Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Ekspresi Sufistik dalam Puisi Tradisional Jawa (3): Suluk Wujil-Jalan Mengenal Tuhan

Whatsapp Image 2020 07 07 At 10.37.18 Pm

Seorang murid memohon penjelasan lebih kepada gurunya. Lama dirinya mengikuti sang guru, namun masih samar baginya ajaran yang diperoleh. Padahal dia sowan kepada sang guru dengan penuh cobaan. Kepergiannya disertai dengan pengorbanan besar. Dia telah meninggalkan pekerjaannya di keraton Majapahit.

Kenikmatan hidup di dalam keraton secara tuntas sirna. Kesepian dan keheningan sekaligus ancaman kelaparan nyata di tempat yang baru, bentangan pantai Bonang. Suara gamelan keraton berganti dengan desir ombak yang bisa mencekam. Semua ini dilakukan untuk satu tujuan, memperoleh hidayah Islam yang meyakinkan.

Kisah sufistik ini tentang seorang yang dipanggil “Wujil”. Sedangkan gurunya, adalah seorang pertapa di pantai Bonang, Sunan Bonang. Ajaran-ajaran yang nantinya diterima oleh Wujil adalah ajaran rahasia. Ajaran sufi yang dibutuhkan Wujil untuk yakin bahwa perubahan dari masa sebelum Islam ke masa Islam adalah sebuah berkah yang agung.

Kitab Suluk Wujil selesai digubah pada 1607 M di masa Mataram, jauh setelah Majapahit runtuh. Sengkala yang digunakan amat indah dan sesuai dengan isi kitab. Penerus Tunggal Tataning Nabi (1529 Saka) menggambarkan peranan Sunan Bonang. Ia, sebagai seorang sufi, adalah penerus tradisi Nabi. Sebuah hadis Nabi menyatakan bahwa “Para alim adalah penerus para Nabi”. Bagi para sufi, alim di sini tidak hanya menyangkut ilmu lahir (eksoteris) seperti para fakih, namun juga ilmu batin (esoteris). Oleh sebab itu, hanya mereka yang sempurna dalam menjaga harmoni keduanya lah yang disebut pewaris Nabi saw.

Purbacaraka, seorang ahli sastra Jawa didikan Belanda, telah meneliti kitab ini dan menerjemahkan teks kuno tersebut dalam Ajaran Rahasia Sunan Bonang–Suluk Wujil. Penerbitan yang amat penting mengingat sangat jarang sebuah kitab suluk berasal dari zaman itu masih tersimpan baik dalam sebuah manuskrip.

Baca juga:  Sufi dan Seni (3): Qawwali, Musik Para Sufi

Sunan Bonang diberikan gelar sebagai “Ratu Wahdat”. Gelar ini terkait dengan kemampuan utama yang diharapkan oleh Wujil. Gelar yang tidak asing dalam dunia Islam seperti Tajul Arifin (Mahkota Para Arif), Syaikhul Akbar (Guru Agung), dan sebagainya. Gelar Sunan Bonang berbicara bahwa guru ini memiliki kemampuan tinggi dalam ajaran Wahdtul Wujud.

Ajaran Wahdatul Wujud yang meskipun dijabarkan secara tuntas oleh Syaikhul Akbar Ibnu Arabi, telah diurai oleh para sufi sebelumnya secara sepenggal-sepenggal dan menemukan akarnya pada ajaran Nabi saw. Beberapa ucapan yang dinisbahkan kepada Sang Nabi memberikan gambaran tentang hal ini. Misalnya,

“Aku adalah Ahmad tanpa Mim. Aku adalah Arab tanpa ‘Ain”. Hanya mim yang memisahkan Ahmad dengan Ahad (Tuhan Yang Esa), dan tanpa ‘ain Arab menjadi Rabb (Tuhan Pemilik).

Seyyed Hossein Nasr (Islamic Philosophy from Its Origin to the Present) menerangkan bahwa Wahdatul Wujud merupakan intisari dari Tauhid yang diekspresikan melalui kesaksian Laa ilaha illallah. Syekh Yusuf Tajul Khalwati al-Makasari mengurai lebih lanjut bahwa Wahdatul Wujud bersumber pada kesaksian bahwa Wujud Hakiki adalah milik-Nya semata. Dalam bahasa lain, seluruh makhluk memiliki wujud nisbi. Ada dan tiadanya tidak menjadikan kekacauan logis. Adanya merupakan pancaran kasih (nafasurrahman) yang dihembuskan ketika “kun”.

Ajaran ini, dan hampir semua ajaran esoteris dunia timur, secara keliru dianggap sebagai panteisme maupun monisme. Zoetmoelder (Pantheism and monism in Javanese Suluk Literature: Islamic and Indian Mysticism in an Indonesian Setting) menetapkan bahwa ajaran panteistik-monistik ini ada di Jawa sejak masa pra-Islam dan diteruskan pada masa Islam. Tentu saja, keputusan Zoetmoelder dan orang- orang yang seperti dirinya tidak dapat diterima.

