Sedang Membaca
Mengenal Kitab Pesantren (89): Tadzkirotu as-Sami’ wa al-Mutakallim, Kitab Pedoman Belajar-Mengajar
Mustain Romli
Penulis Kolom

Warga NU yang sedang menuntaskan studi (S1) di perguruan tinggi Universitas Nurul Jadid Probolinggo, sekarang sebagai mahasantri aktif di Ma'had Aly Nurul Jadid, paiton, probolinggo dengan konsentrasi fiqh-ushul fiqh.

Mengenal Kitab Pesantren (89): Tadzkirotu as-Sami’ wa al-Mutakallim, Kitab Pedoman Belajar-Mengajar

Tadzkiroh

Di tengah dekadensi moral yang marak terjadi di dunia pendidikan; murid melaporkan sang guru hingga memukulinya; sang guru memarahi hingga menghukum murid dengan hukuman yang tidak bersifat edukatif, kitab Tadzkirotu as-Sami’ wa al-Mutakallim penting untuk dibaca.

Sebuah kitab panduan belajar-mengajarkan ilmu yang benar untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, karena hari ini, penuh dengan carut-marut yang terjadi di lembaga pendidikan, penting sekali untuk menengok kembali prosedur yang benar dalam belajar-mengajarkan ilmu.

Hal itu semua berhasil dijelaskan oleh al-Imam al-Qadli Badruddin Muhammad Bin Ibrahim Bin Sa’dillah Bin Jama’ah Al-Kinani As-Syafi’i di dalam anggitannya yang bertajuk: “تذكرة السامع والمتكلم في أدب العالم والمتعلم” (peringatan bagi para pendengar dan pembicara dalam [menjelaskan] etika orang berilmu dan pencari ilmu).

Imam Ibnu Jama’ah (nama sapaan Imam al-Qadli) memiliki dua alasan dalam pengarangan kitab tersebut, sebagai berikut: 1. Kebanyakan dari orang yang [menganggap dirinya] berilmu malu untuk terus menuntut ilmu karena dirinya sudah merasa tau. Kitab ini hadir untuk mengingatkan tipikal orang yang macak tersebut, agar tahu bagaimana seharusnya orang berilmu itu bersikap. 2. Masih banyak dari para pencari ilmu terkadang tidak tepat dalam mencari ilmu, baik karena niatnya dan tujuannya mencari ilmu atau semacamnya, sehingga mengakibatkan kesia-siaan dalam perjalanan intelektualnya. Kitab ini pun hadir untuk memberi tahu kepada pencari ilmu akan hal-hal yang seharusnya dilakukan. [Tadzkirotu as-Sami’… Hal. 32]

Sekurangnya Imam Ibnu Jama’ah menghimpun 5 bab dalam kitabnya tersebut, antara lain: 1. Tentang keutamaan ilmu dan ahli ilmu, 2. Etika orang berilmu, baik kepada diri sendiri dan etika pencarian ilmu, 3. Etika para pelajar kepada dirinya, interaksi dengan guru dan koleganya, 4. Berinteraksi dengan kitab dan hal-hal yang berkaitan dengan adab terhadap kitabnya, dan 5. Etika berada di majlis ilmu dan hal-hal terkait. [Tadzkirotu as-Sami’… Hal. 33]

Baca juga:  Gus Dur: Koma dan Dua Halaman 

Sekilas kitab ini tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab panduan menuntut ilmu yang lain, seperti kitab ta’lim karangannya Burhanul Islam az-Zaruji, atau akrab disapa dengan Imam az-Zarnuji. Bagaimana kitab ini menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan para ahli ilmu, serta kemuliaannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Sufyan bin ‘Uyainah bahwa tidaklah ada satupun di muka bumi ini diberikan sebuah keutamaan selain pangkat kenabian dan tidaklah satupun setelah pangkat kenabian lebih utama kecuali ilmu dan fiqh. [Tadzkirotu as-Sami’….. Hal. 42]

Nabi dan ulama menjadi dua sosok yang sering disebut bersanding, nabi sudah pasti ulama –dengan makna orang berilmu- sekalipun ulama tidak akan menjadi nabi, karena nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW, namun tak heran bahwa seseorang yang mewarisi ajaran para nabi adalah para ulama, sebagaimana jama’ diketahui dalam hadist.

