Berdekatan dengan musim haji tahun ini, seorang ulama pejuang asal Bayang, H. Ilyas Yakub, dilahirkan. Tepatnya, 14 Juni 1903, atau 119 tahun silam. Tapi semua terasa dekat kembali ketika saya berziarah ke makamnya awal Juni kemarin.
Ilyas Yakub lahir di Asamkumbang, sebuah kampung di Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Orang tuanya, H. Yakub dan Siti Hajir dikenal sebagai pedagang kain yang cukup berada dan terpandang. Mereka masuk silsilah keluarga Syekh Abdurahman.
H. Ilyas Yakub wafat tahun 1955 di Koto Barapak, kampung istrinya, hanya berjarak “sepelemparan batu” dengan kampung kelahirannya.
Meski lahir dan wafat dalam satu kawasan, di daerah yang mendapat sebutan terhormat sebagai “Serambi Mekah” Pantai Barat Sumatera itu, toh jejak juangnya tertoreh panjang di Nusantara bahkan lintas benua. Dan meski usianya pun tak bisa dikatakan panjang, 55 tahun saja, namun jalan hidupnya panjang berjela-jela.
Semua itu telah menjadi catatan sejarah dalam biografi seorang ulama-pejuang. Di antaranya, sebagaimana termaktub dalam buku Drs. Andi Asoka, M.Hum, H. Iljas Yakoeb, Pahlawan Nasional dari Pesisir Selatan-Sumatera Barat (2010) dan Yulizal Yunus dalam Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya (ed. Dr. Mestika Zed, 2008).
Sebelum sampai di lokasi ziarah, saya sempat berkeliling dulu di Painan, ibukota Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel). Di kota kelahiran penerjemah Taslim Ali dan pengamat politik Arbi Sanit ini, nama H. Ilyas Yakub diabadikan sebagai nama seruas jalan. Begitu pula nama sebuah gelanggang olahraga. Di gerbang kota, berdiri patung sang pahlawan dengan rancangan amat sederhana, tampak nyaris tak proposional.
Sementara taman makam pahlawan terdapat di kaki bukit tak jauh dari GOR H. Ilyas Yakub. Tapi sang pahlawan tidak terbaring di kompleks kusuma bangsa itu, melainkan di sebidang tanah kampung halaman. Tepatnya di Kapencong, Lubuk Gambir, Koto Barapak. Sekitar 17 km dari jalan Lintas Barat Sumatera ruas Padang-Bengkulu atau 27 km dari Painan.
Ke sanalah kemudian saya menuju, dan tiba selepas siang. Saya berhenti di depan Masjid Al-Munawwarah. Seingat saya, makam H. Ilyas Yakub terletak di kompleks masjid tersebut. Tapi ternyata sudah dipindahkan.
“Ya, dulu makamnya di depan sini,” tunjuk seorang bapak di pelataran masjid tua bermenara tinggi itu.“Karena ada perluasan masjid, kuburan dibongkar. Rencananya akan dipindah ke Taman Makam Pahlawan, namun keluarga tidak setuju.”
Meski si bapak tak menyebut alasan penolakan, saya coba mereka-reka. Barangkali karena pihak keluarga ikhlas menerima bahwa di sinilah almarhum telah dimakamkan semenjak dulu. Jadi tak perlu repot-repot lagi membawanya ke Painan. Tersirat rasa penerimaan atas apa yang sudah terjadi. Sekaligus penanda abadi bagi Bayang sebagai tempat yang pernah menjadi basis para ulama. Selain makam, hal itu ditandai bekas rumah dan situs surau-surau mereka.
Pemerintah kabupaten pun tampaknya menyadari hal ini dan tidak memaksakan. Melalui Dinas Sosial, Pemda Pessel membelikan sebidang tanah tak jauh dari Masjid Al Munawwarah. Ke sanalah makam dipindahkan. Ditempatkan dalam sebuah bangunan terbuka dengan atap “bagonjong” seperti rumah adat Minang. Dilapisi marmer hijau, ditaburi batu-batu putih, dan di nisannya tertera nama, tahun lahir dan tanggal wafat H. Ilyas Yakub.
Pelataran makam cukup luas, mungkin dipakai juga untuk upacara. Bendera merah putih terlihat berkibat di tiang. Lokasi makam dikelilingi kebun jagung dan sawah warga. Berlatar belakang birunya bukit Barisan dan Sungai (batang) Bayang.
