Sedang Membaca
Membaca Papua melalui Buku Sekolah Dasar
Radius Setiyawan
Penulis Kolom

Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial FISIP Univ. Airlangga dan Alumnus S2 Kajian Budaya dan Media UGM, sekarang mengajar di Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Membaca Papua melalui Buku Sekolah Dasar

Budi Dan Ani, Buku Orba

Saya adalah generasi yang lahir di era 80-an akhir. Masa Sekolah Dasar (SD) adalah satu masa yang benar-benar berkesan. Apalagi dimasa awal-awal mengenal tulisan. Nama budi dan Ani begitu menancap dalam ingatkan kita. Bagaimana tidak, ketika proses belajar menulis dan mengeja bacaan selalu menyebut nama keduanya. Dua nama yang saya yakin generasi 80-an atau 90-an tidak asing.

Buku teks SD yang dulu hanya didominasi oleh nama Budi dan Ani kini sudah banyak mengakomodasi nama lain. Atas nama reformasi, keberagaman mulai dihadirkan. Hal tersebut diungkapkan Muhammad Nuh (Mendiknas 2009-2014) kala itu. Dia mencontohkan bahwa nama-nama dalam buku kurrikulum 2013 mulai beragam, Siti mewakili dari Jawa, Beni (Sumatera, Batak), Lina (Menado), Udin (Sunda, Jawa), Dayu (Bali), dan Edo (Papua). Wajahnya beda-beda. Artinya dari awal yang ingin menghadirkan representasi Indonesia yang beragam.

Nama-nama dalam buku SD tersebut adalah identitas yang diberikan negara sebagai bentuk konstruksi terhadap identitas. Karakteristik biologis dan atribut kultural yang menempel pada nama bertujuan mendefinisikan dan menjadi penanda etnis. Jadi diakui ataupun tidak, buku teks sekolah adalah alat diskursif negara. Tumbangnya orde baru dan memasuki era reformasi mendorong negara harus mampu merepresentasikan Indonesia yang multikultur.

Salah satu hal yang menarik untuk diulas adalah terkait kemunculan nama Edo (representasi Papua) dalam buku sekolah. Hal tersebut mempunyai implikasi bagaimana representasi Papua dihadirkan oleh negara.

Persoalannya kemudian, apakah hal tersebut cukup? Cukup bagi generasi kita untuk menganggap keberadaan Papua sebagai bagian dari Indonesia? Cukup bagi etnis Papua untuk diakui eksistensinya oleh negara dan masyarakat di luar Papua?

Baca juga:  Mengenal Kembali Buya Hamka

Rasisme dan Kondisi Papua

Beberapa waktu lalu dunia diramaikan dengan kejadian seorang pria kulit hitam di Minneapolis, George Floyd, meninggal pada Senin (25/5) setelah diborgol dan diinjak ke tanah oleh polisi. Kematian pria tersebut direkam dalam video dan kemudian dibagikan secara luas di media sosial.

Diskriminasi, rasisme dan tindak kekerasan terhadap orang kulit hitam kerapkali masih sering terjadi di dunia. Imajinasi tentang dunia damai, anti-diskriminasi dan toleran masih harus terus menerus diusahakan. Apa yang terjadi di Minneapolis sebenarnya pernah terjadi di Indonesia.

Beberapa tahun lalu tepatnya 16 Juli 2016, Obby Kogoya, anak Papua yang berkuliah di Jogja mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan George Floyd. Kepalanya diinjak sepatu berlogo N yang dikenakan aparat dan wajahnya tertelungkup ke tanah. Foto tersebut tersebar di Facebook. Kemudian Obby ditangkap di depan asrama mahasiswa Papua yang tengah dikepung oleh aparat.

Tahun lalu tepatnya 16 Agustus 2019 peristiwa serupa juga terjadi ketika polisi menangkap 43 mahasiswa Papua di asrama mereka di Surabaya, Jawa Timur. Mereka dituduh telah menodai bendera merah putih selama perayaan hari kemerdekaan. Oknum aparat meneriakkan berbagai penghinaan rasis, menyerbu asrama mahasiswa, dan menggunakan gas air mata untuk memaksa mereka keluar.

