Sedang Membaca
Menelisik Wahabi (3): Penjelasan tentang Mazhab Hanbali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim
Nur Khalik Ridwan
Penulis Kolom

Penulis keislaman, penikmat dunis sufi, dan aktivis NU

Menelisik Wahabi (3): Penjelasan tentang Mazhab Hanbali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim

Img 20200226 Wa0003

Ada satu pertanyaanya yang sering mengemuka: apakah Wahabi bagian dari mazhab tertentu, misalnya mazhab Hanbali atau mazhab tersendiri yang sama sekali berbeda dengan yang lain?

Jawaban apapun tidak otoritatif kecuali merujuk pernyataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dalam dalam ar-Rasail asy-Syaksyiyah, begini:

“Aku tidak menyeru kepada mazhab sufi, mazhab ahli fikih, ahli kalam, atau imam dari para imam yang mereka ini sangat dimuliakan, seperti Ibnu Qayyim, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir. Sebaliknya, aku hanya menyeru agar orang berpaling kepada Allah, tidak ada sekutu baginya, dan aku menyeru pada sunah Rasulullah …”

Pernyataan ini menggambarkan bahwa Wahabi dibangun atas dasar fondasi non mazhab. Akan tetapi pada saat yang sama, pendiri Wahabi mengutip Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim al-Jauziyah, di bagian-bagian lain tulisannya; dan tokoh lain dari mazhab-mazhab lain diekslusikan. Belum lagi, pengutipan terhadap tokoh ini (Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim), diambil ketika sepaham dengannnya. Pada bagian-bagian yang lain, tidaklah diambil, yang menunjukkan independensinya.

Sementara kontinuitasnya dalam kritik atas mazhab, sangat jelas disebutkan dalam Kitab Tauhid, begini:

“Kondisi zaman telah berubah sampai titik kulminasi yang demikian, sehingga mayoritas orang beranggapan menyembah orang-orang salih (maksudnya tawasul yang sering dilakukan umat Islam) adalah amal yang paling mulia. Penyembahan kepada orang-orang salih itu dinamakan suatu kewalian. Bentuk penyembahan kepada orang alim adalah dengan mengekor terhadap ilmu pengetahuan dan fikihnya (tentu saja termasuk kalangan empat mazhab fikih Sunni-pen). Kondisi pun terus berubah-ubah sampai-sampai orang yang tidak salih pun terus disembah, dan orang-orang bodoh pun diikuti pendapat-pendapatnya” (Kitab Tauhid, komentar 5 bab 38).

Kasarnya memasukkan orang tawasul sebagai menyembah orang salih, dan bertaklid sebagai menyembah orang alim, merupakan fondasi laten dalam Wahabi. Lebih kasar lagi, Muhammad bin Abdul Wahab, memasukkan taklid kepada mazhab, adalah kaidah kubra bagi semua kekufuran, dan memasukkannya sebagai bagian dari Masailul Jahiliyah (ke-4) dengan menyatakan: “Bahwa sesungguhnya agama mereka mabniyyun atas dasar-dasar terbesarnya adalah taklid, dan itu adalah kaidah kubra untuk semua kekufuran awal mereka dan akhir mereka.” 

Baca juga:  Catatan Perjalanan Ibnu Jubair: Inklusifitas Mazhab Fikih di Masjidil Haram (4-Habis)

Jelas sekali, keinginan kuat untuk keluar dari mazhab, sejak awal begitu terlihat. Taklid, sesuatu yang niscaya dalam mazhab disebutnya sebagai “kaidah kubra” untuk semua kekufuran. Dengan ini, dapatlah dipahami mengapa kemunculan Wahabi memusuhi orang-orang bermadzhab Ahlussunnah (dan di luar mereka), bahkan tidak segan-segan membunuh mereka.

Tidak berhenti sampai di situ. Wahabi menaikkan level “radikalinya”: berhak diperangi atas nama ilhad. Kenapa? 

