Sedang Membaca
Capernaum, Mengintip Film Terlaris Sepanjang Sejarah Arab
Mohammad Pandu
Penulis Kolom

Aktif di Komunitas Santri Gus Dur. Belum lama lulus kuliah di salah satu kampus negeri di Jogja. Bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas.

Capernaum, Mengintip Film Terlaris Sepanjang Sejarah Arab

Seorang anak sedang berbicara dengan seorang dewasa lewat sambungan telepon. Suaranya tenang, sedikit agak berat, dan terdengar seperti sedang menahan marah. Obrolan mereka didengar oleh banyak warga Lebanon siang itu.

“Apakah ada orang dewasa di sebelahmu, Zain?” tanya si dewasa.

“Seorang petugas,” si anak menjawabnya lugas.

“Petugas? Dari mana kamu menelepon kami, Zain?”

“Dari penjara.”

“Dari penjara? Penjara apa?”

“Penjara Roumieh untuk anak-anak.”

Percakapan itu terus berlanjut. Lebih tepatnya percakapan antara narapidana anak dengan seorang penyiar dari program televisi yang meliput ketidakadilan terhadap anak-anak. Zain, si anak, mengutarakan banyak hal yang dirasakan selama dua belas tahun hidupnya.

“Zain, mengapa kamu menelepon kami? Apa yang bisa kami lakukan untukmu?”

“Aku ingin orang dewasa mendengarkanku,” kata Zain. “Pesan ini untuk orang dewasa yang tidak mampu membesarkan anak-anaknya. Apa yang akan mereka ingat? Dari kekerasan, penghinaan, atau pemukulan? Rantai, pipa, atau sabuk? Kata termanis yang mereka berikan padaku adalah, ‘Bajingan, sampah!’. Hidup adalah masalah besar. Tidak lebih berharga dari sepatuku.”

 

***

Cuplikan di atas adalah dialog terkuat yang saya rasakan dari film Capernaum (2018). Meski sebenarnya hampir semua dialog di dalamnya selalu kuat, dalam, dan emosional. Itulah kenapa film ini mendapatkan standing ovation selama 15 menit pasca-pemutarannya di Festival Film Cannes. Sangat pantas memang!

Capernaum diawali dengan adegan persidangan Zain El Hajj (Zain Al Rafeea), si anak yang menggugat kedua orangtuanya, Souad El Hajj (Kawthar Al Haddad) dan Selim El Hajj (Fadi Kamel Youssef). Alasan Zain sangat sederhana: ia tidak terima telah dilahirkan.

Ia merasa orangtuanya abai dan tidak bertanggungjawab atas hidupnya selama ini. Selanjutnya, film ini berjalan dengan alur campuran yang rapi dan kronologis.

Sejak kecil Zain tinggal di rumah susun sempit bersama orangtua dan delapan saudaranya. Orangtuanya harus membayar sewa rumah kepada keluarga Assad (Nour el Husseini) untuk berteduh ala kadarnya. Hidup dalam kemiskinan parah, Zain terpaksa menanggalkan keinginannya sekolah. Ia harus bekerja di jalanan. Menjaga toko atau berjualan minuman bersama adik-adiknya.

Baca juga:  Seni dan Pencegahan Radikalisasi Agama di Sekolah

Konflik mencuat ketika orangtua Zain ingin menikahkan adiknya dengan Assad. Adik Zain, Sahar (Cedra Izam) masih berusia sebelas tahun. Tapi orangtuanya melihat ini adalah solusi terbaik bagi keluarga. Pernikahan (dini) ini sama artinya dengan mengurangi beban finansial secara instan, sekaligus memberi kehidupan lebih layak bagi putrinya.

Zain tidak sepakat. Dia menolak dan memberontak. Konflik itu berakhir dengan kepergian Zain meninggalkan rumah, sekaligus menjadi titik awal film ini memulai dinamika kisahnya.

Ya, Selama ini konsep durhaka yang kita kenal dalam relasi kuasa orangtua-anak seringkali tidak adil. Durhaka adalah milik anak. Sedang orangtua selalu benar.

Konsep ini tumbuh subur di “tanah feodal” yang menempatkan anak wajib patuh dan orangtua haram dikritik. Film ini mendekonstruksi itu semua. Dia mengajak kita menyusuri lorong realitas, melihatnya secara substantif, dan menghilangkan tabu-tabu tradisi yang menghalangi.

Selain itu, film berbahasa Arab ini juga menampilkan isu kekerasan dan ketidakadilan pada anak-anak (dari sudut pandang anak). Capernaum hadir untuk memperkaya film-film “anak dalam lingkaran konflik”.

