Sedang Membaca
Kenang-kenangan di Pesantren: Kartu Izin Pulang Pondok Tremas 
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Kenang-kenangan di Pesantren: Kartu Izin Pulang Pondok Tremas 

1 A Kartu Pas Pondok Tremas

Sebuah foto yang diposting oleh Gus Anas Farkhani dari Pesantren Al-Manshur Popongan, Klaten, di laman facebooknya (29/04/’20), segera menjadi diskusi di antara alumni Tremas. Auditor BPK itu memposting kartu izin pulang dari Al-Jamiah Al-Islamiyyah Al-Tarmasiyyah, milik kakeknya yang bernama KH. Moh. Jasin. 

Di kartu itu tertulis Pondok Termas. Dalam literatur memang ada dua penulisan: Termas dan Tremas. Yang terakhir ini yang dipakai hingga sekarang.

Dalam Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie (Kamus Geografis dan Statistik Hindia Belanda) tahun 1869, keduanya digunakan. Lema Termas di halaman 934 dan Tremas di halaman 1123. Ada dua lokasi untuk Termas: nama sebuah desa di Pacitan dan Grobogan. Dan ada dua lokasi juga untuk Tremas: sebuah desa  di Pacitan dan Temanggung. Untuk Termas maupun Tremas, kamus ini konsisten menyebut sebagai sebuah desa pemukiman di Pacitan.

Bagi para santri dan alumni Tremas, tentu ini menjadi informasi penting dan menarik. Ternyata, aturan kartu izin pulang ini sudah ada sejak tahun 1930-an. Setiap santri, mempunyai hak untuk mengajukan izin pulang atau bepergian keluar pesantren, paling banyak tiga kali dalam setahun. Sekali dalam satu kwartal.

Selain pulang menjelang hari raya, santri juga bisa izin untuk menengok orang tua yang sakit atau ada kepentingan lain yang tidak bisa diwakilkan. Setelah mengajukan izin kepada pengurus, santri harus sowan kepada kiai untuk mendapatkan tanda tangan. Dengan cara ini, diharapkan tidak ada santri yang izin keluar pesantren hanya untuk hal-hal yang tidak penting.

Baca juga:  Khalifah Bumi ala Santri Milenial

Kartu izin pulang ini diberikan kepada H. Moh. Jasin, nomor induk santri 2346, pada 3 November 1937 (lihat foto di atas). Tujuannya ke Popongan, Klaten. Di bagian bawah ada keterangan bahwa pemegang kartu tidak punya urusan dengan kepolisian. Ini semacam jaminan kelakuan baik.

Menurut Gus Anas, kakeknya lahir pada 1914 (sama dengan tahun kelahiran Saifuddin Zuhri), berarti saat mendapatkan kartu izin pulang ini, beliau berusia 23 tahun. 3 November 1937 adalah hari Rabu, bertepatan dengan 29 Sya’ban 1356 H. 

Pada 1937, Pondok Tremas berada dalam asuhan al-Maghfurlah KH. Hamid Dimjati (1934-1948). Kerap disebut sebagai era keemasan, melanjutkan capaian ayahandanya KH. Dimjati bin Abdullah (1894-1934). Ada perpustakaan yang lengkap sebagai bagian dari Madrasah Nizhamiyah.

Semua santri giat belajar bahasa Arab karena Kiai Hamid hanya mau melayani komunikasi dengan santri dalam bahasa Arab. Administrasi santri tertata dengan baik, antara lain diperlihatkan dengan adanya kartu izin pulang ini. Namanya pun mentereng: Al-Jami’ah Al-Islamiyyah Al-Tarmasiyyah.

Saat itu Indonesia masih dalam jajahan Belanada. Belum ada perguruan tinggi Islam seperti IAIN atau UII. Nama itu kemudian diterjemahkan Perguruan Islam Pondok Tremas. 

Al-Jami’ah al-Islamiyah al-Tarmasiyah

Kalimat Al-Jami’ah al-Islamiyah al-Tarmasiyah yang terdapat dalam stempel pada kartu izin itu, ditemukan pula dalam manuskrip Popongan yang berjudul “Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’ al-Bayan”, yang dikarang oleh Kiai Muhammad Dimyati bin Abdul Karim Surakarta. Naskah ini disalin oleh Kiai Muhammad Muqri bin Ahmad Kafrawi bin Mahmud pada tahun 1344 H. Pengarang dan penyalin naskah ini, sebagaimana informasi dalam teks adalah alumnus Al-Jami’ al-Tarmasi, alias Pondok Tremas.