Karena, kata mereka, orang bertaqlid itu bagian dari jahiliyah dan kekufuran, mereka juga dianggap mengingkari tauhid.

Ibnu Bisyr, sejarawan di kalangan mereka, dalam kitab Unwanul Majd, menyebutkan: Amarosy syikh bil jihad liman Ankara at-tauhid min ahlil ihad. Lalu peperangan-peperangan melawan umat Islam sendiri, didaftar oleh Ibnu Bisyr dengan titel al-hawadits; sementara Ibnu Ghonam Tarikh Najd (1994) memasukkan dalam titel al-ghozawat.

Karena kemunculan Wahabi ini dari kalangan mazhab Hanbali –meskipun timbul keguncangan dan percekcokan di kalangan mereka– kedekatan kutipan kepada tokoh-tokoh mereka sangat masuk akal. Contoh yang bisa disebut adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Jika Wahabi cocok atau suka, keduanya banyak dirujuk. 

Catatan lain (memang harus teliti betul): pendiri Wahabi dianggap tidak mewakili mazhab Hanbali, sebagaimana dalam ash-Suhbul Wabilan an Dharaihil Hanabilah, yang ditulis Ibnu Humaid. Dalam kitab tersebut, nama Muhammad bin Abdul Wahab tidak dimasukkan dalam jajaran juris atau tokoh Hanabilah. Pada saat yang sama kitab tersebut mendaftar ayahnya, yaitu Abdul Wahab, juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Sementara itu, dalam kitab salafi yang lain, Ulama’ul Hanabilah karya Bakar bin Abdullah bin Abu Zaid, menyebut nama Muhammad bin Abdul Wahab. Sampai di sini, kita mengerti di kalangan mereka saling silang pendapat.   

Fase berikutnya, terjadi evolusi terjadi. Generasi penerus Syekh Muhammad bin Abdul Wahab lebih tegas mengidentikkan pendiri Wahabi sebagai bagian dari mazhab Hanbali. Jamil Zainul misalnya menyebutkan dalam Minhajul Firqah an-Najiyah, begini: 

“Secara umum telah diketahui bahwa dakwah yang dilakukan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab bukan merupakan mazhab baru, tetapi dakwah ini berdasarkan akidah salaf Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan dalam urusan furu’ beliau mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal” (2004: 110). 

Baca juga:  Kopi dan Kerumitan dalam Beragama

Kutipan ini adalah konstruksi baru dan berbeda dengan pendiri Wahabi sendiri, bahwa Wahabi adalah bagian dari mazhab Hanbali dalam fikih; dan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam akidah. Faktanya ada bagian dari tokoh-tokoh Hanbali yang dikutip, seperti Ibnu Taimiyah, memang ia, tetapi kutipan itu yang cocok saja  diambil dan yang tidak, kemudian dibuang. 

Untuk contoh kasus, adalah apa yang diungkapkan dalam kitab Risalatu Tahdzir min Firaqizh Zholal, di mana Ibnu Taimiyah memiliki dua kitab: Al-Kalim ath-Thayyib  dan at-Tawasul wal Wasilah.

Dalam Al-Kalim ath-Thayyib Ibnu Taimiyah menyarankan orang-orang yang terkena semacam kelumpuhan (al-khadar) pada kaki, hendaklah mengucapkan: “Ya Muhammad…” Pernyataan Ibnu Taimiyah ini menyalahi apa yang ditulisnya sendiri dalam kitab At- Tawassul wa al-Wasilah. Nah, Muhammad bin Abdul Wahab mengambil paham dalam mengharamkan tawasul dari kitab At-Tawassul wa al-Wasilah dan tidak menyetujui yang ditulis Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Kalim ath-Thayyib.