Naik Haji sampai ke Mesir
Kakek dan mertua Ilyas Yakub merupakan ulama terkenal asal Bayang, kepada siapa ia berguru. Mula-mula ia mengaji di surau kakeknya, Syeikh Abdurahman. Sang kakek berasal dari Rawang, Kerinci. Daerah Rawang, sebagaimana Bayang, merupakan daerah yang terkenal sebagai basis ulama di pedalaman Jambi. Ada kemungkinan bahwa kedua daerah itu membangun sebentuk jaringan ulama.
Khatam mengaji di surau kakek, Ilyas masuk pendidikan formal Gouvernement Inlandsche School (GIS) yang didirikan Belanda di kampungnya, Asamkumbang. Bekas tapak sekolah itu masih ada di kompleks Masjid Taqwa. Hampir berseberangan jalan dengan rumah gadang tempat kelahiraan Ilyas Yakub yang disebut “Rumah Taruko” Suku Malayu. Rumah itu kini dijadikan rumah tahfidz Abadurahman yang dikelola anak-kemenakan sang pahlawan.
Tampaknya sekolah ini yang dimaksud Elizabeth E. Graves dalam bukunya Asal-Usul Elite Minangkabau Modern (2007). Dalam era politik etis, tulis Graves, masyarakat Minangkabau termasuk paling responsif menerima sistem politik dan pendidikan barat. Pemerintah Hindia-Belanda mendirikan sekolah di sejumlah tempat di Minangkabau. GIS Asamkumbang termasuk deretan sekolah yang awal didirikan.
Waktu itu Bayang merupakan sentra kopi, pasca redupnya pamor lada di kawasan Indrapura dan Bandarsepuluh. Menariknya, Bayang yang dikenal sebagai “Serambi Mekah”, menerima kehadiran lembaga pendidikan barat itu. Bahkan Ilyas, cucu Syekh Abdurahman, menjadi muridnya yang pertama.
Setamat belajar di GIS, Ilyas Yakub mendaftar bekerja di perusahaan tambang batubara Ombilin, Sawahlunto. Ini memang tujuan didirikannya sekolah kolonial. Kecuali sebagai “pencitraan” balas-budi, juga menyiapkan sumber daya terlatih untuk kantor-kantor dagang dan kantor pemerintah (pangrehpraja). Ilyas sendiri diterima sebagai juru tulis.
Posisi juru tulis terbilang mentereng, mengingat Belanda sempat kesulitan mengisi posisi ini. Dalam catatan budayawan asal Taluk-Batangkapas, Agus Yusuf, Belanda bahkan pernah mendatangkan juru tulis dari kalangan orang Portugis. Mereka antara lain dipekerjakan di benteng dan pusat loji Belanda, Pulau Cingkuk, serta di tambang emas Salido. (Hal yang membuat Benteng Pulau Cingkuk lebih dikenal kemudian sebagai milik Portugis). Perekrutan orang Portugis itu lantaran terbatasnya SDM di kalangan pribumi.
Tapi Ilyas Yakub hanya bertahan lebih-kurang dua tahun di posisi cukup bergengsi itu. Sepanjang bekerja di Ombilin (1917-1919), ia melihat nasib buruh dihisap tuan-tuan kolonial cum imprealis. Terasa sangat mengenaskan. Ia teringat ajaran Islam di surau kakeknya yang menolak perbudakan. Maka secara sadar, ia mundur.
Hikmahnya, ia kembali ke jalur informal, yakni pendidikan agama di surau. Kali ini ia berguru kepada Syekh Abdul Wahab di Koto Barapak, tak jauh dari Asamkumbang. Sang guru yang tertarik melihat semangat belajar dan adab Ilyas Yakub, kemudian menikahkannya dengan putrinya, Tinur binti Abdul Wahab.
Setelah itu, Ilyas diajak mertua sekaligus gurunya itu naik haji ke tanah suci. Dan sebagaimana kebiasaan ulama Nusantara kala itu, selesai menunaikan ibadah haji, mereka biasa menetap sementara waktu untuk belajar. Demikian pula Ilyas Yakub. Ia menetap di Mekah beberapa tahun dan berguru dengan sejumlah ulama.
