Sedang Membaca
Film Sound of Metal: Belajar Sabar di Tengah Kebisingan
Avatar
Penulis Kolom

Pengamat sastra mutakhir Indonesia, dosen perguruan tinggi La Lansa, Rangkasbitung, Banten Selatan.

Film Sound of Metal: Belajar Sabar di Tengah Kebisingan

Sound Of Metal Riz Ahmed Movie Poster

Hatinurani saya seakan tercerahkan saat menyaksikan film menarik, “Sound of Metal” (2020) yang digarap sutradara Amerika Serikat, Darius Marder. Film tersebut mengandung tema yang sederhana, yakni memetik hikmah kesabaran dari keheningan, karena sang tokoh utama sebagai drummer pada grup musik beraliran heavy metal, tiba-tiba terserang gangguan pendengaran hingga mengalami tuli.

Sepasang kekasih antara Ruben Stone (Riz Ahmed) dan Lou Berger (Olivia Cooke) sedang merintis sebuah band musik, melakukan tur keliling Amerika, menampilkan pertunjukan musik dari satu klub ke klub lain, bahkan dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya.  Mereka tinggal di sebuah mobil van (RV). Suatu ketika, saat mereka mampir di sebuah toko musik, tiba-tiba ada sesuatu yang tak beres pada pendengaran Ruben. Telinganya seakan tak berfungsi. Suara-suara di sekitarnya tak terdengar, kecuali dengungan-dengungan yang hampa dan kosong belaka.

Kehilangan pendengaran yang dialami Ruben adalah fakta yang dia hadapi, tetapi hatinya selalu menolak dan menyangkal. Dia tak ingin kekasihnya, Lou, sebagai vokalis grup band mengetahui apa yang dialaminya. Diam-diam ia berkonsultasi dengan seorang apoteker, serta mengeluhkan apa-apa yang terjadi pada genderang telinganya. Apoteker itu menyatakan bahwa Ruben mengalami proses kehilangan pendengaran, bahkan akan mengalami tuli dalam waktu dekat. Ia menyarankan Ruben agar menghubungi dokter spesialis, dan si dokter memberikan solusi agar dia memasang alat pendengaran (implant koklea), menghindari kebisingan, dan ia pun merasa kesulitan melanjutkan tur musiknya.

Sifat penyangkalan terhadap rasa sakit masih menyala-nyala pada diri Ruben, sebagai seorang musisi heavy metal yang berpikir rasional tulen. Ruben bersikeras menolak dan terus saja menggebuk dan memainkan drum metal. Di saat itulah semua suara dan bunyi di sekitarnya kian redup, tak terdengar sama sekali, seperti orang yang sedang membungkam diri di suatu ruang kedap suara. Kian hari pendengarannya semakin parah, seakan tak mampu menangkap gelombang apapun. Lou, sebagai wanita yang merasakan perubahan pada sikap kekasihnya, merasa khawatir dan panik. Mereka mengomunikasikannya bersama Hector, sponsor tur mereka, tetapi sang sponsor tak sanggup membiayai Ruben untuk melakukan operasi telinga yang biayanya selangit. Hingga kemudian, Ruben memutuskan diri untuk tinggal bersama komunitas yang merawat orang-orang tuli, yang sebagian terkena gangguan pendengaran karena dampak dari alkohol dan obat-obatan terlarang.

Baca juga:  Obituari: Hilman, Sandal Jepit, dan Bis

Perjalanan hidup seorang tokoh yang menyangkal adanya rasa sakit pada dirinya, tentu sangat interesan di era pandemi Covid-19 ini. Suatu hari, lagi-lagi Ruben mengadakan penyangkalan dan memaksakan diri keluar dari tempat rehabilitasi. Ia justru memerintahkan Lou agar melanjutkan tur musiknya, mengumpulkan uang untuk melakukan operasi telinganya. Tapi kali ini, Lou harus mengambil pilihan pahit. Ia meninggalkan Ruben dan memaksanya hidup sebagai seorang tuli di tengah orang-orang tuli yang hanya bicara dengan bahasa isyarat.

Dalam komunitas tuli itulah, Ruben mengasingkan diri dari hingar-bingar musik rock dan metal. Ia mulai belajar berkomunikasi dengan isyarat, dan diminta oleh pembimbingnya agar melakukan serangkaian kegiatan, serta beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Syarat yang paling berat dihadapi Ruben – dan terpaksa harus ditaati – adalah menyerahkan ponsel dan kunci mobil vannya, agar dia mulai memutuskan hubungan dengan dunia luar, termasuk dengan musik-musik cadas yang digandrunginya.

Sifat penyangkalan pada dirinya masih hidup. Dia bersikeras mencari kabar dan informasi soal keberadaan Lou. Betapa kagetnya dia, diam-diam Lou terus mengadakan pentas musik di Paris bersama ayahnya yang ternyata seorang yang kaya raya. Melihat gejala ketidaksiapan dan penolakan pada diri Ruben yang sulit dipahami, Joe pembimbingnya, meminta Ruben agar menuliskan apa saja yang ada di kepalanya melalui kertas. Dalam hal ini, kita diingatkan pada kasus delusi kejiwaan yang dialami Haris (dalam novel Pikiran Orang Indonesia), ketika sang psikiater menganjurkan agar menuangkan pikirannya dalam bentuk gambar dan puisi, hingga sang dokter berhasil memahami latar belakang sang pasien, sampai kemudian mendiagnosa penyakit yang ditimbulkannya.