Meskipun sebagian penerus gerakan ini ada yang mengidentikkan sebagai bagian dari Hanbali, seperti disebut Muhamamd Jamil Zainu di atas, justru kontradiksi dengan pandangan yang bertendensi kuat mengkufurkan taklid, sebagai Hanbali. Ini evolusi. Hanya saja, perwujudan kontemporernya justru bukan identifikasi sebagai Hanbali, tetapi menjadi gerakan islamiyah la madzhabiyah. Argumen kontemporernya, yang sering diajukan adalah bahwa Nabi tidak bermazhab dan tidak ada mazhab-madzhab di zaman Nabi; Nabi membawa Islam yang murni, sehingga diperlukan pemurnian, purifikasi, memeriangi bidah dholalah, dan semua bidah adalah dholalah, tidak ada yang hasanah.

Di dalam gerakan-gerakan muslim yang lebih belakangan, mereka mengambil intisari dari gerakan-gerakan Wahabi ini, meskipun tidak pada pendapat-pendapatnya yang teramat konservatif, adalah dengan menamakan diri sebagai “tidak bermazhab”. 

Semua argumen-argumen “tidak bermadzhab”, islamiyah la madzhabiyah, dan pemurnian, sangatlah mudah dipatahkan, bahkan ketika itu tidak dengan kutipan teks-teks nash sekalipun. Di sini tidak pada tempatnya menampis argumen semacam itu. Hanya saja, hal penting yang perlu dicatat, bahwa bangunan dasar argumen tidak bermazhab, islamiyah la madzhabiyah, dan pemurnian, adalah pelenyapan kepada muslim lain; tidak mewadahi tasamuh, dan sejenisnya; dan tidak melihat kemungkinan adanya bidah hasanah. Karena argumen-argumen mereka diradikalisasi menjadi, dari ukhuwah kepada takfir, dari takfir kepada taqtil, dalam beberapa hal, maka inheren yang terkandung dalam islamiyyah la madzhabiyah atau tidak bermazhab adalah pukulan dari dalam terhadap peradaban Islam sendiri. 

Baca juga:  Dilema Penyeragaman Mushaf

Serentetan panjang gerakan-gerakan kekerasan dari kalangan Salafi kontemporer, banyak mengambil inspirasi dari gerakan Wahabi dan Salafiyah secara umum. Keduanya bertemu dan diramu, melahirkan eksperimen-eksperimen baru, yang saling berbenturan: ada yang bermodel seperti Al-Qaida, ISIS, dan ada yang menerima demokrasi yang terbatas. Benang merahnya: purifikasi selalau hadir dalam imajinasi mereka, dalam batas-batas yang mereka pikirkan dan buat.

Ketika di Arab Saudi berksperimen Kerajaan berbasis dinasti (Dinasti Saud), maka kelompok baru bisa bereksperimen menjadi khilafah (seperti khilafah ISIS). Begitu juga pada hal-hal lain, terjadi perbedan. Perbedaan itu juga tercermin dalam mendefiniskan bidah. Sebagai contoh, pada awal-awal muncul televisi dan telepon, juga radio, ada protes besar di Arab Saudi, karena suara tanpa bentuk dalam radio oleh sebagian mereka dianggap bidah dan suara setan; tetapi pada hari-hari ini, Salafi menggunakannya untuk kampanye intensif untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. 

Walhasil, hikmah menarik yang dapat dipetik: Wahhabi mendorong lahirnya gerakan-gerakan muslim puritan dan tidak bermazhab yang merupakan mazhab tersendiri, adalah nyata di banyak belahan dunia Islam; dan gerakan Wahabi-Salafi dalam purifikasinya tidak ajeg dalam mendefinisikan bid’ah, berubah-ubah dan berevolusi, dan dalihnya melawan bid’ah dholalah, sementara korban-korban dari gerakan Wahabi terlanjur bergelimpangan. Maka menjadi masalah bagi kita di Indonesia, ketika purifikasi dan tidak bermadzhab itu ternyata adalah pelenyapan kepada muslim lain;  dan non-madzhab adalah teror, karena tidak mengakui keragaman mazhab-madzhab, dan tidak mengakui adanya bidah hasanah; dan karenanya pula tidak mengakui tasamuh, ukhuwah islamiyah, ukhuwah sya’biyah, dan ukhuwah insaniyah

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top