Sedang Membaca
Di Rumah, Kami Belajar Bersama Sebuah Arti Kemaslahatan Bersama
Mastuki HS
Penulis Kolom

Dosen Islam Nusantara di UNUSIA Jakarta, Pengurus Pusat LPTNU, dan Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kemenag RI. Menyelesaikan Program Doktor (Strata-3) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1997-2007) bidang Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Menulis di jurnal dan beberapa buku, antara lain, "Kebangkitan Santri Cendekia: Jejak Historis, Basis Sosial dan Persebarannya" (Jakarta: Compass Pustaka, 2016)

Di Rumah, Kami Belajar Bersama Sebuah Arti Kemaslahatan Bersama

1 A Amastuki

Seminggu sebelum Ramadan, di satu siang bakda salat Zuhur berjemaah dengan keluarga, saya berinisiatif mengadakan ta’lim mengisi istirahat siang.

Setelah sepagian hingga pukul 12.00 anggota keluarga sibuk dengan pekerjaan masing-masing di rumah, giliran santapan ruhani mendahului santapan jasmani. Hitung-hitung memanfaatkan waktu longgar #WFH dan berkumpulnya keluarga #diRumahAja, selain mengurangi kejenuhan akibat hampir sebulan tak keluar rumah.

“Bosen Yah, sehari-hari acaranya dari kamar tidur ke kamar mandi, ke meja belajar, terus makan. Gitu melulu,” protes si bungsu. 

 

Ta’lim atau taklim (istilah ini saya gunakan dengan pengertian “belajar agama”) perdana mengupas manfaat wudu dilihat dari perspektif medis dan kesehatan tubuh. Tak lama, sekitar 30 menit. Menggunakan laptop dan paparan powerpoint yang dibuat jauh dari profesional, mengandalkan kata-kata bukan ilustrasi –khas banget generasi baby boomers—saya meminta anak lanang dan anak wedok membacakan paparan secara bergantian. Kemudian saya jelaskan beberapa hal penting secara singkat. Niatnya melibatkan mereka yang sudah remaja. Biar tak terkesan menggurui. Karena anak muda kalau diceramahi thok, bisa-bisa boring. Alih-alih mendengarkan ceramah, malah gatal pengen memegang ponsel pintarnya. 

 

Presentasi singkat, penjelasan ringkas, diskusi sekedarnya. Ta’lim selesai. Bersambung besok siang lagi. Bergantian paparan, semua anggota keluarga mendapat giliran mengisi jadwal ta’lim. Biar singkat asal istikamah, apalagi kalau dilanjutkan Ramadan. Itulah harapan saya. 

 

Tak bisa dipungkiri, selama WFH berlangsung, saya dan keluarga berusaha melawan kebosanan. Strateginya dengan cara mengisi kegiatan yang bervariasi, terutama saat weekday. Selain menyelesaikan tugas kantor, di sela-sela waktu kami selingi olahraga ringan, memasak, bersih-bersih rumah, menata perabotan, membaca buku, qiro’atul Qur’an, atau belajar hal-hal baru. Sesekali keluar rumah untuk keperluan yang mendesak, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan: pakai masker, membawa hand sanitizer, jaga jarak fisik dengan orang lain, dan menghindari kerumunan. 

Baca juga:  Islam, Merry Christmas, dan Tahun Baru

 

Kebiasaan beraktivitas di luar dan nafsu keluar rumah sebenarnya tak terbendung. Anak wedok yang memang suka nge-mall beberapa kali mengeluh ingin pergi ke mal. Tapi keselamatan banyak orang harus menjadi prioritas ketimbang kepentingan dan egoisme pribadi. Ini sikap mental yang harus dibangun dari keluarga, untuk melawan penyebaran virus Covid-19 yang tak terkendali. Itulah kenapa pemerintah sejak awal menganjurkan agar bekerja, belajar, dan beribadah di atau dari rumah. Anjuran ini diamini banyak pejabat, pimpinan daerah, tokoh agama, pimpinan DPR, MPR, tokoh masyarakat, selebriti dan artis. 

 

Dalam konteks keagamaan, fatwa MUI yang melarang sementara pelaksanaan salat  Jumat dan salat berjemaah lima waktu sudah sangat proporsional dan sesuai dengan misi Islam. Menyelamatkan nyawa manusia (hifd al-nafs) adalah satu di antara adh-dharuriyat al-khamsah yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam melebihi aktivitas lain yang bisa ditunda. Fatwa tersebut bukan melarang orang untuk shalat jemaah atau mengadakan Jum’atan, tetapi memindahkannya ke rumah demi mencegah kemungkinan tersebarnya virus Corona akibat banyak orang berkerumun di tempat ibadah. Dalam kerumunan orang itulah  potensial menjadi area penularan Covid-19 dari orang ke orang. Argumen yang dibangun MUI ini sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan Syaikh Al-Azhar dan beberapa ulama manca negara yang melarang pelaksanaan jemaah Jumat maupun salat rawatib. 

