Sedang Membaca
Pendeta Yahudi yang Hidup di Zaman Nabi
Avatar
Penulis Kolom

Pegiat Organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa

Pendeta Yahudi yang Hidup di Zaman Nabi

Sejarah Islam

Di zaman kenabian Muhammad, tersebutlah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, seorang pendeta Yahudi, Said bin Sa’nah yang berhasil mengecoh kesabaran Umar bin Khattab hingga membuatnya jengkel dan naik pitam kepadanya.

Pendeta yang dikenal jenius itu tiba-tiba menagih utang dengan cara-cara kasar kepada Rasulullah yang tengah didampingi Umar, hingga sahabat Nabi itu pun menghardiknya, “Kenapa kau bersikap seperti itu? Kalau bukan karena rasa hormatku di hadapan Rasulullah, pasti sudah kutebas batang lehermu dengan pedangku!”

Beberapa saat kemudian, Rasul memberikan keterangan kepada Umar perihal utang-piutang tersebut. Bahwa beliau memang pernah ditawarkan utang oleh Said bin Sa’nah, untuk memberikan bantuan pangan kepada salah satu penduduk pedalaman Arab (Baduy) yang mengalami paceklik dan kemarau selama beberapa bulan. Ali bin Abi Thalib mengkhawatirkan mereka kembali ke jalan syirik (ajaran nenek-moyang) apabila keislaman mereka tidak menjamin kecukupan pangan buat kehidupan keluarga mereka. “Mereka menyatakan diri masuk Islam, karena mendengar pernyataan Rasulullah, bahwa di dalam Islam ada jaminan rizki, kecukupan, atas pertolongan Allah,” kata Saydina Ali.

Melihat persediaan pangan di gudang Baitul-Mal sangat menipis, Rasulullah tidak menolak tawaran pinjaman dari pendeta Yahudi yang telah mengendus suasana memprihatinkan tersebut. Terkait dengan ini, Rasul menandatangani kesepakatan agar utang-piutang itu dicatat atasnama dirinya, dan bukan atasnama kepala suku dari penduduk Baduy tersebut.

Seketika bantuan dikirimkan, dan para penduduk merasa bersyukur atas pertolongan dan kasih sayang Allah yang dilimpahkan bagi kebutuhan hidup mereka.

Baca juga:  Sejarah Diturunkannya Syari’at (3): Peranan Sahabat Nabi terhadap Syariat Islam

“Karena itu, Wahai Umar,” tegur Rasulullah, “Bukanlah etika yang baik bila kita bersikap marah kepada pihak yang berpiutang untuk kita. Yang benar adalah, kita harus bersikap santun bila ditagih utang, dan pihak yang berpiutang juga harus menagih utang dengan cara-cara yang baik.”

Hingga saatnya tiba, Rasulullah mengutus Umar dan beberapa sahabat untuk mengirimkan pembayaran utang yang sebetulnya masih belum jatuh tempo tersebut. Rasul menambahkan sebanyak 20 Sha’ (1 Sha’ sama dengan 3 liter lebih) untuk meredam amarah dari pihak yang berpiutang. Sampai kemudian Said bin Sa’nah bertanya, “Untuk apakah yang 20 Sha’ ini, wahai Umar?”

“Salam dari Rasulullah bahwa beliau menambahkan 20 Sha’ agar Tuan tidak marah lagi.”

Seketika itu, Said bin Sa’nah menjelaskan pada Umar bin Khattab tentang siapakah dirinya. Pendeta Yahudi itu sudah lama menyelidiki seluk-beluk tentang sosok Nabi akhir zaman yang diberitakan dalam Kitab Taurat. Selama ini, ia sudah banyak memperoleh pembuktian mengenai kebenaran Muhammad. Tinggal satu hal yang ingin dibuktikannya mengenai keagungan akhlak dan kesabaran beliau (akhlaqul-adzimah).

Bagaimanakah seorang Muhammad sanggup menyikapi amarah dan kedengkian dengan cara-cara sabar dan santun, seperti yang telah ditunjukkan beliau di hadapan pendeta itu.

