Sedang Membaca
Menjadi Diaspora NU di Kota Sydney, Australia (1)
Avatar
Penulis Kolom

Ketua NU Sydney periode 2016-2018 dan Mantan Ketua Pengajian Kaifa (Kajian Islam Kaffah) kota Sydney Australia dan Ikut Mendirikan Taman Pendidikan Qur’an Maarif Sydney. Dosen Tetap Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.

Menjadi Diaspora NU di Kota Sydney, Australia (1)

Awal bulan Maret tahun 2016, saya tiba di kota Sydney dengan status sebagai turis alias turut istri yang akan melanjutkan studi doktoral di the University of Sydney (Usyd). Berbagai hal atau pertanyaan berkecamuk dalam pikiran untuk mempersiapkan diri hidup di negeri rantau, seperti pekerjaan apa yang hendak akan saya lakukan nantinya, serta sebagai seorang Muslim yang datang dari negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia, bagaimana saya akan menjalankan rutinitas ibadah di negeri Non Muslim semacam Australia.

Persoalan pertama tentang mendapatkan pekerjaan di Sydney segera terjawab karena memang mencari pekerjaan nyatanya cukup mudah dengan catatan asalkan mau bekerja apapun. Dalam hitungan hari, tepatnya seminggu saya sudah mendapatkan pekerjaan di cuci mobil lewat salah seorang teman yang juga bekerja di sana. Meski agak berat dangan rate yang sangat rendah untuk ukuran Sydney, pekerjaan ini lumayan untuk mengisi kekosongan waktu serta menambah biaya belanja kebutuhan sehari-hari.

Sementara untuk pertanyaan kedua, saya langsung menghubungi Gus Nadir melalui akun facebook beliau untuk mempertanyakan perihal NU (Nahdlatul Ulama) di Sydney. Sosok Gus Nadir memang tidak hanya hebat, selain sebagai Rais Syuriah PCI NU-ANZ dengan tulisan-tulisaannya yang cemerlang di bidang pemikiran, beliau juga menjadi wasilah yang sangat handal untuk menghubungkan orang-orang baru yang ingin bergabung di NU di Australia. Kelak, saat saya sudah bergabung di NU Sydney banyak kawan-kawan baik yang baru datang maupun yang sudah lama tinggal di Sydney yang menghubungi saya melalui Gus Nadir.

Menghubungi Gus Nadir sebenarnya adalah bentuk tagih janji saya kepada beliau, karena sebelum berangkat ke Sydney saya sudah menanyakan beberapa hal tentang NU di Sydney. Saya mengenal Gus Nadir saat menghadiri Muktamar NU di Jombang tahun 2015 lalu. Saat itu, Gus Nadir mengisi seminar bersama KH Lukman di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Sang moderator memperkenalkan beliau sebagai Rais Syuriah PCI NU-ANZ. Setelahnya, saya langsung mencari nama beliau di Facebook dan langsung meng inbox beliau untuk berniat bergabung di NU Australia.

Baca juga:  Perkembangan Literasi Arab di Barat: Berubahnya Sebuah Paradigma

Dari Gus Nadir, saya diarahkan untuk menghubungi pak Yusdi Maksum sebagai orang yang telah lama berkhidmat di NU Sydney, terlebih beliau sudah lama pula menjadi penduduk tetap bahkan sudah menjadi warga negara Australia. Sayangnya, beliau tinggal di daerah West Sydney, tepatnya di kawasan Penrith  yang lumayan jauh dari kami yang tinggal di kawasan Canterbury-Bankstown yang merupakan tempat tinggal sebagian besar masyarakat muslim Indonesia. Kendala geografis ini cukup menjadi persoalan, sehingga hampir setahun lamanya saya baru bertatap muka langsung dengan syekh (sebuah sebutan yang kerap dipakai antar anggota NU di Australia) Yusdi, meski komunikasi melalui Whatsup sudah sering kami lakukan.

Syekh Yusdi selanjutnya mengarahkan saya untuk bergabung di komunitas yang mangamalkan amaliah NU dalam kegiatannya seperti pembacaan Yasin dan Tahlil, yakni KAIFA atau Kajian Islam Kaffah. Meski sebagai salah satu pendiri Kaifa, pada saat itu beliau kurang aktif mengikuti kegiatan bulanan Kaifa karena lagi-lagi persoalan tempat tinggal beliau yang cukup jauh. Melalui ketuanya saat itu, yakni bu Heni Muflikhah saya dimasukkan grup WA Kaifa. Bu Heni adalah mahasiswa program doktor di the University of Sydney, dan beliau adalah alumni Fakultas Kedokteran UGM. Sembari kuliah di UGM, beliau juga nyantri di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta.

