“Aku tahu bunuh diri adalah dosa besar. Tapi merasa tak bahagia juga adalah dosa besar. Ketika kau tak bahagia, kau menyakiti orang lain. Bukankah menyakiti orang lain itu juga dosa?”
Film ini disutradarai oleh Abbas Kiarostami, sutradara asal Iran. Jika ditelusuri di mesin pencari, Anda akan temui bahwa sutradara satu ini tidak biasa. Kebanyakan filmnya, dengan lumrahnya penonton yang menginginkan narasi jelas tentang suatu tokoh, bisa jadi bosan dengan film besutan Abbas ini.
Taste of Cherry dirilis tahun 1999, dan konon merupakan satu film Abbas Kiarostami paling populer. Film berbahasa Persia ini dibuka, atau nyaris seluruhnya menampilkan, seorang pria yang menyetir mobil berkeliling saja, dengan latar belakang daerah Iran. Tokoh utama ini hanya menyetir mobil, berputar-putar, dan menyimpan gurat keresahan.
Jika nanti Anda ikuti film ini sampai pertengahan, Anda akan tahu bahwa pria gelisah bermobil ini bernama Badii, dan apa yang sebenarnya ia cari dan inginkan. Beberapa orang ia temui, dan ia menawarkan,
“Aku tawarkan sebuah pekerjaan, dengan gaji yang sangat tinggi.”
Orang yang pertama kali ditawari adalah seorang bocah dekil calon anggota militer. Dari percakapan dalam mobil, kita tahu bahwa bocah itu adalah anak tak mampu. Badii tahu bahwa anak itu butuh uang untuk keluarganya.
“Dalam sepuluh menit, kau akan mendapat bayaran setara enam bulan bekerja. Pekerjaan ini mudah.” demikian kata Badii. Anak tadi diantarkan ke bukit. Ditunjukkannya sebuah lubang galian di dekat pohon.
“Lihat lubang di sana pada jam enam pagi, datanglah kemari dan panggil aku dua kali. ‘Tuan Badii, Tuan Badii’. Jika aku menjawab, bantu aku keluar dari galian lubang itu. Ambillah sejumlah besar uang di mobil. Jika aku tak menjawab, timbun aku dengan tanah, lalu pergi dan bawalah uang di mobil.”
Pemuda itu jelas menolak, dan memahami maksud sang tokoh utama. Bagi kebanyakan orang, siapa yang tidak begidik membantu kematian seseorang?
Bagi saya, mulanya film ini membosankan. Isinya hanya orang bercakap-cakap di mobil, lalu hanya pemandangan kegersangan bukit. Tidak seperti film-film yang detil dan mendeskripsikan banyak hal kepada penontonnya, seperti film-film Hollywood barangkali. Bahkan, mengapa Tuan Badii gelisah sampai ingin bunuh diri tidak dijelaskan.
Selanjutnya ia bertemu dengan pria anggota seminari dari Afghanistan. Barangkali yang dimaksud seminari di sini adalah semacam madrasah untuk belajar agama Islam, dan yang dimaksud dalam film ini adalah Islam Syiah. Pria ini memilih merantau belajar ke Iran karena negerinya berkecamuk perang. Orang ini juga ditawari pekerjaan oleh Badii.
“Tugas berdakwah agama bisa dilakukan nanti-nanti karena usiamu masih muda. Tapi sekarang aku tak butuh ceramahmu. Aku hanya butuh tanganmu. Dengan imanmu yang teguh, kurasa kau pantas melakukan pekerjaan ini.”
Pria itu bertanya-tanya apa yang mesti dilakukannya. Badii melanjutkan,
“Keputusanku jelas melawan keyakinanmu. Tuhan memberi kita nyawa, dan mengambilnya lagi jika waktunya tiba. Tapi akan tiba suatu masa manusia tak bisa menunggu, dan ia mengambil keputusan sendiri. Melakukan bunuh diri. Bunuh diri adalah sebuah kata di kamus, dan kata dicipta untuk bisa dilakukan.”
“Manusialah yang melakukan kata itu. Meskipun aku jelaskan mengapa, itu tidak akan membantumu untuk lebih mengerti dan aku pun tak bisa mengatakannya. Bukan karena kau tak mengerti. Tapi karena kau tak akan merasakan apa yang kurasakan.”
