Sedang Membaca
Memahami Pernyataan Gus Menag Melalui Kacamata Ilmu Mantiq
Mustain Romli
Penulis Kolom

Warga NU yang sedang menuntaskan studi (S1) di perguruan tinggi Universitas Nurul Jadid Probolinggo, sekarang sebagai mahasantri aktif di Ma'had Aly Nurul Jadid, paiton, probolinggo dengan konsentrasi fiqh-ushul fiqh.

Memahami Pernyataan Gus Menag Melalui Kacamata Ilmu Mantiq

Gus Yaqut

Islam dikenal dengan agama cintai damai, tidak suka kegaduhan, penenang bukan malah membuat keadaan semakin tegang dan tidak pula membuat semakin keruh keadaan.

Akhir-akhir ini media dikejutkan dengan pernyataan kontroversial yang-dianggap- ada penganalogian ‘suara adzan dengan gonggongan anjing’. Terlepas dari hal itu semua, penulis mencoba memahami lebih jernih yang pernyataan lengkapnya kurang lebih demikian:

Kita bayangkan, saya hidup di lingkungan non muslim, kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita non muslim itu bunyikan TOA sehari 5 kali dengan kenceng-kenceng secara bersamaan itu rasanya bagaimana?, yang paling sederhana lagi, tetangga kita ini kalau kita hidup dalam satu komplek itu misalnya, kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua, misalnya: menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu gak? Artinya apa, ya bahwa suara-suara ini, apapun suara itu, ini harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan.

Pertanyaannya sekarang, apakah pernyataan yang cukup panjang ini bisa disimpulkan dengan sebuah kongklusi “suara adzan dianalogikan atau disamakan dengan gonggongan anjing” bahasa sederhananya “suara adzan sama dengan gonggongan anjing”?

Memahami pernyataan di atas penulis mencoba mengkajinya menggunakan tiga fan ilmu; 1. Mantiq, 2. Balaghah dan 3. Ushul Fiqh.

Pertama: Ilmu mantiq disebut juga dengan ilmu logika merupakan ilmu yang sangat perlu untuk dipelajari karena tujuan dalam ilmu mantiq ini bagaimana menjaga pemikiran dari pemahaman yang keliru atau dalam bahasa nakalnya ilmu mantiq dipelajari agar terhindar dari ‘kekacauan berfikir’ sebagaimana Syeikh ad-Damanhuri menyebutkan dalam muqoddimah masterpiecenya yang berjudul idhahul mubham fi syarhi as-sullam al-munawroq, bahkan al-Ghazali dan para koleganya tegas mengatakan bahwa ilmu mantiq sangat dianjurkan bagi siapapun untuk dipelajari agar terhindar dari kekacauan berfikir.

Baca juga:  Ali Sadikin, Jakarta, dan Kepemimpinan

Dalam pembelajaran ilmu mantiq pembahasan-pembahasannya sangat komplit sekali, terutama terkait pembahasan bagaimana mengambil sebuah kesimpulan dari beberapa pernyataan yang ada sehingganya menimbulkan sebuah kesimpulan yang benar. Pembahasan ini dijelaskan dalam ilmu mantiq di bab qiyas, namun yang dimaksud bukan qiyas sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh.

Qiyas dalam ilmu mantiq adalah sebuah kata yang tersusun dari dua pernyataan atau lebih yang menimbulkan/meniscayakan sebuah pernyataan yang baru atau dinamakan dengan natijah (kesimpulan), contoh sederhananya ada 2 pernyataan: 1. “Alam semesta bisa berubah” 2. Dan “setiap sesuatu yang berubah itu merupakan hal yang baru (bukan qadim)”. Dari dua pernyataan ini menimbulkan sebuah kesimpulan “Alam semesta adalah sesuatu yang baru”. Apakah kesimpulan dari 2 pernyataan tersebut benar?, kita katakan benar. Kenapa dikatakan benar?

Kesimpulan itu dikatakan benar atau tidak, tergantung isi kebenaran dari 2 pernyataan atau lebih yang sehingganya menimbulkan kesimpulan yang benar pula. Pernyataan pertama berisi “Alam semesta bisa berubah”, jelas ini dikatakan benar karena segala sesuatu di alam semesta ini semuanya akan berubah kecuali Allah karena Allah bukan alam semesta, sedangkan pernyataan kedua berisi “Setiap sesuatu yang berubah itu merupakan hal yang baru” pernyataan ini pun juga dikatakan benar, karena segala sesuatu selain Allah itu dikategorikan hal yang baru, yang memiliki sifat ketidak baharuan (qadim) hanya Allah semata. Ketika dua pernyataan itu sudah dikategorikan benar, maka akan menimbulkan sebuah kesimpulan yang benar pula yaitu “Alam semesta adalah sesuatu yang baru”.

