Sedang Membaca
Imam Lapeo, Penghalau Badai dari Mandar
Muhammad Aswar
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mukim di Yogyakarta.

Imam Lapeo, Penghalau Badai dari Mandar

Mandar, suku yang dianugerahi perahu Sandeq, perahu tercepat di dunia, sekaligus mewarisi laut mahaluas, menggantungkan hidupnya pada alam. Berteman dengan ombak, menikmati malam-malam panjang dari dinginnya angin laut.

Diceritakan, setiap mereka bertemu badai, atau mengalami suatu musibah dari laut, mereka akan segera mengingat dan menyebut nama Imam Lapeo. Diyakini, nama itulah yang kemudian akan menyelamatkan mereka. Hingga kini, masyarakat Mandar, yang kebanyakan mendiami pulau-pulau luar di Nusantara, masih terus berlaut, menggantungkan hidup mereka pada nama sang Imam.

Annangguru (sebutan kiai di masyarakat Mandar) Imam Lapeo, atau KH Muhammad Thahir, yang nasab keluarganya masih bersambung sampai Maulana Malik Ibrahim, tidak sekadar seorang ulama yang membimbing suku Mandar dalam kehidupan beragama, tetapi juga telah menjadi sosok yang dianut melebihi seorang Kiai.

Beliau dilahirkan pada 1838 Masehi di Pambusuang, Mandar, ketika raja Balanipa ke-41 tengah berkuasa. Beliau lahir dari keluarga ulama, H. Muhammad bin Abdul Karim bin Aba Talha dan Siti Rajiah. Ayahnya adalah seorang haji, yang di masa itu, seorang haji tentu adalah seorang ulama terkemuka serta cerdik pandai.

Di tengah masyarakat Mandar dengan mobilitas tinggi pada jalur laut, Imam Lapeo, yang masa kecilnya bernama Junaihim Namli, memiliki kesempatan untuk mengunjungi daerah-daerah di seberang laut, berguru kepada beberapa ulama terkemuka di masanya.

Sebelum melakukan pengembaraan, Imam Lapeo terlebih dahulu telah menerima pengajaran agama dari kedua orangtuanya, serta kakek beliau sendiri, Abdul Karim yang terkenal sebagai penghafal Alquran.

Baca juga:  Kang Jalal Telah Pergi

Pelayaran pertama beliau lakukan di umur 15 tahun menemani pamannya, Haji Bukhari, ke Padang untuk berjualan kain sutra. Kelak, ketika dewasa, sang Imam akan kembali ke daerah ini untuk menuntut ilmu. Di umur 16 tahun, beliau memilih untuk berangkat ke Parepare, salah satu kota pelabuhan yang banyak disinggahi para ulama dari berbagai daerah.

Dari Parepare, beliau berangkat ke pulau Salemo di Pangkep. Pulau Salemo, di masa itu merupakan pulau kecil yang didiami oleh para ulama yang pernah belajar kepada Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur. Selama beberapa tahun beliau memperdalam penguasaan Bahasa Arab, lalu berangkat ke Padang.

Dari Padang, beliau terus melanjutkan perjalanan ke Aceh, Srilanka, Yaman, hingga akhirnya tiba di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Sesuai dengan tradisi para haji di masa itu, Imam Lapeo tidak lupa mengunjungi dan belajar kepada ulama di negara yang disinggahi.

Sepulang dari pelayaran jauh, sang Imam lalu dijadikan murid oleh Habib Sayyid Alwy bin Abdillah bin Sahl Jamalullail, keluarga Alawiyyin yang mendiami Mandar. Bagi orang Mandar, keluarga itu sering disebut Puang Sayyid. Keturunan Habib Alwy hingga sekarang masih mendiami Mandar. Di bawah bimbingan sang Habib, Imam Lapeo mewarisi sanad ilmu pengetahuan serta tarekat Syadziliyah.

Baca juga:  Saya Tak Mau Jadi Guru seperti Bapakku

Habib Alwy merupakan guru yang paling berpengaruh dalam hidup Imam. Di umur 27 tahun, setelah pulang dari haji, sang Imam dinikahkan oleh Habib Alwy dengan Siti Rugayah. Dari pernikahan itu pula, nama sang Imam yang sebelumnya, Muhammad Thahir, diganti oleh Habib Alwy menjadi Imam Lapeo. Lapeo sendiri adalah nama sebuah desa yang sengaja diberikan kepada sang Imam sebagai tempat pertama untuk memulai pengajaran.

Desa Lapeo hanyalah desa pertama tempat beliau berdakwah, sebelum akhirnya melakukan dakwah besar-besaran di bagian barat Sulawesi itu. Setidaknya beliau telah merampungkan pendirian 17 masjid di sekitaran daerah yang membentang sepanjang laut Sulawesi. Sebuah pencapaian yang luar biasa.

Sampai sekarang, belum ada referensi yang menyebutkan bahwa Imam Lapeo pernah menulis buku. Bisa jadi karena mobilitas beliau yang terlalu tinggi dengan terus-menerus berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Namun, sebagaimana pengakuan keturunan beliau, Syarifuddin Muhsin, setidaknya ada 74 keramat yang pernah disaksikan oleh orang-orang di sekitar Imam Lapeo.

Kelebihan Imam Lapeo tidak hanya dalam hal itu, tetapi juga dari segi pengajaran. Sebagaimana yang pernah dilakukan Sunan Kalijaga, Imam Lapeo juga melakukan reformasi kebudayaan dengan mengawinkan tradisi Mandar dan Islam. Di bidang pendidikan, beliau secara terus-menerus melahirkan ulama-ulama terkemuka hingga hari ini.

Baca juga:  Selamat Jalan Dokter Fauzi, “Laskar Jihad Muhammadiyah”

Imam Lapeo wafat di usia 114 tahun, pada 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang masuk dalam wilayah Kec. Campalagiang, Kab. Polewali). Di sekitaran makam beliau, telah berdiri sebuah pondok pesantren, salah satu pondok pesantren salaf yang ada di Sulawesi, dengan model pengajaran sebagaimana pesantren-pesantren salaf di Jawa. Secara nasab, beliau memiliki banyak keturunan dari enam istri beliau, yang hingga hari ini terus menjadi ulama terkemuka di Mandar.

Di luar itu, tentu, sebuah kedermawanan khusus Imam Lapeo kepada masyarakat Mandar, masyarakat yang hidup di laut, dengan menjadikan nama Imam Lapeo sebagai azimat, yang mereka ucapkan untuk meredam ganasnya badai di laut yang maha luas.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top