Sedang Membaca
Ketika Pengarang Gulung Tikar
Avatar
Penulis Kolom

Pengamat sastra mutakhir Indonesia, dosen perguruan tinggi La Lansa, Rangkasbitung, Banten Selatan.

Ketika Pengarang Gulung Tikar

Menyoal Dokumentasi Sastra Kita

Kita hidup di negeri kepulauan yang terdiri dari banyak suku, budaya dan bahasa. Kebudayaan Indonesia berusaha diseragamkan oleh kekuatan imperialisme, bahkan disinonimkan dengan istilah globalisasi. Di antara kebudayaan-kebudayaan kita terdapat keterhubungan yang saling bersinambung dan berakumulasi dengan konvensi-konvensi sosial dan ekologi yang terlalu kompleks untuk dipahami secara intelektual.

Kita adalah bangsa yang merupakan gabungan dari para leluhur, dengan kepercayaan religi dan spiritual yang berbeda-beda. Di tiap-tiap kelompok demografis yang beraneka-ragam, terdapat juga kepribadian dan karakteristik manusia yang bermacam-macam. Dalam novel Perasaan Orang Banten, yang mencerminkan identitas keindonesiaan kita, terdapat karakteristik yang mirip dengan kepribadian Soekarno, Kartosuwiryo, Mochtar Lubis, Rizieq Shihab, Gus Dur, Pramoedya, hingga Sujiwo Tejo, yang kesemuanya mengejawantah berkelindan dalam wadah nasion Indonesia.

Terlepas dari luasnya perbedaan itu, ada hal-hal yang dapat menyatukan tiap-tiap individu, terutama ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Beragam krisis akhir-akhir ini, ditambah munculnya era milenial dengan ragam disrupsi hingga pandemi, membuat kita makin tergugah untuk membaca ulang, serta mengubah paradigma dan pandangan hidup. Memang tidak ada yang jatuh gratis dari langit, kecuali dengan istiqomah mengusahakan sikap dan spirit baru, serta mengganti teropong dengan lensa baru dalam menghayati dunia di sekitar kita.

Awas, jangan salah mengartikan lensa baru ini. Sebab, kebaruan ini justru bukanlah yang berharga mahal dan merk mentereng, melainkan lensa kaca yang lebih sederhana, sambil menanggalkan yang berharga jual mahal dan berlabel menggiurkan. Dapat pula diartikan, bahwa satu merk lama dijual, untuk membeli ratusan dan ribuan merk baru yang bisa dibagi-bagikan kepada pihak yang membutuhkan pertolongan.

Sekarang, wahai para penulis dan intelektual, luangkan sedikit waktu untuk berpikir lebih mendalam. Bayangkan rasanya menjalani hidup dengan fokus dan pandangan baru. Kita sama-sama tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, serta apapun yang kemungkinan akan menimpa perjalanan hidup kita. Berupaya untuk menjalani hidup yang lebih rileks dan tanpa pamrih, serta peka dan peduli terhadap sesama, adalah prakondisi yang sangat berfaedah daripada solusi apapun yang bersifat teknis belaka.

Baca juga:  Untuk Apa Berdoa Jika Semua Sudah Ditakdirkan?

Tentu tidak ada satu jawaban global, dan menjadi nalar yang mendukung pemikiran bersama. Boleh jadi penalaran yang seragam justru akan membuat situasi makin kacau-balau. Tidak ada yang berhak mengklaim kebenaran tunggal, baik dalam sisi budaya, gaya bahasa maupun pembakuan kata. Baik yang diklaim pihak Kompas, Republika, Solopos, Kabar Madura, Litera, Nusantaranews, maupun Ruang Sastra. Sebab, jawaban akan tantangan yang kita hadapi bersama haruslah bersifat obyektif, namun terkadang lokalistik. Setiap kisah yang kita bagikan untuk publik – biarpun terlepas dari persoalan sastra lama yang obsolete – tetap harus memenuhi selera masyarakat dalam konteks membangun peradaban yang lebih baik.

Dengan menganjurkan solusi yang mungkin bagi tantangan universalitas, saya hendak mendorong Anda supaya menyadari bahwa sistem kesusastraan dari buah pena para sastrawan masa lalu, tak ubahnya dengan tawaran ekonomi moneter yang bukan satu-satunya sistem ekonomi yang harus kita pilih. Kita bisa saja mempertimbangkan model ekonomi lain yang diperlukan bagi periode khas dalam sejarah manusia yang tengah kita hadapi saat ini.

Di sinilah kita perlu mengapresiasi hasil karya para sastrawan milenial. Untuk apa kita memaksakan-diri melanggengkan ritus yang tumbuh dari mite kebudayaan yang relevan pada taraf masa lalu dalam evolusi manusia Indonesia, namun bisa dikatakan tidak ada urusannya dengan konteks manusia zaman ini?