“Oleh karena itu, Wahai Umar, saat ini juga saya akan bersaksi di hadapan Muhammad dan Anda sebagai sahabatnya, bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad benar-benar seorang Rasulullah!”

Baca juga:  Al-Mu’allaqat; Saksi Bisu Pertemuan Sastra Jahiliyah dan Al-Qur’an

Terkait dengan peristiwa tersebut, terdapat pula kisah menarik yang dialami oleh Imam Syafii, yang suatu kali diprovokasi oleh seseorang yang membenci dan tak menyukai dirinya. Imam Syafii paham mengenai sikap-sikap politis orang yang berseberangan paham dengan dirinya. Dalam hidup ini, bagi Imam Syafii, tak mungkin kita menjangkau kesepakatan semua orang agar memihak dan mendukung apa-apa yang menjadi pijakan hidup kita.

“Siapapun kita, sebaik dan sesoleh apapun kita, mesti akan menghadapi pihak-pihak yang mendukung ide dan gagasan kita, dan sebaliknya, mesti akan ada pihak lain yang menentang dan memusuhi kita,” ujar Imam Syafii.

Pada suatu hari, ada seseorang (sebut saja Fulan) yang selalu mengintip dan membuntuti Imam Syafii ke mana pun ia pergi. Orang itu berusaha keras untuk mencari-cari kelemahan dan kesalahan sekecil apapun yang diperbuat Imam Syafii. Akhirnya, si Fulan melihat dari kejauhan, ketika Imam Syafii memasuki sebuah kedai tukang jahit di sebuah pasar yang ramai pengunjung. Ia minta dibuatkan baju berlengan panjang, kemudian diukur sesuai dengan pesanan, dan keesokan harinya ia diminta datang untuk mengambil baju yang dipesannya tersebut.

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh si Fulan untuk menyuap dan mengompori tukang jahit, agar membuatkan baju Imam Syafii, dengan lengan yang panjang sebelah. Tukang jahit itu menyepakati usulan Fulan, sehingga baju tersebut sengaja didesain ulang dengan lengan kanan yang lebih pendek ketimbang lengan kiri.

Baca juga:  Islam Politik di Indonesia: Persepsi, Aksi, dan Reaksi

Maka, datanglah Imam Syafii sesuai waktu yang telah dijanjikan. Ketika baju baru itu dikenakannya, si tukang jahit berharap agar Imam Syafii merasa jengkel dan marah lantaran ulahnya yang jahil itu. Akan tetapi, dugaan itu ternyata meleset. Imam Syafii justru menyatakan terimakasih dengan baju baru yang dikenakannya itu. Ia hanya menanggapinya dengan senyum simpul, sambil mengucapkan beberapa patah kata yang membuat si tukang jahit justru merasa heran dan terbengong-bengong.

“Apa yang dia katakan tadi? Kenapa dia senyam-senyum?” seru Fulan ketika Imam Syafii sudah pamit dari kedai tukang jahit itu.

“Dia justru merasa senang dengan baju yang lengannya panjang sebelah,” kata si tukang jahit.

“Lho? Kok bisa begitu?” tanya Fulan jengkel.

“Karena, sejak dulu justru dia berharap punya baju yang lengan kirinya panjang tetapi lengan kananya agak pendek. Jadi, ketika dia menulis buku, dia tak perlu menggulung lengan kanannya lagi.”

“Emang kenapa? Apa hubungannya dengan menulis buku?”

“Sebab baju lengan kanannya sering menjorok di atas kertas sehingga menyentuh tinta pada saat dia menulis. Karena itu, dia selalu menggulung lengan kanannya hingga pendek, agar bajunya tak ternodai oleh tinta yang digoreskan di atas kertas.”

“Berarti dia tidak marah dengan lengan kanan yang lebih pendek dari lengan kiri?”

“Justru dia bersyukur dan berterimakasih…”

“Adduh, biyuuung!”

Si Fulan pun meninggalkan tukang jahit, sambil garuk-garuk kepala seraya menggerot-gerotkan giginya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top