Baca juga:  Kisah Kecintaan Sultan Muhammad Salahuddin kepada NKRI

Ruben melakukan kegiatan itu selama beberapa waktu, kemudian ia pun menyadari dirinya tak sanggup menulis banyak. Di sini terbersit kecenderungan adanya potensi pada diri Ruben, yang berhasil introspeksi dan berkaca diri, bahwa ia seakan tak berbakat menjadi seorang penulis. Bahkan juga tidak sanggup membaca novel beratus-ratus halaman.  Cukup baginya menjadi musisi dan drummer, karena ia merasa mendapatkan kebahagiaan di dunia musik.

Suatu ketika, Ruben meminta Jenn, seorang temannya di komunitas tuli agar menjualkan mobil van dan beberapa peralatan musiknya. Ia pun berhasil menjualnya dengan harga miring, dengan syarat ia akan membelinya kembali dengan harga yang sama ketika sudah memiliki uang. Akhirnya, sejumlah uang yang ia miliki, dipakainya untuk membiayai operasi telinganya. Setelah operasi selelai, pelan-pelan pendengarannya pulih, tetapi suara yang didengarnya berbeda dengan suara aslinya. Bunyi dan suara itu seakan sudah terdistorsi.

Tak berapa lama, ia segera menemui Joe pembimbingnya dulu, namun kemudian Joe menyayangkan Ruben yang telah mengeluarkan banyak uang untuk operasi tersebut. Nilai-nilai mistik dan spiritual nampak sekali pada peringatan Joe kali ini, bahwa peristiwa tuli yang dialami Ruben adalah jalan rahmat dan karunia ilahi. Bagi Joe, musibah kehilangan pendengaran bukan semata-mata soal cacat fisik. Tetapi, suatu perintah atau ajakan menuju jalan kehampaan agar sang penderita sanggup menikmati keheningan (stillness), dari hingar-bingarnya musik metal dan rock yang dijalaninya.

Lalu, apakah Ruben serta-merta percaya pada pendirian tersebut? Nanti dulu. Gejolak batin meningkat. Tarik-menarik kepentingan dan refleksi pemikiran semakin kuat. Ruben bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin sebuah kekurangan dan kehilangan pendengaran dapat diyakini sebagai karunia ilahi? Untuk kedua kalinya, Ruben meninggalkan komunitas orang-orang tuli tersebut. Dengan sisa uang yang ada, dia pergi ke Paris untuk menemui Lou di rumah orang tuanya yang mewah.

Baca juga:  Boeng Rewel: Sosok “Uwais Al-Qarni” dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Ayah Lou, Richard, dengan karakteristik khas Paris yang terbuka, menyatakan terus-terang bahwa selama ini Ruben telah merusak kehidupan Lou dengan menggeluti musik-musik barok dan cadas. Tetapi akhirnya, sang Ayah memaklumi bahwa toh kemudian Lou dapat kembali ke pangkuan orang tuanya berkat jasa-jasa Ruben (barangkali juga karena “karunia sakit” yang dideritanya).

Malam itu, dia berbincang-bincang dengan Lou, yang tampak telah tenggelam dalam suasana baru. Lou sedang fokus dengan pesta yang akan diadakan ayahnya, dengan mengundang saudara-kerabat dan kawan-kawannya. Di tengah hingar-bingat keramaian pesta, Ruben terkenang kembali pada kehampaan dan keheningan (stillness) yang pernah ia rasakan dulu.

Di sinilah pesan moral yang sangat vital pada film “Sound of Metal”, diiringi dengan peringatan sang pembimbing pada komunitas orang-rang tuli yang berkomunikasi dengan isyarat, bukan menggunakan media bahasa, literasi maupun gambar. Dalam konsep keheningan dan kehampaan yang ditawarkan Marder (sang sutradara), sepertinya ia hendak mengemukakan ajaran filosof dan mistikus Rusia, George Gurdjieff yang menemukan sintesis dari tradisi mistik melalui konsep fakir, biarawan, dan yoga.

Gurdjieff berpendapat bahwa setiap orang harus membangun kesadaran dirinya, hingga ia sanggup menemukan nilai dan makna dari kehidupan yang dijalaninya. Apakah seorang yang sukses berjalan karena kehendak dan perjuangannya sendiri, ataukah ada kehendak lain yang memperjalankan hidupnya? Hal ini senada dengan pernyataan filosof wanita Prancis, Simone Weil yang menganalisis orang-orang yang tekun menelusuri kebenaran, bahwa sejauh apapun manusia mencari-cari jalan kebenaran, pada akhirnya kebenaran itu didapatkan berkat rahmat dan kasih sayang Tuhan. Bukan semata-mata hasil jerih-payah dan kekuatan dirinya sendiri. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top