Sedang Membaca
Berburu Sekolah Tahfidz
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Berburu Sekolah Tahfidz

Lembaran kalender masih di muka bulan Januari, tapi pembukaan sekolah tahfidz sudah antri. Bahkan beberapa sekolah tahfidz sudah tak menerima santri karena pendaftar santri baru sudah diuji dan diseleksi.

Antusias masyarakat memilih sekolah tahfidz semakin besar walaupun pembukàan tahun ajaran baru sekolah masih tujuh bulan ke depan. Sekolah tahfiz banyak menjadi pilihan pada saat kebijakan pendidikan jarak jauh masih diterapkan.

Banyak orang tua terobsesi dengan hasil penelitian yang menyebut metode menghapal mampu membangun dan memperluas ruang akal. Seorang anak yang sudah terdidik menghapal diyakini memeliki peluang besar lebih pintar sebab telah menyiapkan ruang-ruang penginstalan ilmu pengetahuan.

Apalagi yang dihapalkan bukan suatu hal sembarangan, melainkan ayat-ayat firman Tuhan yang tentu saja memiliki lebih banyak keunggulan. Dengan memasukkan anak ke sekolah tahfiz diasumsukan mereka ke depan akan menjadi bertambah pintar. Selain itu, peluang masuk pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dirasakan menggiurkan sebab telah banyak dijanjikan untuk penghapal Al-Qur’an.

Padahal di balik iming-iming itu, ada beberapa catatan yang patut diperhitungkan. Pertama, meluruskan niat. Menjadi penghapal Al-Qur’an bukan sembarang orang. Ia adalah orang pilihan yang digariskan hidupnya untuk meniti jalan Tuhan. Banyak hafidz yang hilang hapalan sebab di saat dewasanya berpindah haluan. Ingin menjadi ini dan itu, hingga yang bersangkutan memintingkan bukan urusan Al-Qur’an.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Fatihah (11): Makna Petunjuk Yang Lurus

Kedua, guru pembimbing Al-Qur’an. Sama dengan pentingnya niat, mencari guru pembimbing Al-Qur’an juga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan dan ketahanan hapalan al-Quran. Guru pembimbing Al-Qur’an adalah cerminan bagi penghapal Al-Qur’an. Oleh sebab itu di kalangan dunia para hafidz biasa mengarahkan agar calon penghapal Al-Qur’an berguru kepada ahli Al-Qur’an di pesantren Al-Qur’an yang banyak menjadi rujukan.

Tujuannya selain untuk menyambungkan sanad hifdzil Quran juga agar para pengahap Al-Qur’an selalu melalukan murajaah (pengulangan) hapalan dengan pengahapal lainnya yang sudah membentuk jaringan sanad. Hal ini penting sebab menghapal Al-Qur’an sulit dilakukan akan tetapi lebih sulit lagi mempertahankan ingatan urutan ayat yang sudah dihapalkan. Banyak penghapal Al-Qur’an di kemudian hari hilang hapalan karena tidak memiliki “dukungan”.

Ketiga, ketuntasan dan kelangsungan hapalan. Hafidz Al-Qur’an berarti hapal 30 juz Al-Qur’an. Banyak sekolah tahfiz yang menawarkan program penghapalan Al-Qur’an di setiap jenjang pendidikan tetapi sebatas komplement kurikulum semata. Dalam setahun diprogram 5 juz –pencapaian luar biasa bagi anak sekolah– sehingga dupayakan selama 3 tahun 15 juz. Itupun dengan catatan, apakah 15 juz yang dihapal masih tersimpan dalam ingatan?

Problemnya sekolah-sekolah tahfiz yang melakukan terobosan itu terbiasa menerapkan super ketat pendidikan laksana militer. Akibatnya murid menjadi jenuh mengikuti pola pendidikan super ketat selama 3 tahun itu. Padahal dia baru sampai hafalan 15 juz (syukur-syukur mumtaz, tapi kebanyakan…?) Bagaimana dengan 15 juz berikutnya kalau ternyata dia tidak mau melanjutkan kembali?

Baca juga:  Mbah Maimoen Zubair: Motif Nabi Isa Diturunkan Kembali ke Muka Bumi Adalah untuk Menikah

Penghapal al-Quran yang belum menuntaskan 30 juz biasanya merasa tidak bertanggungjawab selayaknya penghapal Al-Qur’an. Hal ini karena paradigma yang sudah terbangun luas bahwa penghapal Al-Qur’an adalah mereka yang hapal 30 juz.

Di lapangan sering kita temukan alumni sekolah tahfiz yang diproyeksikan sejak kecil oleh orang tuanya untuk menjadi hafiz akan tetapi pada usia remaja atau dewasa tidak ada bekas seorang hafiz. Oleh sebab itu, di akhir tulisan ini patut kita renungkan pesan al-maghfur lah KH.R. Najib al-hafiz, bahwa termasuk maksiat lisan ialah orang yang telah diberi anugerah menghapal Al-Qur’an tetapi tidak murajaah hapalan Al-Qur’an.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top