Sedang Membaca
Meruwat Bumi, Meruwat Diri

Peminat Kajian Sosial. Bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan

Meruwat Bumi, Meruwat Diri

Beberapa waktu lalu, telah dilaksanakan pertemuan G20 tingkat menteri bidang kebudayaan. Pertemuan ditutup dengan pentas ritual ruwatan bumi yang dipimpin oleh empat pemimpin adat dari suku Karo, Mentawai, Dayak Iban, dan Mulu. Prosesi ini berisi cuplikan ritual berbagai suku yang mendoakan keselamatan umat manusia dan alam khususnya setelah pandemi Covid-19.

Ruwatan bumi dikenal di banyak masyarakat Indonesia. Ia adalah ritual untuk menghilangkan dan mencegah musibah khususnya yang menimpa alam seperti gempa, badai, kekeringan, hama serta wabah penyakit.

Semangat G20 bidang kebudayaan, hidup berkelanjutan dengan jalan kebudayaan, secara kuat terwakili dalam prosesi ruwatan bumi. Bukan pada aspek ritualnya, melainkan pada pemaknaan bagaimana alam adalah sesuatu yang penting dan sakral. Melalui ruwatan bumi ini terlihat pula bagaimana masyarakat adat memaknai kehidupannya, bahwa manusia (mikrokosmos), alam (makrokosmos) serta kekuatan yang transenden (ilahiah) tidak dapat dipisahkan.

Bagi sebagian masyarakat, alam tempat mereka huni  bahkan diyakini berada dalam penjagaan entitas yang tinggi (beyond human) misal dewa atau penunggu gaib. Dan bagi masyarakat ini, kepentingan utama bukanlah kepentingan komunal manusianya melainkan kepentingan entitas tersebut dan alam yang diwujudkan dalam perilaku baik terhadap lingkungan.

Logika yang merusak

Dalam teori kebudayaannya Van Peursen, fase dimana manusia menyatu dengan alam seperti ini disebut era mistis. Ia adalah fase awal kebudayaan manusia. Setelah fase mistis, berlanjut pada fase ontologis saat manusia berjarak dengan alam, kemudian fase fungsional saat manusia mengeksploitasi alam.

Baca juga:  Peran Perempuan dalam Tradisi Beas Perelek di Ciamis

Pada fase fungsionalis berkembanglah logika antroposentris yang menjadi fondasi kebudayaan manusia modern beberapa abad terakhir. Inti logika antroposentris adalah prinsip etis mengenai alam dan lingkungan ditentukan oleh kepentingan manusia. Dalam kacamata antroposentris, logika mistis sering dianggap terbelakang atau primitif.

Ironisnya, logika antroposentris justru menjadi pemicu banyaknya kerusakan di bumi. Eksploitasi alam hutan menjadi tambang yang menyebabkan rusaknya ekosistem, penebangan pohon yang memicu kebakaran, banjir dan longsor, serta domestikasi hewan liar yang menimbulkan wabah. Bahkan, wabah covid-19 pun diduga akibat perilaku manusia yang melampaui batas dalam mengkonsumsi hewan liar, yaitu kelelawar.  Wallace-Well dalam bukunya Bumi Yang Tak Dapat Dihuni (2019) mengatakan bahwa separuh lebih karbon yang ada di atmosfer kita hasilkan hanya dalam tiga dasawarsa, kerusakan ini sama buruknya dengan kerusakan ulah manusia sepanjang sejarah.

Kita bebal

Kesialan yang menimpa manusia adalah hal biasa. Namun dalam konsep tradisi Jawa, ketika musibah terjadi berulang kali berarti kemalangan itu berasal dari diri sendiri. Biasanya, orang tersebut harus disucikan melalui prosesi ruwatan.

Musibah alam yang menimpa manusia bukanlah hal baru, kebanyakan telah terjadi berulang. Kita tahu dampak hasrat kita pada alam namun kita tetap acuh. Kita tahu kebakaran hutan merupakan bencana tahunan, tapi kita tetap membuka lahan secara ilegal. Kita tahu banjir disebabkan tidak adanya resapan, tapi kita masih melakukan betonisasi.

Baca juga:  Seni Islam dalam Pameran Lukisan Koleksi Istana

Sejak revolusi industri, para ilmuwan juga sudah menyampaikan efek karbon pada pemanasan global, tapi orang abai karena belum ada tanda-tandanya. Kini setelah nyata terlihat dampaknya, kita tetap tak peduli. Tahun 1992, PBB pun sudah memperlihatkan  kerangka perubahan iklim dunia. Namun kita bebal dan tetap mengeksploitasi alam demi memenuhi kepentingan.

Ekosentris

Melalui tradisi ruwatan bumi, kita membaca bagaimana hubungan manusia dengan alam. Hubungan intim masyarakat dengan alam memunculkan konsekuensi yang penuh kesadaran bahwa mereka harus menjaga alamnya. Kesadaran bahwa hidup bukan hanya demi kelangsungan (kepentingan) manusia tapi juga demi kelestarian lingkungan tempat mereka tinggal, bahkan tak hanya organisme hidup tapi juga yang takhidup seperti tanah, batuan, air dan udara (ekosentris)

Ekosentrisme menganggap baik biota maupun abiota memiliki nilai karena semua terkait dan saling menopang. Karenanya, ekosentris menekankan bahwa kepentingan yang tinggi bukan pada kepentingan manusia melainkan alam, dimana manusia pun menjadi bagiannya.

Kodrat alam yang selalu berada pada keseimbangan pun menunjukan kestabilan – kekekalan – sifatnya. Ia selalu melakukan harmonisasi dirinya.  Dan pada dasarnya, apa yang sejatinya kita sebut bencana bukanlah bencana melainkan alam yang merespons perubahan dan mencari kesesuaian.

Ketika pepohonan dicabut maka fondasi tanah hilang dan sesuai hukum gravitasi tanah akan turun dan terjadilah longsor.  Hilangnya hutan menyebabkan air tak terserap, akibatnya air hujan akan mencari jalannya sendiri dan terjadilah banjir di dataran rendah. Ketika binatang liar dibawa ke pemukiman atau di meja makan, virus dan kuman yang menyertainya pun mencari inang pada makhluk hidup lain yang ditemui, termasuk manusia. Semua yang kita sebut bencana hanyalah cara alam mencari keseimbangan. Keseimbangan dari ketidakseimbangan dan kerusakan yang kita buat.

Baca juga:  Maulid Nabi Muhammad dan Suka Cita

Alam sejatinya tidak membutuhkan manusia, tapi manusia sangat bergantung pada alam.  Kita bisa hancur, alam pun demikian. Bedanya, dia tidak akan punah. Alam akan kembali berevolusi mencari kesesuaian yang baru. Sementara kita berpotensi punah.

Karenanya, ruwatan bumi penting sebagai refleksi diri.  Dan sejatinya, yang paling perlu diruwat adalah manusianya sendiri. Kita perlu meruwat kesadaran kita bahwa posisi kita kecil dalam jagad yang besar ini, dalam mekanisme yang kodrati, dalam kekuatan yang adikodrati.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top