Sedang Membaca
Andalusia Era Islam (3): Andalusia Sepeninggal Musa dan Thariq
Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Andalusia Era Islam (3): Andalusia Sepeninggal Musa dan Thariq

1 A Andalusia

Akhir nasib politik Musa bin Nushair serta Thariq bin Ziyad tidak segemilang prestasinya dalam menaklukkan Spanyol. Thariq dituduh membangkang oleh Musa, lalu Musa menghukumnya. Musa pun demikian, dituduh membangkang oleh khalifah al-Walid, lalu dihukum.

Dalam catatan Hasan Ibrahim yang dinukil Ahmad Syalabi, keduanya, Musa dan Thariq, lalu ditarik ke Damaskus, ibukota Kekhalifahan Umayyah. Musa lalu dihukum oleh khalifah Sulaiman –penerus khalifah al-Walid–, sementara itu nasib Thariq tidak jelas. Para sejarawan mengatakan, kabar keduanya setelah menaklukkan Spanyol dan lalu ditarik ke Damaskus tidak banyak terdeteksi (Hasan Ibrahim. hlm.343).

Andalusia, kini bernama Spanyol, sepeninggal Musa dan Thariq yang ditarik kembali ke Damaskus, lalu dipimpin seorang “amir” yang diangkat dan berkuasa secara langsung di bawah khalifah di Damaskus. Pemerintahan di semenanjung Iberia itu berada dalam genggaman seorang amir yang berkuasa hampir secara independen. Kendati secara formal berada di bawah gubernur-jenderal al-Maghrib –meliputi Afrika Utara dan Andalusia–. Amir pertama Andalusia kala itu tak lain adalah Abdul Aziz, putera Musa bin Nushair (Hitti, 2006:640).

Amir Abdul Aziz memilih Sevilla (Isybiliyah) sebagai pusat pemerintahannya. Dia menikahi janda Raja Roderick, Egilona, yang namanya kemudian berubah menjadi Ummu ‘Ashim. Menurut para penulis kronik Arab, Abdul Aziz dibujuk Ummu ‘Ashim agar mengenakan mahkota, serta memanfaatkan perlengkapan istana Visigoth, dan agar membuat balairung yang rendah sehingga setiap orang yang masuk harus membungkuk hormat.  Ummu ‘Ashim juga meminta Amir Abdul Aziz untuk dibuatkan pintu yang rendah menuju kapel istananya, sehingga Amir Abdul Aziz sendiri mesti membungkuk saat masuk, seolah sedang menyembah (Hitti, 2006:640).

Baca juga:  Jejak Tokoh Muhammadiyah dan NU di Balik Kretek di Indonesia

Desas-desus ihwal permintaan Ummu ‘Ashim kepada Amir Abdul Aziz ini memberi kesan, seakan Amir Abdul Aziz berpindah agama, padahal tidak. Hingga akhirnya desas-desus ini sampai juga di telinga khalifah Sulaiman dan mengakibatkan terbunuhnya gubernur pertama Spanyol-Islam, Amir Abdul Aziz. Peristiwa tragis ini terjadi di dekat Sevilla pada 716 M di biara Santa Rufina, yang kelak digunakan sebagai masjid. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus dan dipamerkan di hadapan ayahanda Amir Abdul Aziz yang sudah tua dan menderita, Musa bin Nushair.

Kendati demikian amir Andalusia selanjutnya, al-Hurr ibn Abdul Rahman al-Tsaqafi, tak gentar untuk melakukan ekspansi. Tergiur harta kekayaan biara-biara dan gereja-gereja Prancis, dan didukung oleh pertikaian internal antara para perwira kepala istana Merovingia dengan para pemimpin Aquitania. al-Hurr melancarkan serangan yang kemudian diteruskan oleh penerusnya al-Samh bin Malik al-Khaulani (Hitti, 2006:635). 

Pada 720 M, di bawah kekuasaan khalifah Umar II, al-Samh merebut Septimania, bekas tanah jajahan Visigoth yang sudah musnah, dan menduduki Narbonne yang lantas diubah menjadi sebuah benteng besar dilengkapi gudang-gudang senjata, amunisi dan segala perlengkapan lain. Tetapi upaya yang al-Samh lakukan pada tahun berikutnya di Toulouse, berujung dengan kegagalan kerena mendapat perlawanan sengit. Di kota itulah al-Samh “syahid”, gugur dalam pertempuran melawan non-muslim di tahun yang sama –720 M– (Syalabi. Jilid II, 1984:130).

Baca juga:  Tanjung Anom dan Penjarahan Akbar Yogyakarta

Amir selanjutnya yang berkuasa di Andalusia setelah al-Samh bin Malik al-Khaulani adalah Anbasah bin Sahim. Beberapa buku belum mengulas jelas kebijakan politik serta ekspansi Anbasah bin Sahim. Ekspansi terakhir dan terbesar selanjutnya dipimpin oleh Abd al-Rahman bin Abdullah al-Ghafiqi, Amir Andalusia penerus Ansabah. Ia bergerak melalui Pyrenees barat, menundukkan Duke Eudes di tepi sungai Garonne –Syalabi menyebutnya Nahr al-Sin–, menggempur Bordeaux hingga sampai kawasan Tours –Baldah Tur al-Syahirah– (Syalabi. Jilid II, 1984:130).

Gerak laju Abdul Rahman bin Abdullah al-Ghafiqi di Tours lalu dihadang Charles Martel. Dalam catatan Philip K Hitti, Charles Martel merupakan penguasa istana Merovingia. Selama tujuh hari, pasukan Arab di bawah komando Abd al-Rahman bin Abdullah al-Ghafiqi dan angkatan bersenjata Franka di bawah komando Charles Martel bertempur (Hitti. 2006:636).

Pasukan Abdul Rahman bin Abdullah al-Ghafiqi gagal mengatasi formasi pasukan Charles Martel. Tanpa memberi celah, pasukan Charles Martel menebaskan pedang menumbangkan semua penyerang, diantara korbannya adalah Abdul Rahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Charles Martel dan pasukannya memenangi pertempuran. Bagi pasukan Abdul Rahman bin Abdullah al-Ghafiqi medan perang di Tours ini menjadi subuah balath al-Syuhada بلاط الشهداء” , medan para syahid. Pertempuran ini pecah di tahun 732 M / 114 H (Syalabi. Jilid II, 1984:130).

Baca juga:  Spiritualitas Resolusi Jihad (4): Pekikan Takbir

Sumber bacaan:

– Ahmad Syalabi. 1984. Mausu’atu al-Tarikh al-Islami, Jilid II. al-Nahdah al-Masriyah. 

– Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam al-Siyasi.

– Philip K. Hitti. 2006 (cetakan I edisi soft cover). History of the Arabs. Jakarta: Serambi.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top