Menoleh Boleh, Berbalik Jangan
[blockquote align=”none” author=”Ong Hok Ham”]”Keuangan yang akhirnya dapat membeli kekuasaan dari masyarakat yang katanya nonmaterialis.”[/blockquote]Apakah kita akan menyalahkan kolonial yang mewarisi sikap mental pangreh praja dan politik uang? Terlalu naif jika kita balik ke belakang. Sebagian besar penyakit birokrasi yang ada sekarang, disebabkan oleh kita sendiri yang tidak segera mengubah diri. Soal seleksi penerimaan pegawai dan pengawasan, misalnya, pemerintah kolonial lebih selektif dan ketat, ketimbang kita yang hidup dalam kultur nepotisme. Memang sebagian dari pangreh praja pada zaman kolonial terdiri dari priayi atau penguasa lokal, namun mereka tak bisa leluasa membawa “gerbong” keluarganya untuk ikut jadi aparatus kolonial.
Kemudian selama puluhan tahun, disadari atau tidak, pendidikan mengarahkan subjek didik jadi barisan pangreh praja. Pandangan sosial masyarakat juga menganggap jadi pegawai negeri ukuran keberhasilan orang sekolahan. Didukung sikap kolusi dan nepotisme, jadilah birokrasi sebagai muara yang menampung hasrat orang jadi birokrat. Akibatnya, jumlah pangreh praja membengkak dan tambun, geraknya lamban bak kura-kura tua yang rabun.
Hal paling menyedihkan, mata uang masuk ke dunia politik yang dikenal sebagai politik uang (money politic). Pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan lurah, kerap diwarnai tindak-tanduk ini, sehingga mereka yang punya banyak uang kerap menang. Suara rakyat suara Tuhan pun perlu dipertanyakan. Masyarakat kita tiba-tiba menjadi amat permisif dengan kebendaan. Padahal dalam ajaran adiluhung digambarkan kita adalah masyarakat yang memiliki refleksi kuat atas makna bendawi. Atau jangan-jangan anggapan warisan itu tidak sepenuhnya benar. Terbukti, keberhasilan VOC dan Hindia-Belanda menyebar mata uang dalam menguasai Nusantara, mengisyaratkan bahwa ketakjuban pada kilau piis (uang) sudah ada sejak dulu kala.
Bahkan Ong sampai pada sebuah kalimat sarkas,”Keuangan yang akhirnya dapat membeli kekuasaan dari masyarakat yang katanya nonmaterialis.” Ironis!
Apakah penyakit-penyakit akut birokrasi cum politik kita sudah tandas sejak Reformasi? Sulit menjawabnya, atau sebaliknya, jawaban mudah didapat. Hanya saja kita boleh melihat ke belakang, belajar banyak dari sana, tapi tidak untuk kembali berjalan mundur. Karena itu pembenahan terus diupayakan, berbagai regulasi, undang-undang, apresiasi dan pengawasan terus ditingkatkan. Dalam banyak hal, ada pencapaian. Tapi harapan terbesar tetap kita tujukan kepada sikap mental, sesuatu yang akan membedakan Republik Pangreh Praja bermental uang dengan Republik Indonesia Raya yang me-Revolusi Mental!