Minggu lalu saya diajak nimbrung ke kajian keislaman di Masjid Huaisheng. Masjid yang kalau dialihbahasakan ke bahasa Indonesia akan berarti Masjid Rindu Rasulullah ini, terletak di Yuexiu, distrik yang sejak 221 SM dinasti Qin mempersatukan China yang tercerai-berai akibat perang berkepanjangan sampai sekarang menjadi pusat politik dan ekonomi Guangzhou.
Boleh dikata, sejak lahirnya Islam di abad ke-7, Guangzhou –yang kini merupakan ibu kota Provinsi Guangdong alias Kanton– memang lekat hubungannya dengan agama yang kesuksesan persebarannya di Jazirah Arab. Pada abad ini, sejarah mencatat sebagai puncak kejayaan dinasti Tang di bawah kepemimpinan Kaisar Taizong itu. Salah satu penanda kebesarannya adalah Guangzhou mempunyai pelabuhan besar (utamanya sejak pertengahan kepemerintahan dinasti Tang) yang menghubungkan China dengan negara-negara lain di luarnya.
Nah, di antara negeri-negeri asing itu, yang orang-orangnya paling intens berlalu-lalang ke China adalah Arab dan Persia –atau yang lumrah disebut “Dashi” dalam literatur-literatur China klasik. Datanya bisa kita tengok di biografi Li Mian (Li Mian zhuan) yang termaktub dalam jilid 131 Kitab Tang Lama (Jiu Tang Shu). Dalam biografi itu dicatat, kedatangan kapal-kapal saudagar-saudagar dari Arab dan, atau Persia ke Guangzhou, meningkat sekitar 10 kali lipat saban warsanya.
Maklum, dinasti Tang terpaksa memblokade jalan darat lewat Asia Tengah menuju China. Kenapa diblokade?
Lantaran bergejolaknya Pemberontakan An Shi (An Shi zhi luan) dan perang melawan Kekaisaran Tibet (Tubo) yang beraji mumpung menyerang dinasti Tang di tengah huru-hara negeri karena pemberontakan yang terjadi sepanjang 755–763 tersebut. Terpilihlah jalur maritim sebagai opsi mencari pundi-pundi baru, agar pedagang-pedagang Dashi tetap lancar. Ada catatan lain, pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Al-Manṣūr (754–775) juga dipindah ke Baghdad yang notabene daerah pesisir. Apakah ada tren waktu itu pusat peradaban berada di sisi laut? Perlu penelusuran lebih lanjut.
Saking bejibunnya orang-orang dari Dashi, demi memudahkan administrasi, dinasti Tang sampai-sampai merasa perlu untuk menempatkan mereka di wilayah khusus. Namanya “fan fang”. Terjemahannya kira-kira: “daerah masyarakat asing”. Tapi, biar mudah, saya kira tak masalah menerjemahkannya menjadi “kampung Arab/Persia”, mengingat –seperti saya singgung di muka– pendatang asal Arab dan Persialah yang mendominasi masyarakat asing di Guangzhou kala itu.
Uniknya, pemerintah dinasti Tang agaknya tak mau ikut campur dalam urusan internal fan fang yang masyarakatnya menganut keyakinan berbeda dengan penguasa. Pasalnya, urusan internal fan fang sepenuhnya diserahkan kepada “fan zhang” (kepala fan fang) yang dipilih dari orang yang paling ditetuakan oleh penduduk fan fang sendiri. Bahkan, seolah mempunyai hak ekstrateritorialitas”. Misalnya, jika mereka melanggar hukum hanya akan dimintai keterangan pihak berwenang Guangzhou. Sementara pelaksanaan hukumnya dikembalikan lagi kepada pihak terkait di fan fang untuk diproses secara syariat. Demikian informasi yang saya dapat dari Zhu Yu, sejarawan era dinasti Song, dalam jilid 2 Obrolan dari Pingzhou (Pingzhou Ketan), kitabnya yang dipublikasikan pada abad ke-12 silam.
Lantas, di mana sentra fan fang Guangzhou pada zaman dinasti Tang berada?
Di Masjid Rindu Rasulullah yang saya kunjungi itulah daerahnya. Dan, kalau merujuk replika inskripsi yang dipahat Wu Jian pada 1350 untuk Masjid Qingjing di Quanzhou (Qingjing si bei), Masjid Rindu Rasulullah ini dibangun oleh seorang Arab bernama “Sahaba Sa’ade Wogesi” yang tiba di Guangzhou setelah berlayar langsung dari Arab sana.
Banyak yang meyakini, kendati juga tak sedikit yang menyanggah, “Sahaba Sa’ade Wogesi” adalah transkripsi bahasa China untuk “Sahabat Sa’ad [bin Abi] Waqqas” yang –kata Lan Xu dalam jilid 7 Tianfang Zheng Xue (Ajaran Islam yang Benar) yang disusunnya pada akhir kepenguasaan dinasti Qing– tak lain dan tak bukan merupakan “zhi Sheng zhi mu jiu” (paman Rasulullah dari pihak ibu) yang mengomandani Perang al-Qādisiyyah dan Perang Nahāvand melawan pasukan Kekaisaran Sassaniyah (artesh-e Sāsānīyān) Persia.
Tidak berhenti di situ, dalam tradisi lisan muslim China yang kini juga diamini pemerintah, Sa’ad dipercaya wafat dan dikebumikan di Guangzhou. Makamnya terletak sekitar dua kilometer dari masjid yang konon dibikinnya itu.
Pada 2010 lalu, Pemerintah Kota Guangzhou mendirikan masjid berlantai dua yang diberi nama Masjid Sa’ad bin Abi Waqqas di sebelah barat daya pusaranya –setelah sebelumnya merenovasi pemakaman muslim bersejarah di sekitarnya.
Tiap Jumat, masjid dan makam Sa’ad selalu penuh sesak oleh jemaah dan peziarah yang datang dari pelbagai penjuru dunia. Mereka membakar dupa untuk selanjutnya mengaji di depan makamnya buat ngalap berkah dan berharap tabaruk.
Pemandangan di kuburan mirip seperti yang biasa saya lihat di Jawa dan pulau lainnya di Nusantara. Keramaian fan fang juga tak ubahnya di Masjid Sunan Ampel attau di kuburan Mbah Kholil Bangkalan. Tak lama, saya pun larut dalam doa.
Baca juga tulisan menarik tentang sejara Islam dan China:
- Sejarah Hubungan Islam-Arab dan Chinga
- Sumber-Sumber Penting untuk Membaca Hubungan Islam, China, dan Nusantara
- Kisah Unik Peranakan Tionghoa Naik Haji
- Sinci Gus Dur: Mengungkap Penghormatan Tionghoa kepada Gus Dur