Setidaknya, film ini bisa berjajar dengan para pendahulunya seperti Ivan’s Childhood (1962), First They Killed My Father (2007), atau animasi rekam gerak Prancis yang menyayat hati: Ma vie de Courgette (2016).

Baca juga:  Pranakan: Simbol Persaudaraan Abdi Ndalem Keraton

Capernaum diarahkan oleh Nadine Labaki, sutradara perempuan Lebanon yang luar biasa. Dia juga turut melakukan riset praproduksi dan menulis naskahnya bersama Jihad Hojaily, Michelle Keserwany, George Khabbaz, dan Khaled Mouzanar.

Dalam risetnya, mereka mengunjungi dan berbicara langsung dengan anak-anak di penampungan, pusat penahanan, penjara anak-anak, dan kawasan kumuh. Nadine mendengar dan ikut merasakan apapun yang ia dapatkan dari anak-anak di sana.

“Dalam bahasa Prancis ada ungkapan: La verité sort de la bouche des enfants — kejujuran muncul dari mulut anak-anak. Anda bisa lihat, Zain menjadi dirinya sendiri; dia anak yang luar biasa, istimewa dalam kehidupan sehari-hari. Caranya melihat dunia masuk akal, dan meski ini sangat simbolik, Anda mempercayainya.” kata Nadine.

Satu hal lagi yang membuat film ini spesial, yaitu pemilihan aktor dan aktris non-profesional untuk pemain kuncinya.

Jika kita menganggap Zain adalah aktor cilik Lebanon dengan karir cemerlang dan jam terbang tinggi, maka kita salah besar.Atau jika kita mengira Yordanos Shiferaw yang memerankan karakter Tigest adalah aktris Afro-Amerika kelas internasional, maka sesungguhnya kita terjebak dalam lubang yang sama.

Zain lahir di Syiria. Tapi ia dibesarkan di negara tetangganya, Lebanon. Ia menghabiskan masa kecilnya di kawasan kumuh Beirut. Jadi, sebenarnya bukan hal baru baginya ketika memerankan anak yang tak pernah pergi sekolah, akrab dengan makian orang-orang jalanan, dan hidup dalam kemiskinan.

Sedangkan Rahil, panggilan akrab Yordanos Shiferaw, yang memerankan perempuan imigran dari Etiopia sebenarnya jugalah sama seorang imigran. Pada akhirnya Capernaum menjadi film yang mereka bintangi tanpa kesulitan berarti dalam menghayati identitas karakter.

Baca juga:  Kopi dan Masjid di Aceh

Judul Capernaum sendiri berasal dari bahasa Prancis, Capharnaüm, yang berarti “kekacauan”. Film ini terinspirasi dari krisis pengungsi dan ekonomi yang terjadi di seluruh dunia.

Capernaum ingin menunjukkan kelalaian orangtua dan kesulitan anak-anak yang hidup di jalanan, tidak hanya di Lebanon, tetapi juga di seluruh dunia.

Sepanjang tahun 2018-2019 film ini telah menjadi primadona di berbagai panggung festival. Dia berhasil menyabet 23 penghargaan, 14 kali masuk nominasi, dan dua kali menjadi juara kedua. Sayangnya, dalam perhelatan Academy Awards ke-91 kemarin, Capernaum harus puas dengan sematan nominasi film berbahasa asing terbaik saja.

Nadine harus merelakan piala emasnya digondol oleh sutradara Meksiko Alfonso Cuarón dengan filmnya Roma (2018). Dan entah kebetulan atau bagaimana, Roma juga dibintangi oleh seorang guru, bukan aktris profesional.

Di Golden Globes, Capernaum juga hanya lolos sebagai nominator film berbahasa asing terbaik. Sedangkan di Festival Film Cannes, film ini memenangkan Jury Prize dan Prize of the Ecumenical Jury, di samping hanya menjadi nominator Palme d’Or.

Namun, di luar itu semua muncul satu fakta baru. Capernaum telah menjadi film berbahasa Arab dan film Timur Tengah terlaris sepanjang sejarah.

Ia telah menghasilkan pendapatan lebih dari 68 juta dolar, dengan biaya produksi hanya 4 juta dolar.

Sekali lagi, film ini memang pantas mendapatkannya. Dia memiliki hampir semua aspek yang dibutuhkan manusia ketika ingin menikmati karya audio-visual dengan kisah sangat manusiawi. Premis kokoh, konflik yang realistis, sentuhan humor sederhana tapi tepat sasaran, film score yang representatif dan menghanyutkan, semua dikemas dengan porsi yang pas. (atk)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top