Sudah demikian lama sejak saya membaca novel Sampar karangan Albert Camus. Kini, di tengah pandemi Covid-19, buku tersebut saya baca-baca lagi. Bukan apa-apa. Semata-mata saya melakukannya karena kejadian-kejadian belakangan ini memang mirip sekali dalam novel lawas itu. Pemerintah yang bingung, dokter-dokter yang kesusahan, dan para pengkhotbah yang memiliki pikiran-pikirannya sendiri.
Saudara-saudaraku! Bencana mencengkeram kota kita karena memang sepantasnyalah Anda sekalian mendapatkan kemalangan itu!” (Camus, 2013).
Di atas adalah penggalan khotbah Pastur Paneloux dalam novel tersebut. Bukankah ucapan sang Pastur familiar dengan tokoh agama di zaman sekarang?
Saya yakin saya bukan satu-satunya yang membaca novel itu lagi dan lagi. Camus memang mampu menghasilkan karya yang nostalgik untuk tiap peristiwa pandemi. Meski mungkin saja, sebagian kelebihan novel itu disebabkan manusia yang tak pernah belajar dari sejarah. Sehingga situasi pandemi di masa lalu pun terasa akrab sekali di masa kini.
Beberapa hari yang lalu, sebuah unggahan dari seorang kawan bahkan berhasil membuat saya teringat oleh novel itu lagi. Bukan hubungan yang langsung memang, tapi lumayan terkait. Teman saya membagikan berita mengenai hewan-hewan yang tampaknya berbahagia di tengah kesengsaraan manusia. Dalam unggahan itu, ia juga menulis, “Mungkin virusnya adalah manusia, dan bumi sedang membersihkan dirinya. We deserve this.” “Deserve this!” Mirip sekali dengan ucapan Sang Pastur.
Seorang kawan saya yang lain menyebut komentar kawan saya itu sebagai hal yang bersifat eco-fascistik. “Mungkin virusnya adalah manusia?” ia menulis dengan sarkas menirukan orang yang disebutnya eco-fascist. Tapi siapa yang bisa menampik bahwa sekumpulan lumba- lumba memang terlihat lebih senang semasa pandemi ini? Dan burung-burung serta serangga pastilah juga menikmati udara yang lebih bersih.
Kita bisa mengolok-olok pandangan seperti itu. Tapi faktanya, hewan-hewan memang sedang bernafas lega.
“Emangnya kamu mau kalau keluargamu yang kena corona?” tantang teman saya.
Amit-amit! Tentu saja saya tak mau. Saya juga tak berharap seorang manusia pun di muka bumi ini menderita penyakit tersebut. Pengalaman menemani seorang saudara yang sakit parah dalam waktu lama membuat saya tak mampu membayangkan hal itu. Bahkan sejak saat itu, saya memiliki trauma tersendiri ketika harus masuk ke gedung rumah sakit.
Apalagi, istilah yang dia pakai di kasus ini adalah istilah yang keras, “eco-facist.” Fasis!
Meski ada tambahan “eco” dari kata “ecology”, rasanya tetap tak mengurangi kengeriannya.
Istilah fasisme langsung membuat kepala saya melayang-layang ke rezim-rezim sadis pada masa Perang Dunia II. Pembantaian orang-orang Yahudi dan bangsa Slavic yang mengerikan tentu bukan suatu tema enteng.
Tapi apa persisnya eco-fascism, dan mengapa pandangan ini mengerikan? The Guardian menjelaskan bahwa eco-fascism menawarkan “genocidal solution” untuk masalah-masalah lingkungan.
Air sungai tercemar? Bunuh saja manusia-manusia bantaran kali yang mengotorinya!
Tanah longsor? Bagus! Populasi manusia semakin berkurang.
Mereka biasanya membangun argumen dari pemikiran Thomas Malthus yang menyatakan bahwa penambahan populasi manusia tak sebanding dengan ketersediaan pangan di muka bumi. Meski Malthus ada benarnya, seringkali kalangan eco-fascist memiliki solusi yang sangat ekstrim dan tidak empatik. Dan bagi mereka, persoalan utama di bumi adalah overpopulasi, sehingga satu-satunya jalan keluar adalah dengan mengurangi jumlah populasi manusia.
Eco-fascist tak peduli bahwa penggundulan hutan dilakukan oleh korporasi raksasa sedangkan yang menanggung akibatnya adalah kaum papa. Mereka juga tak peduli bahwa pencemaran lingkungan dilakukan oleh perusahaan multinasional sedangkan yang menderita warga bantaran kali. Bagi mereka, semuanya adalah manusia, tak ada bedanya.
Karena persoalan utama masalah lingkungan di kepala para eco-fascist ini adalah overpopulasi, maka mereka justru sering menyalahkan kelompok yang dituduh menghasilkan anak banyak. Dus, kaum miskin yang sering disalahkan, bukan korporasi dengan motif pengembangan kapitalnya. Di negara-negara Eropa, suara-suara sumbang itu sering ditujukan ke kaum imigran yang dianggap suka beranak meski dalam kondisi miskin.
Saya kembali membayangkan sosok Pastur Paneloux. Ah, rasanya pernyataannya khas sekali dari seorang agamawan pada masa itu. Tapi di balik itu, seperti pandangan yang diajukan Camus, orang-orang seperti Pastur Paneloux tidak pernah melihat orang sekarat. Mudah sekali bagi sang Pastur menggunakan kata-kata megah yang berjarak dalam melihat fenomena wabah sampar, selayaknya orang bijak. Selayaknya ia tegar dan objektif di hadapan Tuhan.
Saya kira, kalangan eco-fascist pun memiliki jarak seperti ini. Mereka bukan dari kalangan yang rentan menderita dan mati akibat wabah atau bencana alam. Tidak, saya yakin kata-kata megah yang seolah berani dan maskulin itu lahir dari sosok yang hidup dalam sebuah privilege kelas menengah atas yang hanya mampu memikirkan dirinya sendiri saja.
Melampaui Eco-Facist: mencintai Manusia sekaligus Alamnya
Bagi seorang eco-fascist, manusia dan alam adalah dua hal yang terpisah. Kekuatan manusia dan kekuatan alam saling berkontradiksi satu sama lain, menciptakan penghancuran untuk masing-masing. Karenanya, tantangan bagi kita adalah untuk melampaui eco-fascism itu sendiri.
Bisakah kita menciptakan kehidupan yang sejahtera tanpa merusak bumi? Ah, sebentar, pertanyaan ini terlalu klise dan teramat sering didengungkan tanpa ada hasilnya. Yang tercipta dari pertanyaan seperti itu hanyalah jawaban-jawaban utopis yang justru bermuara pada penyepelean tak berujung atau eco-fascism yang semakin menjadi-jadi.
Mari, kita formulasikan pertanyaan yang lebih jelas. Tapi barangkali kita harus menunggu akhir pandemi covid-19 ini. Barangkali di ujung pandemi ini, kita bisa mengajukan pertanyaan yang tepat yang tak perlu jawaban yang terlalu mengawang-awang. Bukankah sejarah sudah mencatat perubahan-perubahan sosial akibat pandemi?