Dalam tahun 1923, dari Mekkah, Ilyas Yakub bertolak ke Mesir. Ia melanjutkan pendidikan di Al Azhar. Ia didapuk jadi ketua Perkumpulan Mahasiswa Indonesia-Malaysia (PMIM) Mesir. Seiring minatnya dalam dunia tulis-menulis dan jurnalistik, ia pun dipercaya memimpin majalah Seruan Al Azhar.
Ia terinspirasi gerakan Al-Hizb al-Watani (Partai Nasional) besutan Mustafa Kamil, pengacara dan jurnalis Mesir yang mati muda. Partai ini berjuang memerdekakan Mesir dari Inggris Raya. Ilyas juga menginginkan hal yang sama untuk tanah airnya: merdeka dari Belanda. Itu semua ia kemukakan melalui tulisan di majalah yang dipimpinnya. Tentu, seraya mengakomodasi tulisan sejenis yang keras lagi revolusioner.
Akibatnya, isi majalah dianggap terlalu konfrontatif. Ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi rekannya yang lain. Mereka berpendapat tak usah terlibat terlalu jauh masuk dunia politik. Bagi mereka, ada misi khusus tak kalah penting: jadi guru sepulangnya ke Tanah Air. Misi ini niscaya melahirkan angkatan terdidik lebih banyak dan bermuara pada kemerdekaan juga.
Tapi Ilyas Yakub menganggap sikap moderat itu tak menguntungkan saat itu. Ia akhirnya didepak dari Seruan Al-Azhar. Bukan Ilyas kalau sampai hilang akal. Bersama kawannya sehaluan, Muchtar Luthfi, ia dirikan majalah bulanan Pilihan Timur.
Kepalang tanggung, majalah itu langsung menyatakan diri sebagai media politik. Salah satu tulisannya di media tersebut meminta agar rakyat Indonesia membentuk Majelis Rakyat untuk mengimbangi Volksraad bentukan Belanda. Ini seiring bergabungnya Ilyas dengan organisasi sosial politik Jami’yat al Khairiyah dan Difa Al Wathan.
Kembali ke Tanah Air
Menyatunya kesadaran politik dan jurnalistik dalam diri Ilyas Yakub membuat pemerintah Hindia Belanda kebakaran jenggot. Melalui perwakilannya di Mesir, Belanda membujuk Ilyas bekerja sama. Tapi ditolak. Tak pelak, cap ekstrimis dan radikalis menempel pada dirinya. Mudah ditebak, ia jadi incaran spionase dan mata-mata polisi Belanda.
Ilyas tak melunak karenanya. Atas permintaan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah Inggris yang menguasai Mesir, “membredel” majalah Seruan Timur. Tak sampai di situ. Tahun 1929, Ilyas pun diusir dari Mesir. Dikutip dari manuskrip “Reuni Keluarga Besar Taruko” (keluarga besar Ilyas Yakub), inilah penyebab pendidikannya di Al Azhar tidak sampai selesai.
Tahun 1930, bersama Muchtar Lutfi yang juga diusir pulang, ia mendirikan Persatuan Muslim Indonesia, partai politik berhaluan Islamis-nasionalis. Awalnya disingkat PMI, dan mula-mula bermarkas di Padangpanjang sebelum dipindahkan ke Padang. Tahun 1931, PMI menerbitkan koran Medan Rakyat. Selain Ilyas, pengelolanya yang lain tercatat Muchtar Lutfi, Djalaludin Thalib dan Moh. Syafei, pendiri sekolah INS Kayu Tanam.
Tak kalah menarik, PMI berbasis di sekolah agama seperti Sumatera Thawalib dan Diniyah School Padangpanjang. Jika rezim Orde Baru pernah melarang kampus berpolitik dengan NKK/BKK-nya yang bikin puyeng, maka Ilyas Yakub sejak awal justru membawa politik masuk kampus (madrasah) dengan lempang.
Dan jika era Reformasi-milenial sekarang ada partai mahasiswa segala, maka Ilyas Yakub sudah lama menyemainya di kalangan pelajar/mahasiswa, plus guru-gurunya. Mereka tak mengharamkan partai politik. Itu bagian dari cara mendidik untuk melek realitas publik.
Seperti Muktamar, Lalu Pengasingan
Akronim PMI diubah jadi PERMI dalam sebuah kongres besar di Koto Barapak. Menurut catatan sejarah, antara lain ditulis Yulizal Yunus, kongres tersebut dihadiri seluruh pengurus cabang PERMI di Sumatera. Mulai Tapanuli Selatan, Jambi, Lampung, Bengkulu, Palembang, dan lain-lain. Saya bayangkan seperti Muktamar NU di sebuah kampung di Tasik, Cipasung.
