Sedang Membaca
NU Era Gus Dur di Mata Djohan Effendi
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

NU Era Gus Dur di Mata Djohan Effendi

Ibu pertiwi berduka. Dr. Djohan Effendi, pejuang toleransi yang militan itu  berpulang ke pangkuan-Nya di Geelong, Australia, pada Jumat, 17 November 2017, dalam usia 78 tahun. Semasa hidup, ‘Sang Pelintas Batas’ secara konsisten berjuang untuk membangun dialog dan perdamaian antaragama/iman.

Selain itu, Djohan Effendi yang lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan pada 1 Oktober 1939, juga dikenal dekat dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan cukup intens mengamati perkembangan Islam Nusantara, khususnya Nahdlatul Ulama.

Sebagai bukti dari warisan intelektualnya, Djohan pernah meneliti dan menulis disertasi untuk meraih gelar doktor di Universitas Deakin, Geelong, Australia tentang NU semasa kepemimpinan Gus Dur.

Karya mantan Sekretaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid ini kemudian diterbitkan dengan judul A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of the New Discourse in Indonesias Nahdlatul Ulama during The Abdurrahman Wahid (2008),–edisi bahasa Indonesia-nya berjudul Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (2010).

Karya Djohan Effendi, edisi bahasa Indonesia: Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (Foto: bukubukubekas.wordpress.com)
Karya Djohan Effendi, edisi bahasa Indonesia: Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (Foto: bukubukubekas.wordpress.com)

Djohan menganalisa bahwa telah terjadi perubahan besar di lingkungan Nahdlatul Ulama sejak kembali ke Khittah 1926. Hal ihwal ini diawali oleh keterpilihan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.

Gus Dur telah memberi inspirasi kepada kiai-kiai muda NU untuk terlibat dalam wacana keagamaan secara kritis. Lebih dari itu, Gus Dur menjadi benteng bagi pemikiran-pemikiran kritis di kalangan generasi muda NU dari serangan generasi kamitua.

Baca juga:  Perempuan Sunda yang Pertama Kali Pidato di Muktamar NU

Keputusan Muktamar NU di Situbondo pada 1984 untuk kembali ke Khittah 1926 dan memilih pasangan Kiai Ahmad Siddiq (1926-1991) sebagai Rais Am dan Abdurrahman Wahid (1940-2009) sebagai Ketua Umum PBNU, membuka lembaran baru bagi NU untuk perkembangan selanjutnya.

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2 3
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top