Dalam Suluk Wujil ini Sunan Bonang mewanti-wanti di awal ajarannya:

Baca juga:  Menilik Kajian Tasawuf di Pesantren Maulana Rumi

Pengetisun ing sir ara Wujil

Den yatna uripira eng dunya

Ywa sumambaraneng gawe

Kawruhana den estu

Sarira pan dudu jati

Kang jati dudu sira

Sing sapa puniku

Weruh reke ing sarira

Mangka sasat wruh sira maring Yang Widi

Iku marga utama

Bagian penting dari wejangan Sunan Bonang kepada Wujil di atas adalah “sadarlah serta yakin, bahwa kau bukanlah Tuhan Yang Maha Hakiki, dan Tuhan Yang Maha Hakiki bukanlah engkau; barangsiapa mengenal diri sendiri sekarang, seakan-akan ia mengenal Tuhan Yang Maha Menguasai. Itulah jalan yang sebaik-baiknya”.

Sebelum menegaskan ajaran yang dilandaskan pada ucapan yang disandarkan kepada Sang Nabi bahwa barang siapa mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya, Sunan Bonang menetapkan pentingnya tauhid ini. Tidak bisa disangkal, ini terkait dengan banyaknya mereka yang terpeleset dalam pemahaman tauhid. Oleh sebab itu, warning dari Sunan Bonang sangat penting disebutkan di awal.

Setelah peringatan yang awal itu, Sunan Bonang mengajarkan pentingnya mengetahui maksud dari setiap ibadah. Salah satu yang paling penting adalah maksud dari sembahyang lima waktu. “Jalan yang sebaik-baiknya adalah salat, memuja, dan berzikir,” pesan Sunan Bonang. Salat yang dimaksud adalah salat yang seperti dalam hadis Nabi saw. “Engkau menyembah-Nya seakan engkau melihat- Nya, jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka sungguh Dia melihatmu”. Dampak dari salat yang semacam ini adalah kesadaran terus-menerus atau pengaruh yang tuntas dari salat di seluruh aspek kehidupan orang yang melakukan sembah. “Keterpengaruhan” yang menyeluruh inilah yang disebut sebagai salat daim, sebuah sembah abadi.

Seorang yang ingat kepada Tuhan dalam seluruh aspek hidupnya, meskipun lisannya tidak menuturkan zikir-zikir tertentu, tindakan-tindakannya menjadi wujud zikir tersebut. Dalam wujud eksternalnya, salat seorang mencegahnya dari perbuatan hina nan tercela. Seorang yang demikian tidaklah mungkin akan melakukan korupsi, misalnya. Karena kehadiran Tuhan mencegahnya melakukan hal ini.

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (6): Samnun bin Hamzah, yang Selalu Minta Diuji

Apabila tidak engkau ketahui kepada siapa kau melakukan shalat di dunia ini, ibaratnya seperti kau menembak burung tanpa dengan membidik. Kau toh tidak akan mengenai burung itu,” pesan Sunan Bonang melalui ilustrasi. Yang disembah adalah Dzat Yang Maha Esa, Maha Mengetahui, dan sifat serta asma Allah yang lainnya. Asma dan Sifat ini tentulah memberikan pemahaman khusus yang memberi dampak pada tingkah laku seorang yang melakukan sembah. Maha Mengetahui akan memberikan harap akan kemurahan Tuhan menyangkut kondisi realitas kemiskinan yang dihadapi seseorang, juga memberikan ancaman bahwa seseorang yang hendak berlaku korupsi pasti diketahui oleh Tuhan.

“Mengenal Tuhan” menjadi pokok penting ajaran Sunan Bonang. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Kalimat yang dinisbahkan kepada Nabi ini berarti “Barangsiapa mengenal dirinya, maka sungguh dia mengenal Tuhannya”. Makna lainnya adalah setiap usaha mengenali diri sendiri berarti usaha mengenali Tuhan. Sang Guru yang disebut oleh Wujil dengan “Sang Mahayogi” berkata:

“O, Wujil, mengenal diri sendiri berarti mengenal Tuhan. Dan orang yang mengenal Tuhan tidak sembarang bicara, kecuali jika kata-katanya mempunyai maksud penting. Ada pula orang lain yang mengenal-Nya, mereka telah mencari dan menemukan dirinya. Mereka tahu, bahwa seseorang tidak boleh terpelanting di luar kehalusan, dan bahwa orang tidak boleh memilih tempat keliru. Demikianlah “laku” yang benar.”

Mengingat kembali bahwa ajaran ini bisa diberikan dalam bahasa Jawa awal abad ke-17, membuat kita bertanya apa yang terjadi di Jawa kini?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top