“Jika guru pipis berdiri, maka jangan heran kalau murid pipis berlaki—Bung Mahbub Djunaidi.”
Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah organisasi yang mempunyai roh utuh dalam mengentaskan pemuda menuju tujuan terbentuknya negara Indonesia. Tanggal 17 April tahun 1960 merupakan tahun bersejarah atas lahirnya seorang anak yang lahir dari kandungan Nahdlatul Ulama, di Surabaya. Tepatnya tanggal 17 April 2020, genap usianya 60 tahun menghiasi perjalanan bangsa Indonesia, dari generasi ke generasi.
Medan perjuangan PMII sepanjang beberapa kali pergantian rezim adalah multi-sektoral, mulai dari ekonomi, politik, pendidikan, masyarakat, dan sebagainya. Seiring perkembangan teknologi memasuki kompleksitasnya awal tahun 2000-an. Medan juang pun bertambah, mengharuskan untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi dalam berjuang mendongkrak kemajuan bangsa Indonesia menuju di kancah dunia.
Tahun ini, diperingati dengan sangat berbeda jika dibanding pada harlah sebelumnya. Di sisi lain, Kongres PMII yang hendak diselenggarakan di Provinsi Kaltim tepatnya tanggal 12-17 April dan serangkaian harlah PMII, harus tertunda. Lantaran, wabah pandemi Corona masih lestari diIndonesia dan menggantung di tiap-tiap nafas korbannya. Dalih yang cukup diterima, menghasilkan tertundanya pergantian Ketua Umum PB PMII di bulan April.
Sepak terjang PMII dalam kompleksitas medan perjuangannya, telah melahirkan banyak tokoh-tokoh Nasional maupun Internasional. Selain itu, ada yang masih produktif berliterasi, seperti Gus Ulil Abshar Abdalla, tataran Politik terdapat Muhaimin Iskandar, bahkan ribuan yang bisa ditemukan sebagai pejuang dan aktivis kemanusiaan, agar membuat masyarakat juga turut maju seraya menata kemajuan negeri. Ini senada cita-cita dan tujuan dari pendiri PMII, bahkan termaktub dalam AD/ART organisasi.
Dalam tulisan ini, saya mengulas secara kritis yang selama ini mengendap di tubuh organisasi. Dari untaian generasi terdahulu, mayoritas hanya sekedar menyampaikan lewat retorika, cuma segelintir saja yang mengimplementasikan bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara. Alhasil, tak jarang ditemui adu sikut kepentingan menghinggapi jantung PMII.
Saya menyadari bahwa telah terjadi krisis di tubuh PMII terkait dunia literasi. Hampir-hampir hanya sedikit dari banyak penulis tersohor yang pernah berproses di Pergerakan yang masih produktif menulis. Setiap pergantian struktural PB PMII jarang ditemukan karya-karya yang cukup potensial agar disalurkan bagi kader, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Belum lagi tantangan PMII yang mewartakan Islam secara moderat dan berwajah ceria, sehingga head to head dengan organisasi yang bernuansa radikal-anarkis dan fanatisme agama. Meskipun Nahdlatul Ulama sangat giat menyuarakan Islam yang ramah dengan pendekatan yang kontekstual serta komunikatif.
Kader PMII bukan hanya dari kalangan pesantren, tetapi semakin tahun berbagai kalangan turut terekrut di dalamnya. Kultur hibrida menjadi warna baru bagi PMII, untuk itu teramat penting ilmu pengetahuan dan keagamaan yang harus diintegrasikan bagi kehidupan berbangsa dan beragama. Tetapi kembali, konsentrasi tulisan ini adalah menyoal krisis produk pemikiran yang kurang menampakkan cahayanya.
Tentu Ketua Umum Pertama PMII dalam tulisan dan saat ini menjadi kronik, pernah memberikan tamparan hebat bahwa ‘jika guru pipis berdiri, maka jangan heran kalau murid pipis berlari’. Ini seharusnya tertanam kuat bagi pemikiran di PMII, karena tanpa mengajarkan untuk pentingnya berkarya, maka jangan heran ke depannya tak akan ditemukan karya-karya mashyur yang ditulis oleh kader-kader Pergerakan. Kalau masih mengajari hanya sekedar tradisi lisan semata, ke depannya tradisi menulis tidak akan akrab di nafas PMII.
Saya pun tidak berharap terjadi hal demikian, agar PMII tetap pada poros perjuangannya yang berorientasi pada agama, bangsa dan negara. Dan mengembangkan dinamika pemikiran sesuai relevansinya setiap tahun.
Kuantitas dan kualitas selayaknya dipertautkan sedemikian rupa. PMII pun harus lebih komunikatif agar eksistensi tetap terawat dibanding komunitas-komunitas yang muncul belakangan ini. Pengelolaan dan penguasaan teknologi perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin agar di dunia maya dan alam kenyataan mampu di terima oleh berbagai kalangan. Sifat fleksibelitas PMII kiranya diproduktifkan sehingga mampu menampung berbagai tulisan-tulisan kadernya, dan kemudian tulisan tersebut sangat potensial untuk dibukukan.
Teringat petikan yang seringkali digelorakan oleh sahabat Muhammad Rodli Kaelani (Ketua Umum PB PMII ke-XIV periode 2008-2011) tetapi telah penulis modifikasi sedemikian rupa dengan berbunyi, “Jika hanya maknai hari lahir PMII dengan biasa-biasa saja, maka berkhidmat di PMII di hari-hari selanjutnya hanya biasa-biasa saja, dan pasca alumni menata kehidupan cukup menjadi manusia biasa. Sebaliknya, jika dimaknai hari lahir PMII dengan luar biasa, maka berkhidmat di Pergerakan maupun pasca alumni akan menjadi manusia luar biasa dan menata kehidupan sosial dengan penuh kemanfaatan”.
Sejak dulu, PMII telah dimandatariskan untuk membangun kemajuan Indonesia agar menjadi kiblat masyarakat global dengan segudang prestasinya. Karena PMII tidak lahir dari ruang hampa, tetapi murni menjawab tantangan zaman yang bersesuaian secerca harapan tetuah dan sesepuh bangsa Indonesia.
Buat PMII kedepannya, dalam slogan Gus Im (Hasyim Wahid) harus menjadikan ‘teknologi sebagai tradisi’. Tepat sekali pernyataan Gus Im bahwa semua hal tak bisa lepas dari teknologi, berkait-kelindan satu sama lain. Untuk itu, memberikan modalitas pemikiran terhadap jantung PMII adalah dengan kemelekan teknologi menjadi centrum perjuangan dalam menyalurkan setiap gagasan-gagasan kontekstual bagi kemajuan Indonesia.
Saya mengucapkan buat kita semua, yang sedang merayakan harla PMII. “Rayakanlah dengan luar biasa! Bukan dengan ceremonial, melainkan menuai kebermanfaatan.” Selamat Harlah Pergerakanku! Tumbuhlah subur tunas-tunas Indonesia.