Sedang Membaca
Tapak Hijrah Kanjeng Nabi dalam Tradisi Mubeng Beteng

Pelajar di Islamic Home Schooling Fatanugraha Wonosobo, sedang mengaji Tari Topeng Lengger yang ada di Wonosobo.

Tapak Hijrah Kanjeng Nabi dalam Tradisi Mubeng Beteng

Tradisi Mubeng Beteng Yogyakarta

Kawula Jawi di Yogyakarta tentu telah akrab dengan tradisi mubeng beteng, ritual rutin yang dilaksanakan di setiap malam tahun baru Hijriah sekaligus tahun baru Jawa; 1 Muharam/1 Suro. Mubeng beteng adalah gerak-jalan laku mengelilingi benteng Kraton Yogyakarta. Dengan dimulai dari Masjid Gedhe Kauman, melawan putaran jarum jam, ke arah barat. Peserta ritual ini tidak dibolehkan memakai alas kaki, diwajibkan untuk membisu. Topo bisu. Dilandasi hati harus dipenuhi dengan doa agar Ngayogyakarta terlebih Indonesia dinaungi rahmat Allah Swt dan dilimpahi berkah Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Kegiatan ritual ini dilakukan bukan karena perintah dari Kraton. Pun juga bukan karena pemujaan pada dedemit, lelembut, ritual klenik, syirik, sampai bid’ah atau makhluk halus sebagaimana dituduhkan oleh berbagai pihak. Karena Kanjeng Nabi Muhammad Saw lah adalah judul ritual mubeng beteng ini. Sejak mula-kalanya, mubeng beteng memang dihelat sebagai ritual untuk mengkhusyu’i dan merefleksi tapak hijrah kanjeng nabi dari Mekkah ke Madinah. Mubeng beteng dilakukan atas timbangan keikhlasan untuk merasakan betapa berantakannya hati Kanjeng Nabi Saw yang saat itu dipinggirkan, dikucilkan, dan dicaci-maki kaum jahiliyah Mekkah, sehingga beliau harus rela pergi meninggalkan negeri tanah tumpah-darahnya.

Mubeng beteng itu juga berarti upaya untuk ikut menimbrungi dan refleksi diri atas kesakitan fisik yang diderita oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Bisa dibayangkan, beliau harus berjalan dari Mekkah ke Madinah yang berjarak lebih-kurang 600 KM, tanpa alas kaki, dan tanpa bekal yang mencukupi. Kakinya berlumur darah. Tulang-belulangnya diserang linu. Keringat mengucur, airmata tumpah tak terbendung. Beliau tetap kuat memacu langkah. Tanpa berkata-kata dan bersuara.

Apabila Kanjeng Nabi Saw berkata-kata dan bersuara dalam perjalanan hijrah itu, tentu hal tersebut akan menjadi jejak yang memudahkan kaum jahiliyah Mekkah untuk mengejar mereka. Nah, atas dasar keengganan beliau untuk tak berkata dan tak bersuara saat berjalan inilah, maka tradisi mubeng beteng ini dilakukan dengan tapa bisu, yaitu suatu sikap untuk tak berkata serta tak bersuara selama ritual berlangsung.

Baca juga:  Seni Islam: Diba` dan Kasidah Khas Madura

Proses-prosesi memubengi beteng biasa digelar pada pukul 20:00, hanya saja di tahun ini karena masih pandemi ditiadakan. Meskipun tak digelar spirit dari mubeng beteng inilah yang jangan sampai lepas dan hilang dalam diri sebagai refleksi diri di setiap pergantian tahun baru hijriyyah. Di tahun sebelum-sebelumnya dimulai dengan doa bersama di Masjid Gedhe Kauman. Sebelum ritual dimulai, seorang sepuh memandu dan memimpin dengan mengumandangkan azan dan iqamat. Nantinya, di setiap sudut beteng atau pojok beteng biasa disingkat dengan jokteng), azan dan iqamat tak lupa dikumandangkan. Tatanan ritual ini, sejak mulanya ditradisikan, memang tak meninggalkan azan dan iqamat di dalamnya.

Azan dan iqamat dikumandangkan sebagai doa untuk mem-pathoki atau menyangga keutuhan negeri dari ancaman keamanan, untuk tolak-bala menghindarkan mala bahaya, dan untuk membangkitkan ketentraman serta kedamaian. Kiranya kita semua sudah tahu fadhilah dari azan dan iqamat ini. Di desa penulis, azan dan iqamat kerap dikumandangkan ketika angin ribut melanda atau bencana menerjang. Atau pemahaman seperti ini pun juga menjadi pegangan seorang ketika mendaki gunung dan tersesat tentu bakal mengumandangkan azan sebagai doa dan ikhtiar agar selamat seperti sediakala.

Di banyak desa di berbagai wilayah Nusantara pun ada kegiatan kirab keliling desa dengan sholawatan sudah mentradisi. Diawali membawa tumpeng di masjid dan disambung dengan melakukan selametan. Jika ada yang mencela tradisi itu bid’ah, warga dengan tegas berargumen,”Bid’ah ora bid’ah urusanku. Hakmu opo ngurusi tradisiku?” ungkapan semacam bukanlah kolot dan tak berlandaskan.

