Sedang Membaca
Secuil Kisah Keluarga Beda Generasi
Mastuki HS
Penulis Kolom

Dosen Islam Nusantara di UNUSIA Jakarta, Pengurus Pusat LPTNU, dan Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kemenag RI. Menyelesaikan Program Doktor (Strata-3) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1997-2007) bidang Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Menulis di jurnal dan beberapa buku, antara lain, "Kebangkitan Santri Cendekia: Jejak Historis, Basis Sosial dan Persebarannya" (Jakarta: Compass Pustaka, 2016)

Secuil Kisah Keluarga Beda Generasi

Germany Health Virus Education

Catatan saya ini memang kisah keluarga, namun saya sharing ke khalayak luas dengan harapan ada hikmah yang bisa diambil bersama. Semoga.

Pagi itu, anak lanang saya, sebut saja NZ, tengah asyik di depan laptop kesayangannya. Layarnya terbuka, entah berselancar apa. Headset yang menempel di telinganya sejak awal terhubung dengan rekan kerjanya yang entah ada di mana. Percakapan dimulai dan terdengar sedang rapat #onlinemeeting.

Sesekali terdengar tawa, pertanyaan serius, dan kadang seperti instruksi, gonta-ganti berselang. Ponsel di tangan kirinya sedang bekerja, menandakan multi-tasking-nya jalan. Belum lagi diselingi musik atau cemilan di sebelah laptopnya–catatan ini ditulis sebelum Ramadan tiba. Aktivitas anak langan betul-betul mencirikan anak milenial, sangat berbeda dengan saya yang “generasi kolonial”.

Anak lanang itu sedang kerja dari rumah #WFH. Sudah beberapa kali ia bekerja seperti itu, dalam sebulan 1-2 hari boleh bekerja dari rumah. Istilahnya remote work. Jadi, ketika kebijakan pemerintah untuk WFH dan social distancing, anak-anak milenial yang kerja di berbagai platform digital tak terlalu risau, karena sudah terbiasa dan sudah mengalami work from home. Dari rumah, sembari nyantai sambil ngemil, ngopi atau rebahan pun tetap bisa menyelesaikan tugas atau target kerja.

Lain halnya dengan pekerja kantoran, guru, dosen, pekerja informal, atau PNS yang gagap ketika disuruh kerja dari rumah. Bagaimana caranya? Apa yang harus dikerjakan? Nanti laporannya? Absennya bagaimana?

Baca juga:  Ihwal Ditinggal Istri: dari HB Jassin, Dawam Rahardjo hingga Opick

Sampai sekarang banyak kawan saya yang bingung menerapkan WFH secara efektif, apalagi menyangkut staf atau karyawan yang memiliki kebiasaan kerja tak terstandar. Lingkungan kerja, kultur kerja, motivasi, dan tugas-fungsi (tusi) yang khas kantoran, misalnya di pemerintahan, tak mudah diadaptasi melalui kerja dari rumah.

Program dan lingkup pekerjaan, anggaran yang terdistribusi di unit, kepemimpinan kolegialitas yang parsial, spesifikasi dan tanggung jawab pekerjaan pada orang per orang, ditambah aturan birokrasi atas-bawah yang masih melekat, menjadi kendala tersendiri untuk menyelesaikan semua pekerjaan sesuai target. Belum lagi realisasi program dan anggaran yang tersentralisasi atau tergantung pada sasaran (antar lembaga/instansi, atau untuk kepentingan publik). Itu khas banget di birokrasi kita.

Solusi instannya, kini banyak pekerja tadi yang rame-rame menggunakan platform digital “setengah hati” untuk berkordinasi, berkomunikasi, dan konsolidasi dengan rekan kerja atau mitranya. Yang ngetren dan jadi fenomena baru penerapan WFH adalah rapat dengan menggunakan fasilitas Zoom Meeting atau platform lainnya. Kenapa setengah hati?

Karena tak ada cara alternatif dan tak tahu caranya. Pokoknya ikutan dan coba-coba-salah (trial and error). Mereka belum terbiasa dengan model “kerja dari rumah”, yang sejak awal tahun lalu baru mulai akan diterapkan di beberapa instansi pemerintahan.

Baca juga:  Sufi, Tafsir Mimpi, dan Imaginasi (3)

Nah, sekarang ketika belum siap semua aturan, regulasi dan perangkatnya, dipaksa oleh corona untuk menerapkan kerja dari rumah itu. Ya sudah, sebagian besar kaget dan tak ada arahan untuk melaksanakan kerja seperti itu. Apakah ini blessing in disguise??

Mari perhatikan contoh keluarga ini. Di samping anak lanang NZ tadi, adik perempuannya sedang mengerjakan tugas kuliah online dari dosennya. Dia pantengin laptop sambil utak-atik HP. Sesekali chattingan dengan teman sekelas-maya-nya. Searching via browser atau Google terjemahan bahasa Inggris. Mencari jawab juga bertanya ke mbah Google, padahal headset-nya mendengarkan lagu-lagu terkini.

Dan ini: sambil mengerjakan tugas kok ya sempet-sempetnya main tik-tok, berias atau kutek (mewarnai kukunya). Hadeeuh… ortunya yang melihat geleng-geleng, kepala tidak mengerti polah-tingkah generasi Z dalam belajar atau mengerjakan tugas. Betul-betul berbeda, kami para orangtuanya lahir di abad 20, sementara mereka belajar jalan di milenium yang sudah berganti: abad 21.

Di ruangan lain, ibunya yang dosen juga berjibaku mempersiapkan tugas kuliah. Ia akan merancang kelas daring dengan fasilitas hangout atau Google Meeting yang ia pelajari dengan banyak bertanya kepada anak lanangnya. Bahan paparan siap, tapi –seperti kebanyakan generasi baby boomers yang gaptek– tak tahu mengoperasikan kelas mayanyanya. Untung ada instruktur, si anak lanang itu, yang sigap membantu ibunya sembari cengar-cengir, mungkin geli melihat tingkah-laku ortunya yang gagap soal (yang menurut pikirannya) sepele itu.

Baca juga:  Nalar Publik, Pandemi Corona, dan Kehidupan Masyarakat Sipil Indonesia

Tak kalah heboh, saya, ayahnya sedang ikut Zoom Meeting yang dimoderatori oleh salah satu koleganya. Sejam sebelumnya, saya menerima inviting untuk Join Cloud HD Video Meeting. Ada agenda penting di kantornya yang harus segera dibahas dan diputuskan. Memakai HP dan laptop, saya bolak-balik gagal to join; sudah terkoneksi tapi tak ada suaranya; sudah ada suaranya tak tahu cara mengaktifkan videonya; sudah join tapi suaranya berisik karena mute dan unmute-nya masih aktif. Dan sebagainya, tanda kegagapan lain yang tak ditampakkan. Meski demikian, saya jumawa, menunjukkan kebanggaan bisa Join Zoom Meeting di hadapan anak-anaknya (tak tau kalau anaknya barangkali sebel karena bawel dan berisik…).

Alih-alih menikmati waktu berkumpul dengan keluarga, WFH di weekday adalah pertontonan berbagai aktivitas yang beralih di rumah. Aktivitas yang sebelumnya tak-saling-diketahui oleh anggota keluarga (kecuali kalau pas cerita/curhat apa yang dialami di tempat masing-masing), dengan #diRumahAja semua jadi saling-tahu. Transparan. Menyenangkan sih, karena satu rumah bisa saling belajar dan melengkapi. Mengkritik dan mendukung. Memberi dan menerima.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top