Tidak disebutkan alasan perubahan teknis itu. Boleh jadi sebutan PERMI lebih khas sekaligus akrab serta familiar didengar. Atau mungkin pula ada hal-hal esensial. Sebab bertahun-tahun kemudian, ketika Ilyas Yakub aktif di sebuah partai politik besar, akronimnya juga dibuat khas: Masyumi (Muslimin Syuro Indonesia). Bukan MSI.
PERMI mengusung azaz Islam, bervisi kebangsaan. Tekadnya menggalang umat mewujudkan kemerdekaan bangsa. Sebagai pimpinan PERMI, Ilyas bersikap non-kooperatif. Sikap ini terbentuk atas menyatunya karakter ulama, aktivis dan jurnalis dalam dirinya.
Selain itu, juga berkat hubungan baiknya dengan tokoh-tokoh pergerakan lain, terutama kalangan PNI besutan Sukarno. PNI juga bersifat non-kooperatif. Bahkan kedua partai mencapai kata sepakat bahwa di mana ada cabang PNI, PERMI tak akan mendirikan cabang lagi. Begitu pula sebaliknya. Meski PERMI bernuansa Islam dan PNI nasionalis, visi perjuangan hakikatnya sama. Sebuah kerja sama menarik yang spiritnya bisa diambil partai-partai mutakhir.
Karena satu garis perjuangan, nasib PERMI dan PNI pun tak jauh berbeda. Keduanya tanpa ampun dibrengus Belanda. Pemimpin serta penggeraknya ditangkapi lalu dijadikan orang buangan. Sukarno diasingkan ke Ende, Ilyas Yakub ke Boven Digul.
Istri Ilyas Yakub, Tinur, dan anak-anaknya, memilih ikut serta. Tak tanggung-tanggung, pengasingan itu minta waktu 10 tahun (1934-1944). Selesai? Tidak. Pada masa invansi Jepang, Ilyas Yakub dan sejumlah tahanan lain diseberangkan ke Australia.
Ketika Belanda kembali menguasai Indonesia dengan membonceng NATO, eh, Sekutu, Ilyas Yakub dibujuk van Mook untuk bekerja sama. Namun ia tak berubah. Karenanya, saat tahanan perang dari Australia dipulangkan ke Jakarta bulan Oktober 1945 dengan kapal Experence Bay, Ilyas Yakub dan keluarga dilarang turun di Tanjungpriok.
Bagaimana perasaan Tuan dan Puan membayangkan keluarga itu, terutama anak-istrinya, yang sudah tiba di pelabuhan tanah airnya, tapi tak boleh turun tanah? Mereka dibawa lagi berlayar ke timur. Dan didaratkan di Kupang, Timor. Dari Kupang, pengasingan lanjut ke Sarawak, Brunai, Labuhan dan Singapura.
Baru pada tahun 1946 Ilyas Yakub benar-benar dibebaskan. Ia bergabung dengan kaum republiken di Cirebon. Pada agresi Belanda kedua tahun 1948, ia diminta kembali ke Sumatera untuk menghimpun kekuatan politik.
Dalam masa darurat, Ilyas Yakub bergabung dengan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pimpinan Mr. Safrudin Prawiranegara. Setelah mandat PDRI dikembalikan ke Yogyakarta, Ilyas Yakub mulai berkiprah dalam jagad politik nasional. Melalui Partai Masyumi, ia terpilih sebagai ketua DPR Sumatera Tengah. Ia terpilih untuk kedua kalinya sebagai anggota merangkap penasehat politik dan agama gubernur Sumatera Tengah.
Dalam bulan kemerdekaan, tepatnya 2 Agustus 1958, H. Ilyas Yakub wafat di Koto Barapak. Perjalanan panjang ulama pejuang itu berakhir di tanah kelahirannya, Bayang, yang menjadi rahim banyak ulama. Pemerintah memberinya penghargaan sebagai pejuang kemerdekaan pada 16 Desember 1968. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Kepres RI No 074/TK/1999, dan dianugerahi Bintang Mahaputra Adipradana.
Di makamnya yang sunyi, kami tundukkan kepala.