Termasuk salah satu etika bagi seorang pengajar tak segan-segan berkata “laa adri (saya tidak tahu)” ketika disuguhkan sebuah pertanyaan namun tidak bisa menjawab. Hal itu juga merupakan etika orang yang berilmu, bahkan ada satu qoul yang mengatakan bahwa berkata “saya tidak tahu” merupakan separuh dari ilmu. Imam syafi’i pernah ditanya perihal nikah mut’ah, apakah hal itu menyebabkan thalaq atau bisa berakibat kepada warisan atau kewajiban nafkah atau juga persaksian, beliau dengan ketawadlu’annya menjawab “la nadri” (kami tidak tahu). [Tadzkirotu as-Sami’…… 78]

Baca juga:  Zaldy Armendaris, Komikus yang Misterius Itu

Jawaban “tidak tahu” bukan mengindikasikan sebuah kebodohan, namun lebih kepada sebuah bukti bahwa orang tersebut memiliki kedudukan yang mulia, agama yang kokoh, kesucian hati, kesempurnaan pengetahuan serta keyakinan yang mapan. Kebanyakan dari orang yang berilmu gengsi untuk berkata “saya tidak tahu”, hal itu menunjukkan akan kelemahan agama dan sedikitnya pengetahuan, karena mereka masih khawatir reputasinya hancur di mata publik dan hal inilah sejatinya merupakan kebodohan yang nyata dan ‘terbakarnya’ sebuah agama.

Salah satu etika para pencari ilmu (murid), bagaimana mereka bertanya hal-hal yang tidak dimengerti kepada sang guru dengan cara yang baik, berakhlaq dan dengan perkataan yang beradab, karena bertanya bukanlah hal yang tabu dalam belajar terhadap guru, selama mengajukan dengan pertanyaan yang logis, tidak mengada-ngada, dan tidak ada unsur untuk ngetes sang guru. Bertanya ketika proses belajar-mengajar kepada sang guru merupakan tradisi yang telah dijalankan oleh Rasulullah SAW, baik bagi kalangan laki-laki ataupun perempuan, sebagaimana pengakuan ummu sulaim ketika bertanya kepada nabi: “apakah perempuan yang mimpi basah wajib mandi atau tidak?”. Demikian pula sebagaimana hadist yang disampaikan oleh sayyidah ‘Aisyah: “Para perempuan anshor tidak malu untuk belajar ilmu agama; tafaqquh fi ad-din” [Tadzkirotu as-Sami’…… 120-121]

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (10): Kritik Kiai Zaini Mun’im Atas Tafsir Jalalain

Imam Mujahid mengatakan: “tidak layak belajar ilmu bagi seorang yang pemalu dan orang yang sombong”. Oleh karena itu, ketika sang guru bertanya: “ada yang tidak dipahami?”, selayaknya seorang murid tidak malu berkata: “saya tidak paham”, agar tak selalu berada dalam jurang kebodohan, sebagaimana Imam Ibnu Jamaah dalam kitabnya tersebut menyitir sebuah syi’ir yang berbunyi:

وليس العمى طول السؤال وإنما          تمام العمى طول السكوت على الجهل

Artinya: “Orang yang buta [ilmu] bukanlah orang yang sering bertanya, namun orang yang [benar-benar] buta [ilmu] ialah orang yang selalu diam [malu bertanya] atas ketidaktahuan”.

Namun demikian, sekali lagi, bertanya harus proporsional; ada batasannya; tidak bertanya hal-hal yang tidak berkaitan dengan pelajaran, kecuali dibutuhkan, dan tak panjang lebar jika sudah ada jawaban dari sang guru, jikapun ada yang keliru dari jawaban seorang guru, selayaknya sang murid tidak menyampaikannya seketika itu, namun harus ada waktu khusus sekiranya seorang murid dan guru bisa berbicara empat mata.

Dari sini penulis memberikan sebuah kesimpulan bahwa berilmu harus beradab dan beradab harus dengan ilmu. Terkadang ada beberapa orang yang keliru dalam memahami al-adab fauqo al-ilmi (etika berada di atas ilmu). Maqolah tersebut tidak mengisyaratkan bahwa tak penting memiliki banyak ilmu asalkan beradab. Tidak demikian, namun yang dimaksud adalah harus tetap menimba ilmu sebanyak mungkin tanpa memarginalkan adab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top