Dunia sastra bisa menjadi sarana dan alat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, tetapi kita jangan sampai terjerumus menjadi penulis dan sastrawan pendengki. Jangan terjebak dalam konflik dan polemik masa lalu yang tidak produktif bahkan menumpulkan daya nalar. Dunia hanya akan menilai seberapa besar pengaruh karya-karya kita bagi perubahan dan pembangunan peradaban. Bukan dari seberapa sering kita berkumpul dan berorganisasi, atau bahkan berteriak lantang bahwa karya akulah yang paling mewakili kebenaran.

Baca juga:  Peradaban tanpa Perantara

Pramoedya Ananta Toer mungkin satu-satunya penulis yang beberapa kali masuk nominasi untuk nobel kesusastraan. Banyak lembaga sastra yang takut menganugerahi award, terutama di masa sekuasa-kuasanya Orde Baru. Banyak penerbit dalam negeri – kecuali Hasta Mitra – yang gemetar untuk menerbitkan karya-karya besarnya. Tetapi, ia terus saja menulis dan berkarya, dan dari buah penanya ia ikut menyumbang bagi pergerakan peradaban, tak peduli orang menjulukinya sebagai penulis kiri maupun kanan. Sebagian seniman boleh-boleh saja mengkritik maupun menghujat, tetapi mereka tak layak menjadi teladan dendam dan kedengkian.

Kita semua punya alasan masing-masing, dan jalan terbaik adalah membatasi ketergantungan pada jenis kesusastraan lama dengan gaya bahasanya yang sulit diadopsi untuk konteks generasi masa kini. Kita mencoba untuk melangkahi era tersebut karena kita semua menyadari keinginan untuk hidup merdeka dan independen. Tetapi di sisi lain, masa lalu biarlah tetap menjadi masalalu, sebab kebebasan dan kebahagiaan yang dicapai dengan mengorbankan kehidupan lain, bukanlah kebebasan dan kebahagiaan yang sejati.

Banyak penulis dan sastrawan yang saya kenal memiliki alasan yang lebih urgen dan mendalam, karena memang mereka banyak memiliki waktu dan kesempatan untuk berpikir lapang dan terbuka, meskipun tak mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Besarnya beban kehidupan yang harus ditanggung, rumah yang telah dihipotekkan, yang berarti mereka tidak bisa pindah ke daerah lain di mana pekerjaan tersedia. Sementara, banyak sastrawan meronta ingin hidup di luar sistem dan mengambil kembali kebebasan yang dirasa telah berangsur-angsur dicuri dari diri mereka.

Menjadi penulis yang baik dan sanggup bekerja dengan total di era yang kalang kabut dengan segala kebuntuan ideologis saat ini, tentu dapat dicandakan sebagai “penulis edan” yang luar biasa daya imajinasinya dalam menggeluti bahasa.

Baca juga:  "Mudhammataan" dan Suspensi Kenikmatan

Memang, setiap penulis, sastrawan maupun intelektual kita, mengakui fungsi dari alat likuid yang bernama uang. Ia yang seharusnya ada untuk melayani manusia, secara diam-diam justru telah menjadi majikan yang merenggut kebebasan jiwa manusia. Terkait dengan ini, George Orwell merasa jengkel di era kebuntuan ideologis ini, kemudian berseloroh lantang, “Tak terkecuali sastra, ia hanya menjadi alat propaganda belaka!”

Tetapi, untuk kita yang berusaha menyuarakan pentingnya moralitas, harus berani menyatakan bahwa seni dan sastra adalah soal kebenaran. Saya masih ingat orasi dari penulis novel Pikiran Orang Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bahwa, “Kesenian Indonesia harus sanggup menyatakan kebenaran, dengan tujuan utamanya adalah menegakkan keadilan. Tak ada karya manusia yang dianggap mumpuni, kecuali menjadikan kebenaran sebagai pegangannya, serta keadilan sebagai tujuan utamanya.”

Melalui tulisan ini, saya berupaya untuk menyampaikan kata-kata kebenaran, meskipun Anda berhak memiliki dugaan bahwa sebenar apapun kata-kata yang saya tuangkan, tetap takkan terlepas dari pengaruh dan prasangka-parasangka saya pribadi, maupun motif-motif propaganda yang terselubung di dalamnya. Oleh karena itu, mudah saja bagi saya. Jika Anda benar-benar menemukan sekam propaganda dalam kata, kalimat maupun paragraf dalam tulisan ini, buang saja jauh-jauh, lalu ambillah butir-butir kebenaran yang menjadi sisanya.

Saya menyadari, semakin banyak yang saya pelajari dari kesusastraan Indonesia dan dunia, maka semakin sedikit ilmu yang saya ketahui, bagaikan setetes air di lautan samudera.

Bersifat dan bersikap arogan dari sedikit pengetahuan yang kita miliki, akan memberi kesan bahwa kita belum memahami dengan baik bagian-bagian pokok dari kedalaman identitas manusia Indonesia. Termasuk jawaban apapun atas problematika kesusatraan yang paling mutakhir, yang pada hakikatnya tak terlepas dari upaya membedah jiwa-jiwa manusia secara universal. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top