Baca juga:  Inilah Pedang Nabi Muhammad yang Berasal dari Nusantara
1 A Manuskrip Kh Dimyati Bin Abdul Karim
Manuskrip kitab “Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’ al-Bayan” Koleksi: Lektur Kemenag.

Catatan ini menjadi bukti kuat bahwa Pondok Tremas pada era itu bisa dikategorikan sebagai lembaga pendidikan pesantren tingkat lanjut atau Perguruan Tinggi. Santri yang mondok di Tremas sebagian besar kalangan terpelajar, yang sudah punya riwayat mondok sebelumnya. Para kiai muda ini belajar ke Tremas untuk tabarukan demi mendapat “legitimasi” sebagai bukti pernah menempuh pendidikan “tinggi”.

Bukti kuat lainnya, pada era tahun 1930-an, Tremas sudah membuka kelas Nizham  (Qism al-Nizham) atau madrasah nizhamiyah untuk pendidikan kelas tinggi.

Pada manuskrip di atas, pada halaman kolofon terdapat endorsment (taqaridh) yang amat langka karena memuat “pengendikan” guru besarnya, Al-Allamah Kiai Dimyathi bin Abdullah, Tremas.

Endorsement yang terdapat pada naskah ini dalam dunia buku biasanya merupakan pendapat atau testimoni seseorang pada karya orang lain yang bertujuan memperteguh dan menguatkan isi buku tersebut. Pada umumnya endorsement ditulis oleh tokoh-tokoh terkemuka dan berpengaruh.

Naskah ini selesai ditulis pada 13 Jumadi al-Saniyyah 1344 H, (Sabtu, 13 Oktober 1925 M).

Berikut endorsement dalam kolofon tersebut :

“Kitab ini telah aku perlihatkan kepada guruku yang utama, Al-Alamah syeikh Tarmasy (Mbah Dimyathi-pen), seorang yang punya kemuliaan dan kesungguhan.” Beliau lantas menuliskan :

“Saya telah menelaah kitab ini, saya dapati dirinya benar adanya dan penutur kebenaran. Gigit erat-erat dengan gigi gerahammu! Hendaklah berpaling dari pihak yang tidak sependapat!, dia itu pembuat bid’ah.”

Baca juga:  Syair Indah Fatimah Az-Zahra untuk Nabi Muhammad Saw

Ditulis oleh Muhammad Dimyathi bin Abdullah Al-Tarmasi. Adapun salinan dari kata sambutan (endorse) ditulis oleh Sayid Hasan bin Abdullah al-Tarmasi (Baabud), menantu Mbah Dimyathi Tremas.

Endorsement ini juga bisa dimaknai sebagai bukti pengesahan seorang guru besar atas karya tulis muridnya, sekaligus menjadi dokumen satu-satunya pangendikan (maqalah) dari KH. Dimyathi Tremas yang tertulis dan terdokumentasikan.

Masuk akal kalau Nurcholis Madjid pernah menyatakan bahwa seharusnya yang muncul di Indonesia adalah Universitas Tremas atau Universitas Tebuireng. Sebagaimana di kancah internasional muncul Universitas Harvard di Amerika atau Al-Azhar di Mesir. Semuanya punya akar pendidikan tradisional yang panjang. Mungkin salah satu penyebabnya adalah revolusi yang “memutus” perjalanan sejumlah pesantren besar seperti Tremas. Sebagaimana dicatat sejarah, KH. Hamid Dimjati wafat dalam perjalanan pada 1948, saat menuju Sidang KNIP di Yogyakarta. 

Sejumlah ulama yang berkiprah luas di tengah masyarakat pernah mengenyam pendidikan Tremas di era Kiai Dimjati dan Kiai Hamid Dimjati. Di antara mereka adalah KH. Muhammad Dimyati bin Abdul Karim (Surakarta), KH. Ali Maksum (Rais Aam PBNU 1981-83), KH. Abdul Hamid (Pasuruan), KH. Muntaha (Wonosobo), Prof. Dr. A. Mukti Ali (Menag RI 1971-78), dan Prof. Dr. Azhar Basyir (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1990-95).

(Artikel ini ditulis oleh dua orang alumni Pesantren Tremas: Iip D. Yahya & Ahmad Muhammad)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top