Baca juga:  Outgrowing God: Betulkah Orang Beragama Gagal Dewasa?

Akan tetapi, sampai beberapa bulan di Sydney, saya masih belum menerima undangan kegiatan Kaifa. Saat menunggu bergabung kegiatan Kaifa, saya justru mendapatkan undangan dari Komunitas Halaqoh tiap Jumat malam melalui salah seorang aktivis Halaqoh yang tinggal di dekat tempat tinggal saya di kawasan Campsie. Halaqoh tiap jumat malam itu lebih dekat dengan PKS yang digerakkan oleh kaum muda dan dulunya dirintis oleh para pejuang dakwah PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

Sekitar lebih tiga bulan, barulah saya mendapatkan undangan kegiatan Kaifa di rumah ustadz Emil Idad di kawasan Lakemba. Ternyata komunitas Kaifa yang mengusung amaliah NU di medio tahun 2016 itu baru berdiri belum genap setahun, dan masih pada tahap merintis sehingga yang hadir pada saat itu hanya empat keluarga termasuk dengan sang tuan rumah. Acara diawali dengan pembacaan al fatihah yang ditujukan untuk para orang tua dan ahli kubur kemudian pembacaan surat Yasin dan Tahlil dilanjutkan dengan Kajian Keislaman, lalu diakhiri dengan makan malam bersama.

Berdasarkan keterangan dari Bu Heni serta penjelasan lebih lengkap dari salah satu penggagas utamanya yakni bu Atun Wardatun, Kaifa lahir dari kekosongan komunitas muslim di Sydney yang mengusung amaliah dan kegiatan sesuai dengan amaliah NU. Bahkan Kaifa lahir dari peristiwa yang cukup mengecewakan bagi orang-orang Nahdiyin yang merasa tidak memliki wadah untuk mengekspresikan amaliah NU. Bu Atun Wardatun sendiri adalah dosen di IAIN Mataram yang saat itu sedang mengambil program doktor di Western Sydney University (WSU).

Bu Atun Wardatun mengatakan bahwa Kaifa lahir selain karena keinginan adanya wadah bagi kaum Nahdiyin, juga dipicu dari peristiwa penolakan ustadz dari NU yang hendak mengisi ceramah di komuntas muslim yang ada di Sydney. Beliau menceritakan bahwa seperti biasa pada setiap bulan Ramadhan, PCI NU-ANZ mengundang ustadz dari tanah air untuk memberikan pengajian bertajuk safari Ramadhan di negara-negara bagian Australia dan New Zealand.

Baca juga:  Di Balik Pembunuhan Mayor Jenderal Qassim Soleimani

Saat itu, ustdaz yang diundang adalah seorang dosen dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yakni ustadz DR Ahmad Rofiq. Karena di kota Sydney NU belum memiliki wadah atau komunitas sendiri, maka Bu Atun yang saat itu aktif di forum ODOJ (one day one juz) mengajukan ustadz Ahmad Rofiq di komunitas tersebut. Pada awalnya, hampir semua anggota pengajian menerimanya, namun belakangan beliau ditolak karena salah seorang pengurus inti ODOJ telah melakukan digital screening terhadap sosok ustadz Ahmad Rofiq.

Melalui digital screening tersebut, ustadz Ahmad Rofiq dianggap sebagai ustadz beraliran liberal di tanah air karena penelitian-penelitian beliau tentang pemikiran Gus Dur dan Asghar Ali Engineer. Karenanya sosok ustadz Rofiq dianggap membahayakan akidah jamaah jika sampai mengisi ceramah atau pengajian. Peristiwa ini sungguh memprihatinkan sehingga tiga tokoh penting saat itu yakni Atun Wardatun, Yusdi Maksum, Heni Mulikhah dan Mahardhika sepakat membentuk forum Kaifa sebagai wadah bagi warga nahdiyin.

Dengan demikian, peristiwa penolakan ustadz Ahmad Rofiq bisa jadi meski menyisakan kekecewaan tapi di sisi lain justru menjadi blessing in disguise alias berkah tersembunyi bagi warga nahdiyin. Sehingga dari situ lahir komunitas muslim yang mengusung amaliah nahdiyin. Dan sampai sekarang, forum Kaifa di usianya yang belum genap empat tahun, semakin eksis dan mulai berkembang meskipun memiliki tantangan yang tidak sedikit.

Bersambung…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top