus memerangi egoisme keberagamaan kita sebagai bentuk jihad akbar melawan hawa nafsu yang bersemayam dalam diri.

Ber-uzlah dalam konteks pandemi merupakan jihad akbar. Mengapa demikian? Karena kita dituntut mengutamakan kepentingan umum daripada ego sektarian dan egoisme keberagamaan. Selama kita bereuforia akan kedatangan bulan suci Ramadhan, kita perlu mengontrol ego dengan ilmu (akal) agar ibadah yang kita lakukan tidak bertentangan kemaslahatan umum.

Kita tidak mau ibadah yang dianggap ketaatan kepada Allah, malah justru mengundang murka-Nya lantaran abai dengan himbaun physical distancing. Ber-uzlah upaya mengaktualisasi nilai-nilai kerahmatan Islam selama pandemi. Selama pandemi ini, masjid yang sesungguhnya kini berada di rumah-rumah masing-masing. Dengan beribadah dalam rumah, kita mendapatkan kekhusyukan, keamanan, dan kenyamanan selama pandemi.

Dari Soliter Menuju Solider

Dengan ber-uzlah, kita dapat membentengi diri dan melindungi orang lain dari ancaman virus COVDI-19. Selain itu, Imam al-Ghazali memaparkan ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari ber-uzlah di antaranya umat muslim dapat memperbaiki hubungan vertikal dengan Sang Pencipta, sebab selama ini kita selalu memberhalakan perkara dunia. Kedua, uzlah dapat menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat yang kebanyakan terjadi dalam suatu perkumpulan masyarakat seperti ghibah, riya’, zina, penipuan, menyebar fitnah (hoax) dan sebagainya.

Baca juga:  Belajar Kearifan Lokal Smong, Mitigasi Bencana Orang Simeulue

Menariknya, konsep uzlah al-Ghazali tidak bersifat ekstrim. Dia berpendapat bahwa manusia tidak sepenuhnya bisa bebas dari dunia sosialnya karena manusia merupakan makhluk sosial sekaligus individual. Uzlah mampu memangkas nafsu hayawaniah dalam diri manusia seperti kesombongan, ketamakan, dan kerakusan (2014: 234). Mafhum mukholafah-nya, uzlah yang hakiki justru akan membentuk pribadi manusia yang sosialis, dermawan, pengasih dan penuh empati terhadap lingkungan sosialnya.

Di tengah krisis sosial selama pandemi, konsep uzlah al-Ghazali sangat relevan untuk diaktualisasikan. Uzlah berangkat dari aktivitas soliter menuju sikap yang solider. Selaras dengan orientasi puasa Ramadhan yakni mencapai derajat takwa. Seseorang harus mampu membangun harmonisasi vertikal (hablun minallah) dan horizontal (hablun minannas).

Secara substantif, ber-uzlah selama pandemi tidak bermaksud memupuk sikap individualisme dan antipati. Menurut Emha Ainun Najib, ketika seseorang mengenalnya Allah swt lebih dekat melalui uzlah, sejatinya ia telah mengenal jati dirinya sebagai manusia. Man ‘arofa nafsahu laqod ‘arofa rabbahu (2015: 47). Atmosfer uzlah untuk merebut hakikat kemanusiaan dari beragam identitas keduniawian yang palsu. Orang yang ber-uzlah harus mampu membangun solidaritas kemanusiaan sebagai konsekuensi bertauhid dan berislam yang kaffah.

Dalam konteks pandemi ini, kita perlu menggencarkan gerakan filantropi Islam dengan mengoptimalkan pembayaran zakat, memperbanyak sedekah, menyantuni korban COVID-19 yang tergolong kaum mustad’afiin, dan lain sebagainya, dengan tetap memperhatikan protokol medis. Dengan demikian, aktivitas uzlah yang bersifat individual dapat menjadi kekuatan transformasi sosial yang dapat mengentaskan beragam krisis sosial selama pandemi. Amien.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top