Namun, ini semua hanya lah tradisi yang diwariskan leluhur para Wali pada masa itu sebagai ungkapan rasa syukur memasuki hari raya para Nabi, menapak-jejaki hijrah Nabi Saw dan rasa syukur kepada Gusti Allah yang telah memberikan nikmat dan berkah selama ini, hanya saja memang cara mengungkapkan sebuah kesyukuran para Ulama’ masa lalu dengan menyuguhkan barang yang jadi dan istilah Jawa-nya ‘telesih’ menyimpan makna tersirat, jadi ketika kita tak memahami bongkot-pucuk permasalahan dianggap a historis padahal itu semua adalah sebuah pengetahuan yang telah di-ngelmuni dan kita tinggal meneruskan saja.

Baca juga:  Mari Kita Bahas Kalimah Sayidina Ali bin Abi Thalib: Ana 'Abdu Man 'Allamani...

Beragam tradisi dan ritual dalam mensyukuri nikmat Tuhan karena memang semakin jauh dari pusat kebudayaan (kraton), tradisinya pun mirip dengan yang dilakukan di kraton. yang terpenting, pada malam 1 suro itu, orang Jawa akan meningkatkan riyadlohnya–laku  prihatinnya.

Mubeng Benteng sama halnya seperti melaksanakan ibadah thawaf. Pada saat prosesi mubeng, masyarakat bersama-sama memuter atau berkeliling memohon kepada Allah semoga apa yang diharapkan bisa terlaksana. Pun menjadi wujud kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tak hanya sekadar kata-kata. Pada saat prosesi mubeng, para abdi dalam mementangkan Bendera merah putih sembari dibawa saat berkeliling. Hal itu menjadi satu-satunya panji yang berkibar.

Tradisi mubeng beteng atau tradisi yang semacam dan mirip dengan itu juga dilakukan oleh segala suku-bangsa di beberapa penjuru negeri Nusantara. Seperti yang dilanggengkan di salah satu desa daerah Wonosobo sendiri, di desa tersebut, setiap  masuk bulan Suro atau Muharram pada malam tanggal 3, para penduduk desa berkirab, mujahadah dan melakukan istilah ngumbah desa bersama-sama dan salah satu tokoh sesepuh mengelilingi desa berjalan mengelilingi sembari menyiramkan air yang telah didoakan bersama-sama.

Mereka merapal sholawat nabi, tahmid dan tahlil, dan doa agar desa atau kampung mereka dihindarkan dari bala-bencana, diberikan keselamatan, dan dicurahkan berkah serta syafaat Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Apabila tradisi serupa dihimpun, akan sangat banyak dalil yang menandakan bahwa di seluruh negeri di nusantara ini, jejak-jejak kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw sangat dahsyat.

Itu semua dilakukan di bulan Suro, bulan Muharram, bulan dimana peristiwa besar, bulan yang dimuliakan. Ia menjadi bulan istimewa. Di sana, selain mubeng beteng, orang Jawa (nusantara) juga menjaga diri untuk tak melakukan kegiatan yang bersifat gebyar-gebyar. Karena itu, etika hidup dalam kebudayaan Jawa menyebutkan agar bulan Muharam (Suro) tak diisi dengan “acara besar” seperti pernikahan. Hal ini digariskan bukan karena takut kualat, sembrana, mudharat, atau kutukan. Bukan. Tapi karena semata-mata untuk menghormati dan sebagai refleksi diri atas kepedihan yang diderita Nabi Muhammad Saw waktu berhijrah dulu.

Baca juga:  Santri dan Masakan Geprek/Penyet

Jadi, dasarnya bukan ada atau tidak ada dalilnya. Bukan terletak pada hal itu. Dasarnya hanya pada rasa. Di bulan Muharam, bulan saat Kanjeng Nabi Muhammad SAW sedang susah,  apa kita tega bersenang-senang? Jadi, sekali lagi, bila ditanya dalil tentang ketidakbolehan mengadakan acara besar di bulan Muharam/Suro, jelas tidak ada. Sebab dasarnya memang bukan dalil. Tapi pada rasa atau penggalihan yang ada di dalam hati.

Lalu, jika ada orang Jawa yang mengadakan hajat pernikahan di bulan Suro ini, lalu ia menegaskan bahwa ia yakin tidak terjadi apa-apa, itu wajar. Ya, memang tidak akan terjadi  apa-apa. Sebagaimana disebut di atas, etika ketidakbolehan mengadakan acara besar di bulan Suro itu bukan karena adanya kualat, mudharat, atau kutukan.

Tetapi itu tadi, pertimbangannya hanya pada rasa dan penghargaan atas derita, kesakitan, kepedihan, serta keprihatinan yang dirasakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Kanjeng Nabi mengajarkan dan perilaku beliau yang tulus, sampai mongkok hatinya dan mencerminkan dengan laku “ ‘azizun ‘alaihima ‘anittum, harisun, dan roufurrohim ” tidak tegaan kepada siapapun. Kenapa kita tidak mau mengikuti laku dari kanjeng Nabi?

Mungkin bakal ada tanggapan dan ungkapan, “itu kan dulu, dan sekarang sudah berbeda, zaman sudah berubah, dan ungkapan-ungkapan lainnya. Sebagai bahan refleksi dan keprihatinan diri yang sangat dalam adalah ketika melihat diri terlebih orang Jawa, kelangan jawane, kehilangan ke-Jawaannya, tradisi yang diwariskan oleh para pendahulu yang notabene ittiba’ sanad sampai Kanjeng Nabi Saw dianggap sesat & dituduh dan lepas dari Islam atau ritual pesantren, sementara kita belum memahami kalau apa yang terjadi itu adalah wujud cinta kita pada Rasulullah wa ahli baitihi. Semoga Gusti Allah Ta’ala memberikan kefahaman pada kita semua. Wallahu ‘alam bishowab.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top