Baca juga:  Kebebasan Manusia dalam Teologi Sunni

 

Bermula dari rumah, sikap keluarga sangat menentukan keberhasilan karantina sosial (istilah lain lockdown) yang diterapkan melalui #stayathome, #jagajarak, atau #diRumahAja, dan sebagainya. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dianjurkan Presiden Jokowi menemukan relevansinya bila masing-masing orang dalam keluarga patuh dan mematuhi anjuran itu. Sekali lagi, kepentingan orang lain mesti didahulukan daripada kepentingan pribadi. Keselamatan warga negara diletakkan di atas egoisme pribadi atau keluarga dan golongan. Pengendalian diri yang dimulai dari anggota keluarga tetap bertahan di rumah meminimalisir sekian banyak kemungkinan penyebaran Covid-19 akibat interaksi fisik. 

 

Covid-19 adalah realitas, bukan imajinasi. Wabah ini sudah membunuh banyak orang, tak peduli siapa. Mau pejabat atau rakyat, mau muslim atau non-muslim, bisa menyerang orang kaya apatah lagi miskin, suku Jawa atawa Sunda, dewasa dan kanak-kanak, orang sepuh atau muda, orang Indonesia atau Arab dan Amrik. Sebagai umat beragama dan warga negara yang baik, cara terbaik adalah mengikuti semua anjuran ulama dan pemerintah yang berwenang termasuk dalam mengambil langkah maksimal dalam mencegah Covid-19: rajin cuci tangan dengan sabun, pakai masker, menyemprot desinfektan, berdiam diri di rumah, bahkan juga tidak shalat Jumat dan tidak shalat berjamaah di masjid, bagi muslim. 

 

Ta’lim bersama di keluarga tadi sebagai wahana edukasi, merelevansikan pentingnya bersuci dalam pandangan agama (wudu) dengan kebiasaan mencuci tangan dan menjaga kebersihan badan dan lingkungan. Di dalam wudu ada usaha lahir dan batin sekaligus. Upaya lahir dengan membersihkan anggota badan yang rawan penyebaran penyakit (tangan, muka –hidung, mulut, mata, telinga, kepala–, dan kaki). Sedangkan usaha batin dengan mendekatkan diri pada Allah: niat dan berdoa selama dan usai wudu. Apalagi diteruskan dengan salat. Lengkap insya Allah. Relevan dengan upaya penanggulangan Covid-19.

Baca juga:  Financial Freedom berbasis Maqashid al-Syari’ah

 

Dampak penyebaran Covid-19 yang berujung pembatasan sosial (isolasi) terutama di Jakarta dan sekitarnya, kerja di rumah memang mengasyikkan sekaligus menyebalkan. Asyik karena tak terburu-buru berangkat kerja pagi hari. Kerja lebih nyantai. Tak bermacet ria di jalanan. Menyebalkan karena waktu WFH terlalu lama. Pemerintah bolak-balik merevisi pengumuman dan edaran dari 1 April, lalu menjadi sampai 21 April, terakhir 13 Mei 2020. Bahkan mudik lebaran terancam gagal. Artinya, berdiam diri di rumah akan makan waktu tiga bulan. 

 

Kita mendukung upaya pemerintah karena mempertimbangkan kegentingan dan meluasnya penyebaran Corona ke berbagai propinsi. Menggunakan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ataukah lockdown seperti berlaku di beberapa negara, tujuannya sama: membatasi pergerakan dan pertemuan orang per orang dalam jumlah banyak agar persebaran virus Corona dapat ditekan. Di samping mengurangi terus bertambahnya jumlah korban yang positif Corona, ODP (Orang Dalam Pemantauan), PDP (Pasien Dalam Pengawasan), suspect (diduga kuat terjangkit Covid-19), dan meninggal dunia. 

 

Saya yakin banyak keluarga yang mematuhi self-quarantine sepenuh hati dan kesadaran. Kawan-kawan di daerah yang berada di zona merah lebih merasakan bagaimana adaptasi berada di rumah dalam jangka waktu lama. Tapi demi keberhasilan penanggulangan pandemi Covid-19, pengorbanan kita di rumah tak ada seberapanya jika dibandingkan dengan saudara-saudara kita di garis terdepan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top