Penjelasan panjang lebar itu ditimpali oleh sang anggota seminari, dengan sedikit khotbah,
“Tapi bunuh diri itu dilarang, menurut hadis, dua belas imam kita, dan Alquran.”
Badii menimpal, ”Bukankah Tuhan Maha Besar? Bahkan karena ke-Maha Besarannya Dia tak akan memaksa kita untuk tetap memilih hidup.”
Percakapan ini tidak menemui kata sepakat. Dan tentu saja, pria Afghanistan itu menolak dan enggan membuat masalah gara-gara membantu bunuh diri, yang juga diyakininya bertentangan dengan perintah agama.
Resah tak berujung, seorang pria tua akhirnya menumpang dengan Badii. Badii menawarinya pekerjaan yang sama dengan orang-orang sebelumnya. Pria itu, ternyata menerimanya.
Tapi ia berkisah sepanjang jalan. Pria tua, yang nantinya akan kita ketahui bernama Tuan Bagheri, berkisah pada Badii bahwa dulu ia juga pernah memutuskan ingin mengakhiri hidup.
Ia menceritakan pergi ke sebuah kebun. Rencana bunuh diri itu sudah ia siapkan. Tapi tak tahu mengapa ia keliru menyimpul talinya. Pohon yang sedari tadi ia tuju untuk bunuh diri, ternyata adalah sebuah pohon murbei. Buah berjatuhan karena pohonnya digoyang, dan ia merasakan rasa manisnya. Kemudian ia berpikir untuk pulang, dan membawa buah-buah tadi dengan berusaha berbahagia.
“Setiap orang punya masalah. Tapi jika manusia memilih jalan bunuh diri ini untuk setiap masalah, maka tak akan ada manusia tersisa di bumi ini. Bayangkan, tiada sama sekali!”
“Hidup seperti kereta api, yang harus tetap berjalan. Dan suatu waktu akan mencapai pemberhentian, yaitu kematian. Mati memang solusi, tapi bukan di masa mudamu ini.”
Saya beberapa kali menonton film ini. Ada anasir dan pemaknaan baru yang kerap muncul ketika menontonnya kembali. Tentang keberanian memilih mati, tentang bagaimana nasehat agama bisa tampak tak berguna bagi orang yang sudah kepalang gelisah, dan yang paling utama, bagaimana perhatian dan penghargaan kepada orang lain, bisa mengurangi rasa frustasi untuk memilih mati.
Sekali lagi, film ini mungkin berkesan terlalu serius, datar malahan. Tapi bagaimana Abbas Kiarostami menautkan suasana bukit yang gersang, kesepian, dan percakapan natural lagi bernas, adalah sebuah kekuatan yang bisa begitu menyentuh.
A.S. Laksana, salah seorang penulis ternama di Indonesia, pernah mengutip pernyataan Abbas Kiarostami tentang ketidakjelasan hal yang terjadi pada Badii dalam film ini, dan untuk apa.
“Itu cara saya mendekatkan diri kepada penonton. Setiap orang memiliki masalah, dan penonton akan menduga-duga masalahnya sesuai dengan latar belakang dan masalah yang dihadapi pemeran utamanya.” Film Abbas Kiarostami ini, menurut A.S Laksana, adalah puisi. Dan tidak semua orang bisa segera memahami puisi.
Barangkali, menonton film Taste of Cherry ini bisa memberi inspirasi tentang adanya hal-hal indah yang harus dinikmati esok hari sebagai alasan tetap hidup. Memilih mati berarti setidaknya mengabaikan indahnya kehidupan ini.
“Apakah kau kehilangan segala harapan? Pernahkah kau lihat langit cerah ketika terbangun di pagi hari? Kala fajar, tidakkah kau ingin melihat matahari terbit? Pendar jingga dan merah matahari terbenam, akankah ingin kau lewatkan?”
“Pernahkah kau lihat bulan, tidakkah kau ingin lihat juga bintang-bintang? Bulan yang menerangi malam, tidakkah kau ingin melihatnya lagi?”
“Tidakkah kau ingin kembali minum dari mata air yang sejuk? Atau mencuci mukamu dengan air itu? Kau ingin melewatkan semua nikmat tadi? Apakah kau ingin mengabaikan manisnya rasa ceri?”