Dalam konteks Indonesia, diskriminasi, streotype etnis dan tindakan rasisme yang berujung pada kekerasan yang dilakukan oleh aparatus negara merupakan persoalan pelik yang kerapkali terjadi. Macleod (2011) menjelaskan bahwa stereotip kuat ini muncul berkaitan dengan konteks sosial dan sejarah yang panjang. Orde baru yang secara masif mempropagandakan kebencian kepada pihak yang dianggap anti Pancasila dan anti-NKRI yang dalam hal ini termasuk masyarakat Papua. Hal tersebut dipicu dari kegagalan referendum penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 yang membuat Papua dengan terpaksa harus menjadi bagian dari Indonesia. Selain disebabkan oleh faktor sosial dan sejarah, tentunya faktor lain juga menjadi pemicu.

Baca juga:  Tiga Sahabat Nabi yang Usianya Panjang

Lantas apa hubungannya dengan buku teks SD?

Buku SD dan Posisi Identitas Papua

Buku sekolah merupakan instrumen penting dalam membangun kesadaran. Buku teks sekolah adalah alat transformasi ilmu pengetahuan yang efektif. Melalui buku teks sekolah praktik ideologisasi oleh negara berjalan. Althusser (1971) menjelaskan bahwa negara memiliki apa yang ia sebut sebagai Ideological State Apparatus (ISA). Praktik ISA adalah alat ideologisasi negara yang berjalan secara masif dan difungsikan secara sekunder sebagai alat represi (penekanan) secara halus dan tak sadar bahkan simbolik. Dalam konteks pendidikan bisa melalui buku teks terbitan negara.

Ada nama Edo yang merepresentasikan Papua. Persoalannya kemudian, apakah hal tersebut cukup? Irawan (2014) dalam penelitiannya tentang identitas ke-Indonesiaan dalam buku SD menjelaskan bahwa meski ada kehadiran representasi Papua, tetapi relasinya dengan figur yang lain tetap saya inferior dan penuh streotype. Disatu sisi berusaha menghadirkan yang berbeda tetapi disisi lain tetap saja kehadirannya dianggap sebagai pelengkap.

Apa yang digambarkan dalam buku SD kelas 1 diatas nampaknya punya relevansi dengan kondisi hari ini. Bahwa kehadiran Papua diakui tetapi pengakuan tersebut tidak dibarengi dengan sikap yang humanis terhadap mereka. Papua diakui sebagai bagian Indonesia tetapi dalam praktek yang lain tindak rasisme, diskriminatif dan tindak kekerasan kerap terjadi terhadap mereka.

Baca juga:  Kesederhanaan Pak AR dan Dakwah yang Arif

Apakah apa yang tergambar dalam buku SD tersebut sebuah kebetulan jika kita kaitkan dengan kondisi hari ini?Tentu saja tidak, buku teks bisa jadi ikut menjaga dan menaturalisasikan hirarki etnis. Etnis minoritas ditempatkan pada minor atau tersubordinasi dari posisi mayoritas. Pembuat buku baik secara sadar atau tidak memposisikan Papua dalam posisi yang berbeda dan hal tersebut dilegitimasi negara.

Buku teks SD menggambarkan kondisi nyata relasi negara terhadap Papua. Mengakui keberadaannya tetapi tidak diperlakukan sama seperti ikon tokoh yang lain. Hal tersebut relevan dengan kondisi Papua hari ini. Disatu sisi ada usaha untuk mempertahankan Papua agar tidak pisah dari Indonesia tetapi disisi lain peristiwa rasis yang berujung pada tindak kekerasan masih kerap terjadi.

Sikap negara rasanya tidak jauh berbeda meski sudah kesekian kali berganti presiden. Pernah ada secercah harapan ketika Gus Dur menjadi presiden dan secara aktif membuka ruang dialog yang terbuka kepada masyarakat Papua. Namun upaya tersebut harus terhenti seiring dengan pemakzulannya. Pengakuan atas identitas politik, ekspresi kultural dan kebebasan berpendapat bagi masyarakat Papua adalah hal penting. Hal tersebut menegaskan tentang keberadaan orang Papua yang harus diperlakukan setara dengan etnis lain di Indonesia. Semoga segera ada jalan terbaik untuk Papua.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top