Lima tahun yang lalu, 24 Januari 2014, Kiai Sahal bin Mahfudh bin Salam, wafat dalam keheningan. Wafatnya Kiai Sahal, di tengah suasana musim penghujan: hujan deras, banjir yang memutus jalan pantura Pati, dan langit yang terus-menerus mendung.
Tangis hujan tumpah menggenang di kawasan lereng Muria. Akses jalan ke Pati dari Kudus, Rembang, dan Purwodadi terputus. Seakan, langit berduka atas wafatnya kiai, panutan, pendididik jiwa kami, segenap santri yang sering bersimpuh di pengajian-pengajian beliau.
Memang, suasana itu seperti menjawab doa Kiai Sahal, yang ingin dikebumikan dalam ketenangan, tidak dikerumuni banyak orang.
Saya masih ingat betul, ketika Kiai Sahal kapundut, saya bersama istri berada di Bandung. Istri saya masih menuntaskan kuliah master bidang Matematika di Institut Teknologi Bandung (ITB). Di tengah hamil besar, istri saya bersikeras untuk pulang ke Pati demi takziyah dan ngalap berkah, meski hujan dan banjir dimana-mana.
Saya dan istri berdoa semoga anak-anak kami, mendapatkan limpahan berkah serta gairah belajar yang tinggi, sebagaimana laku hidup Kiai Sahal.
Ketika itu, saya cuti mengajar dari Sekolah Tinggi Agama Islam Mathaliul Falah (STAIMAFA), Pati, kampus yang didirikan oleh Kiai Sahal Mahfudh bersama kiai-kiai Kajen lainnya. Saya mengajukan cuti mengajar untuk mendampingi istri yang juga mulai fokus menggarap tesis.
IPMAFA dan Gus Rozin
STAIMAFA–dan sekarang bertransformasi menjadi Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA)– dikomando oleh Gus Rozien (KH Abdul Ghoffar Rozien), hingga sekarang. Perkembangannya pesat, risetnya jalan, dan visinya jauh ke depan.
Saya masih teringat bagaimana Gus Rozien menginisiasi Fiqih Sosial Institute (sekarang Pusat FISI, Pusat Studi Pesantren dan Fiqih Sosial), dengan menyemangati Mbak Umdah el-Baroroh, Neng Tutik Nurul Jannah, Kang Jamal Makmur Asmani, Pak Dimyathi, Pak Ali Romdhoni, dan saya sendiri.
Kami, berdiskusi secara rutin, berusaha mencari ritme riset, dan pelan-pelan menggali ide. Gairah bertumbuh, khidmah keilmuan membuncah, dan tim kerja semakin solid.
Nah, dari pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi fikih sosial, saya menjelajahi bentang cakrawala pemikiran, gagasan, jejak langkah, dan mimpi-mimpi Kiai Sahal. Lapis demi lapis gagasan Kiai Sahal kami sesap, dengan beragam sudut pandang.
Fiqih Sosial Institute mulai berani menerbitkan buku, memformulasi gagasan-gagasan Kiai Sahal. Gus Rozien mendorong agar fikih sosial menjadi “nyawa akademik” bagi IPMAFA, sebagai ruh keilmuan yang menjadi perspektif sekaligus horizon bagi dosen-dosen dan lebih jauh, mahasiswa/mahasantri.
Ini memang tugas tidak mudah, tapi akan diuji oleh sejarah, ditempa oleh waktu. Tapi, pelan-pelan, dengan dedikasi para peneliti, serta kesabaran Neng Umdah el-Baroroh dan Neng Tutik Nurul Jannah, karya-karya tentang fikih sosial terbit tiap tahun.
Kebetulan, saya mendapat amanah untuk mengedit buku pertama, karya tim riset Fiqih Sosial Institute, sebuah pengalaman berharga, untuk menyerap gagasan-gagasan Kiai Sahal. Peresmian lembaga Fiqih Sosial Institute dan launching buku Epistemologi Fiqih Sosial menghadirkan Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) dan Prof. Amin Abdullah.
Teladan Hidup
Banyak sekali teladan hidup dan gagasan Kiai Sahal yang menjadi pelajaran penting bagi saya. Di antara yang paling membekas, yakni bagaimana Kiai Sahal menuntaskan “sebuah masalah”.