Baca juga:  Ulama Banjar (30): Tuan Guru H. Abdussamad

Beda halnya ketika ada 2 pernyataan atau lebih yang salah satu dari pernyataan tersebut cacat/ tidak benar, maka akan menimbulkan sebuah kesimpulan yang keliru pula, contoh gamblangnya saja ada 2 pernyataan: 1. “setiap manusia itu hewan”, 2. Dan “setiap hewan itu meringkik seperti suara kuda”. Dari dua pernyataan ini menimbulkan sebuah kesimpulan “Setiap manusia itu meringkik seperti suara kuda”.

Apakah kesimpulan dari dua pernyataan tersebut dianggap benar? Akal sehat kita akan mengatakan bahwa kesimpulan itu tidak dibenarkan, kenapa? Karena kesimpulannya ini timbul dari 2 pernyataan yang memiliki kecacatan dalam komponen katanya. Pernyataan yang pertama dianggap benar, karena memang setiap manusia memiliki sifat yang serupa dengan hewan dalam segi nafsu dan semacamnya yang membedakan keduanya hanyalah akal pikirannya, oleh karenanya manusia dikatakan sebagai “hewan yang bisa berfikir”, namun pernyataan yang kedua terdapat celah kecacatan, karena tidak semua hewan bersuara meringkik seperti suara kuda, ada yang berkicau seperti burung dan ada pula yang berkokok seperti ayam dsb. Ketika dalam pernyataanya sudah ada kecacatan–sebagaimana yang sudah dipaparkan-maka kesimpulannya pun akan memiliki kecacatan atau ketidak benaran.

Sekarang coba kita kontekskan pembahasan ilmu mantiq di atas dengan pernyataan Gus Menteri yang -dianggap- menganalogikan ‘suara adzan dengan gonggongan anjing’. Mungkin kalau boleh pernyataan beliau yang lumayan panjang –sekalipun akan ada kemungkinan salah-lebih disederhanakan lagi menjadi dua pernyataan, sebagai berikut: 1. “Suara adzan yang kenceng (nyaring) mengganggu”, dan 2. “Setiap sesuatu yang mengganggu itu gonggongan anjing” dari dua pernyataan ini akan menimbulkan sebuah kesimpulan bahwa “Suara adzan adalah (sama dengan) gonggongan anjing”.

Baca juga:  Sajian Khusus: Esais Muda Pesantren; Kiprah dan Jejak Ulama Nusantara

Apakah kesimpulan ini benar? Akal sehat kita akan sangat keberatan menerima kesimpulan ini, artinya tidak benar bahwa 2 pernyataan –yang disederhanakan- tersebut disimpulkan dengan kesimpulan demikian, karena kesimpulan keliru tersebut terlahir dari pernyataan-pernyataan yang memiliki kecacatan dalam kontennya.

Pernyataan pertama, di satu sisi bisa dikatakan benar di sisi lain tidak benar, karena suara adzan –sekalipun nyaring- itu akan bersifat sangat berguna dan tidak mengganggu bagi lingkungan orang-orang yang mayoritas muslim –bukan lingkungan majemuk dan plural- yang hendak melakukan ibadah ke masjid lebih-lebih dengan suara indah dan merdu, mungkin suara adzan yang nyaring itu akan berdampak negatif dalam hal ini mengganggu bagi lingkungan orang-orang yang sangat plural sekali dan majemuk, muslim dan non muslim hidup bergandengan sebut saja seperti lingkungan di pulau bali dan di perkotaan.

Pernyataan pertama ini sekalipun ada sisi kebenarannya namun ini masih dikategorikan sesuatu yang cacat. Bagaimana dengan pernyataan kedua? Diketahui bersama bahwa suara yang menganggu tidak hanya gonggongan anjing, banyak sekali suara-suaranya yang mengganggu selain gonggongan anjing, seperti: bisingnya knalpot dsb. Pernyataan keduapun dianggap cacat/tidak benar sehingganya dari 2 pernyataan yang mengandung kecacatan isinya tersebut akan menimbulkan sebuah kesimpulan yang cacat pula.

Dari 2 pernyataan yang sudah disederhanakan saja, tidak ditemukan kesimpulkan yang benar, lantas dari mana muncul kesimpulan yang tidak mendasar bahwa Gus Menteri dari pernyataannya yang cukup panjang, menganalogikan suara adzan dengan gonggongan anjing?.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
3
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
4
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top