Pendefinisian Penodaan Agama dan Diskriminasi
Majelis hakim yang mulia!
Saya belajar tentang berbagai Undang-Undang terkait HAM (Hak Asasi Manusia), Deklarasi Universal HAM, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, tentang kebebasan beragama, dan sebagainya. Sudah 13 tahun saya menjadi pelajar dan peneliti di beberapa negara; di Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jepang, dan sekarang di Singapura. Saya sudah menulis sejumlah makalah tentang Ahmadiyah yang terbit di berbagai jurnal internasional ternama, termasuk yang terkait teologi atau akidah Ahmadiyah yang sering diperdebatkan dan juga terkait berbagai fatwa tentang Ahmadiyah. Tapi untuk kali ini, saya tinggalkan itu semua. Saya berharap kita berbicara dengan hati, bukan mencoba untuk saling mengalahkan. Saya sudah agak lelah dengan perdebatan teologis itu. Saya ingin mengetuk hati saya sendiri sebagai bagian dari mayoritas umat Islam Indonesia.
Saya juga sudah menulis makalah tentang ketertiban umum dan penodaan agama dengan logika dan argumen-argumen akademis yang cukup detail. Sekali lagi, kali ini ini saya ingin meninggalkan itu semua. Jika bapak-ibu tertarik membacanya, silahkan meminta ke pengacara. Saya sudah menyerahkan kepadanya. Untuk sementara saya hanya ingin mengetuk hati saya sendiri dan mengajak kita semua kembali ke hati, sebagai manusia, sebagai umat yang bersaudara, dan kemudian merenungkan apa dan siapa yang benar-benar menghina agama.
Ada beberapa hal yang sering disebut sebagai penodaan atau penistaan agama. Ketika sebuah koran di Denmark, Jyllands-Posten, memuat kartun-kartun tentang Nabi Muhammad pada 30 September 2005, orang menyebutkan itu sebagai pelecehan agama. Demikian juga dengan koran Perancis Charlie Hebdo yang sering memuat poster dan kartun anti-agama. Geert Wilders dari Belanda dengan film Fitna-nya juga memberikan eksplorasi dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dari penafsiran umumnya. Di Indonesia, kelahiran undang-undang ini juga terkait dengan kegiatan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang anti-agama dan merongrong kepercayaan kita kepada Tuhan. Apakah kita hendak menyamakan apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah dengan itu semua? Saya tidak tega jika kita hendak melakukan itu.
Perbedaan penafsiran tidak bisa dimaknai sebagai penodaan. Jika tidak diberi penafsiran bersyarat, maka pasal ini bukan hanya mengenai Ahmadiyah, tapi juga kelompok agama lain. Bulan lalu (Oktober 2017), terdapat pelarangan pendirian masjid dan bahkan pembakaran tiang Masjid At-Taqwa Samalanga, Bireun, Aceh. Ini bukan Masjid Ahmadiyah, tapi Muhammadiyah. Mengapa? Karena Muhammadiyah di sana dianggap memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dari masyarakat. Muhammadiyah dianggap bukan Ahlussunnah Waljamaah. Itu yang tertulis resmi dari pihak-pihak berwenang di Aceh. Muhammadiyah dituduh Wahabi yang menyimpang dari keyakinan pada umumnya.
Mari kita bayangkan, jika ada kelompok yang tidak toleran terhadap slametan dan tradisi keagamaan yang selama ini dipraktekkan oleh kelompok NU, lantas tiba-tiba kelompok ini berkuasa di negeri ini, maka NU akan dianggap sesat, melakukan penafsiran agama yang menyimpang dari Islam. Kelompok seperti ini benar-benar ada, bukan hanya dalam imajinasi kita, tapi berada di tengah-tengah masyarakat kita. Keberadaan mereka bukan khayalan semata. Mereka ini aktif berteriak-teriak. Maka bangunan keagamaan kita bisa runtuh dengan sikap mereka, dengan bersenjatakan pasal-pasal ini. Ada kelompok agama di Jawa Tengah yang sangat benci terhadap NU dan bahkan berkali-kali menuduhnya sesat. Bukan di abad lampau, tapi saat ini. Jika kelompok ini atau yang seperti ini menjadi bagian dari penguasa, maka dengan menggunakan pasal-pasal dari undang-undang ini mereka bisa menuduh NU telah melakukan penodaan agama.
Penutup
Majelis hakim yang mulia!
Saya bagian dari bapak dan ibu semua. Saya lahir dan besar dalam lingkungan NU, dari orang tua yang merupakan kiai kampung, yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengajar Islam di kampung. Saya mengikuti pendidikan agama di madrasah dan pesantren sejak TK hingga Madrasah Aliyah atau SMA. Ketika kuliah S1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mulai menjadi aktivis Muhammadiyah dan sekarang merupakan wakil ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. Model keberagamaan saya adalah bagian dari yang bapak dan ibu ikuti. Saya adalah bagian dari kelompok mainstream di Indonesia. Tapi mari kita, sebentar saja, merasakan menjadi Ahmadi, yang ingin diperbolehkan beribadah dan menundukkan diri kepada Allah.
Dalam pengadilan-pengadilan, kita sering disuguhi dengan berbagai argumen yang pelik dan brilian, namun ada sesuatu yang kadang terlewatkan, yaitu hati kita. Dalam salah satu sabdanya, Nabi Muhammad menganjurkan pengikutnya untuk meminta fatwa atau keputusan kepada hati, istafti qalbak. Tidak banyak yang dituntut oleh Ahmadiyah, mereka hanya minta untuk diperbolehkan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Mereka ingin menyembah dan memuja Allah di rumah mereka. Apakah kita tega melarang itu? Terus-terang, jika ternyata Ahmadiyah itu sesat, maka tidak usah dilarangpun mereka akan hancur sendiri. Tanpa SKB atau regulasi lain, Ahmadiyah pasti ditinggalkan orang, jika ternyata kelompok ini memang sesat. Ahmadiyah hanya menuntut bisa berdoa di tempat ibadahnya. Karena itu yang mulia, mohon berikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap pasal 1, 2, dan 3 dalam UU No. 1/PNPS/1965. Mohon berikan penafsiran konstitusional bersyarat seperti yang diminta oleh para pemohon.
-oo0oo-
Jakarta, 7 November 2017