Di sebuah dinding rumah yang kusam di sekitaran Prawirotaman Yogyakarta, tertempel wajah Gus Dur dengan rupa layaknya seorang anak punk, memakai topi dan kemeja hitam-putih dengan motif bunga.
Mural itu dilukis pada rumah yang sepertinya tidak lagi berpenghuni. Di depan mural Gus Dur, berjejer kabel-kabel penghantar aliran listrik yang semberawut, seperti semberawutnya negeri ini.
Pada topi yang Gus Dur kenakan terdapat kalimat, “Bring Back Peace”, kembalikan kedamaian. Bukan hanya di sebuah rumah di Prawirotaman, mural tersebut tersebar di berbagai sudut jalan kota Yogyakarta bersama dengan karya-karya “Anti-Tank” a.k.a. “Andrew Lumban Gaol” lainnya. “Anti-Tank Project” tidak asing bagi orang yang menetap di Yogyakarta, seniman street visual art itu dapat dijumpai di mana-mana di sudut kota ini.
Anti-Tank menyebarkan selebaran-selebaran di jalanan, puisi agitatif, penanda zine, komik, poster kolase, hingga poster fotokopian. Tema-tema yang ia angkat tidak main-main. Mulai dari poster-poster protes mahasiswa Paris 1968 yang hingga kini masih menjadi rujukan, desain poster konstruktivisme Uni Sviet, cukilan Swoon, sarkasme Bansky, kolase Gee Vaucher, poster Shepard Fairey, Barbara Kruger, kekuatan lirik Herry Sutresna (Ucok Homicide), hingga poster Munir bertanda “Menolak Lupa” yang marak sebelum tahun 2010 hingga hari ini.
Semua karya jalanan itu ditujukan sesuai dengan namanya, Anti-Tank, peluru kendali yang dirancang untuk menghancurkan tank-tank angkuh dan kendaraan lapis baja pemerintahan.
Pemerintah menjejali dan menutup sejarah-sejarah tertentu dengan berbagai media, mengalihkan isu yang seharusnya diangkat dengan tayangan media-media televisi dan berita-berita di koran dan internet; dan begitu pula Anti-Tank melawan dengan media seni yang lebih kuat: visual. Gampang dibaca dan tak membutuhkan waktu lama untuk mencerna setiap mural yang berjejer di tembok-tembok kumuh pinggir jalan.
Di antara visual-visual pemberontakan global, Anti-Tank juga menggarap visual yang ditujukan pada pemerintah nasional dan lokal Yogyakarta yang kian berorientasi pada pemodal besar dalam “Yogya kian istimewa hotelnya!” atau “Daulat tani tanpa penggusuran.”
Begitu pula dengan mural-mural yang berusaha memperolok sikap bebal organisasi-organisasi keagamaan tertentu yang sering memancing kebencian dan kekerasan, baik itu berupa senitmen anti asing yang selalu dikaitkan dengan China, Komunis, dan Liberal yang semakin absurd.
Mural-mural tersebut seakan mengatakan bahwa agama kini mencapai titik paling memalukan ketika digunakan sebegitu serampangan untuk menuduh pihak-pihak yang tidak sesuai dengan sikap ormas-ormas keagamaan tersebut.
Wajah Gus Dur berada di antara Munir, Ucok dan protes mahasiswa Paris. Ia ditempatkan sebagai suatu kritik yang sepertinya mengarah baik kepada perilaku keagamaan dan kenegaraan kita.
Betapa Gus Dur mewakili bukan hanya Nahdliyin di mana beliau berakar dan tumbuh, melainkan juga oleh orang-orang jalanan yang tak tahu-menahu tentang agama. Tapi memang, NU waktu itu, waktu dipimpin Gus Dur, adalah simbol perjuangan masyarakat marjinal, yang gigih menuntut keadilan sosial. Di sinilah Muhammad Sobary mengatakan bahwa moralitas Gus Dur adalah kaum pinggiran. Karena istikamah memperjuangkan orang-orang yang dipinggirkan.
Hanya Gus Dur yang mewakili wajah positif presiden negara ini. Anti-Tank seakan keluar dari garis demarkasinya yang selalu melawan pemerintah. Sebab Gus Dur juga pernah menjadi elite pemerintahan. Namun wajah beliau begitu berbeda jika dibandingkan dengan Soeharto atau Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi target visual Anti-Tank.
Dalam banyak hal, kita memiliki imajinasi yang sama dengan Anti-Tank dan seniman punk jalanan lainnya, meski pada aplikasinya mereka menjalankan seni yang “lebih kusam” dengan warna dan garis yang mencolok. Tapi sejatinya kita memiliki kesamaan tujuan, menciptakan kesejahteraan dan keadilan.
Sebuah jurang telah ditinggalkan Gus Dur dalam hati setiap orang, bukan hanya pada orang-orang yang berorientasi agama, melainkan juga mereka yang dalam kesehariannya hidup di jalanan. (Baca: Gus Dur yang Slengean)
Saya kira, kita mungkin akan sangat susah menunggu kehadiran sosok seperti Gus Dur yang dipuja oleh seluruh lapisan masyarakat. Beliau menjadi simbol harmonisasi sekaligus simbol perlawanan,menjadi simbol agama sekaligus pluralitas. Wajahnya dipajang di pesantren-pesantren, di rumah orang-orang yang ketat dalam beragama, bahkan sampai di jalan-jalan kumuh.
Begitulah Gus Dur dikenang di kota ini, kota yang kian hari kian sesak oleh pembangunan, banyak sejarah yang dilupakan, sejalan dengan banyaknya orang-orang terpelajar di kota ini yang semakin tidak memedulikan keadaan di jalanan. Apa yang tersisa hanyalah suara-suara dari mural yang kadang terlihat lebih estetis, kadang pula tidak dihiraukan oleh orang kebanyakan.
Setiap melewati rumah kumuh di Prawirotaman atau di sudut-sudut kecil kota ini, perkenankan saya memanjatkan doa, agar Panjenengan, meski pun telah berangkat mendahului kami, biarlah tetap menjadi simbol yang menyatukan kami, dari hulu sampai hilir, dari gedung-gedung parlemen hingga jalan-jalan kumuh negeri ini. (Baca: Gus Dur dan Kiai Unta)