Ini seperti Gus Dur Yang punya resep “kalau bisa dicari solusinya, berarti bukan masalah dan tidak usah dipikir, tapi kalau tidak bisa dicari solusinya, ya berarti bukan masalah dan tidak usah dipikir”. Ini resep jitu, agar setiap orang punya cara mengatasi masalahnya sendiri, dengan “seni” dan pendekatan masing-masing.
Nah, Kiai Sahal punya resep berbeda untuk menyelesaikan masalah. Kiai Sahal bukan tipikal tokoh yang berenang di pusaran perdebatan, atau sosok yang mengambil untung dari keriuhan.
Kiai Sahal menyenangi ketenangan, tipikal pembelajar yang menyelam di laut dalam. Bukan berarti takut dengan pertarungan, dari filosofi itulah, Kiai Sahal memiliki cara ampuh untuk membereskan masalah, tanpa keriuhan, tanpa kecerewetan.
Saya teringat betul, bagaimana keriuhan berlangsung, terutama pada musim politik. Saat itu, bertahun-tahun yang lalu, sedang berlangsung Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Tengah, dengan di antara kandidatnya merupakan seorang tokoh NU.
Musim kampanye ramai sekali, dengan simbol-simbol NU ditarik kesana kemari. Gambar Kiai Sahal bertebaran diusung salah-satu kandidat, di beberapa perangkat kampanye. Saat itu, saya masih belajar di madrasah Aliyah, mengikuti riuhnya suasana, dari media cetak dan beberapa pemberitaan televisi.
Warga NU gempar, Kiai Sahal marah (duko) karena foto beliau dicatut tanpa izin untuk kampanye politik. Namun, di tengah keriuhan itu, Kiai Sahal memilih diam. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Kiai Sahal berkomentar, “saya akan menyelesaikan masalah ini dengan cara saya sendiri”.
Kelembutan, Jalan Senyap
Kiai Sahal menggunakan pendekatan kelembutan untuk menuntaskan masalah. Selanjutnya, beberapa hari kemudian, saya mengikuti dari media, sang kandidat datang ke ndalem Kiai Sahal, sowan dan meminta maaf. Masalah selesai, tuntas, tanpa hingar bingar.
Hal ini pula yang dipraktikkan Kiai Sahal ketika menuntaskan amanah sebagai Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tidak banyak kontroversi dari sosok Kiai Sahal dalam sepanjang kepemimpinan MUI dan PBNU.
Kiai Sahal memilih tidak banyak berkomentar di media, tidak menyulut kontroversi. Kiai Sahal memberikan ruang kepada wakil-wakilnya, atau sekretarisnya untuk berkomentar di media, menjelaskan ke publik tentang masalah-masalah kontroversial yang muncul. Kiai Sahal hanya berkomentar pada hal-hal subtansial, pada momen-momen penting.
Kenapa Kiai Sahal memilih jalan senyap, serta memberi ruang kepada wakil-wakilnya untuk muncul? Di sinilah kaderisasi Kiai Sahal terlihat. Seni kaderisasi Kiai Sahal, dengan segenap cara dan perjalanan panjang, menghasilkan kader-kader ulama, profesional dan expert di bidang masing-masing.
Di sisi lain, Kiai Sahal juga menjadikan “diamnya” bernilai emas.
“Kalau saya berkomentar dan ternyata salah, siapa yang membetulkan? Kalau pengurus yang lain, bicara dan salah, saya bisa memberikan penjelasan,” ungkap Kiai Sahal, yang saya ingat dalam sebuah forum di Kajen.
Menurut Kang Saiful Umam, santri Kiai Sahal yang saat ini menjadi dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur PPIM, Kiai Sahal tidak ingin “mempersonalisasi” MUI dan PBNU, karenanya memberi ruang bagi kader-kader dan wakilnya.
Diamnya Kiai Sahal merupakan emas, sebuah hikmah yang cemerlang. Kiai Sahal memilih diam, sebagaimana para salik menempuh jalan sunyi untuk menemukan pencerahan menuju Tuhan.
Diamnya Kiai Sahal menjadi pelajaran penting untuk generasi saat ini, di tengah melimpahnya ruang interaksi di media sosial, di tengah bertebarnya hoax dan fitnah. Kita perlu menyelami diamnya Kiai Sahal, di tengah berisiknya media sosial.