Sedang Membaca
Ijtihad Islam Nusantara: Medan Negosiasi Bumi dan Langit
Mohammad Rifki
Penulis Kolom

Mohammad Rifki, lahir di Sumenep 23 November 1991. Sempat nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kini tinggal di Sumenep Madura.

Ijtihad Islam Nusantara: Medan Negosiasi Bumi dan Langit

Akhir-akhir ini, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia begitu kompleks. Salah satu di antaranya adalah makin menguatkan gerakan-gerakan ideologi radikal dengan mengatasnamakan agama. Dengan tujuan mengganti pondasi dasar negara, yaitu Pancasila dan segala turunannya dengan perundang-undangan berbasis agama (baca; Islam). Tentu agama Islam yang dimaksud dalam hal ini adalah yang sesuai dengan pemahaman yang mereka yakini.

Di samping itu, gerakan ideologi impor tersebut juga mengancam akan eksistensi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa. Karena dalam paradigma mereka kebudayaan yang benar serta patut untuk dilestarikan, tanpa mengenal batas ruang-waktu, tiada lain hanya kebudayaan syariah, yakni sebagaimana dipraktikkan pada masa Nabi Muhammad SAW. Di luar kebudayaan syariah seperti mereka yakini, akan mengantar manusia kepada kemusyrikan, seperti petik laut, nyadran, dan lain semacamnya.

Orang-orang yang hidup dalam kubangan modern yang miskin akan nilai-nilai spiritualitas menjadi lahan subur bagi gerakan-gerakan ideologi impor, untuk menancapkan pengaruhnya. Tidak heran apabila pemahaman serupa terhadap agama Islam berkecambah di kota-kota besar. Nah, dalam kondisi demikian NU sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai tekad akan keutuhan bangsan dan penghargaan tinggi akan nilai-nilai budaya tidak mau kecolongan. Sebab, penggembosan NU hanya efektif apabila nilai-nilai budaya yang menjadi basis gerakannya dilemahkan.

NU kemudian merumuskan suatu paradigma beragama –lebih tepatnya memahami agama- dengan karakter ke-Nusantara-an pada Muktamar NU Ke-33 di Jombang, Jawa Timur, 2015 lalu. Rumusan dimaksud dikenal dengan sebutan Islam Nusantara; suatu langkah yang memicu kontroversi. Di tengah-tengah diskursus Islam Nusantara, buku Ijtihad Islam Nusantara karya Abd A’la, ini laik diketengahkan.

Judul: Ijtihad Islam Nusantara (Reflkeksi Pemikiran dan Kontektualisasi Ajaran Islam di Era Globalisasi dan Liberalisasi Informasi)

Penulis: Prof. Dr. Abd A’la, M.Ag

Penerbiit: Muara Progresif

Cetakan: Pertama, Desember 2018

Tebal: xxxi 189 halaman

Abd A’la berpendapat bahwa agama Islam tidak bisa dipahami sebagai model of reality, karena teks ajaran dan realitas tidak melulu berada pada garis kesesuaian, tetapi seringkali menempati posisi bersebrangan. Walau secara normatif Islam itu satu, wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad bersifat absolut, mengandung prinsip-prinsip umum, dan berlaku universal. Untuk mengimplementasikannya ke ranah realitas konkrit umat Islam dituntut memiliki pemahaman komprehensif. Pada titik inilah kemudian ijtihad begitu signifikan.

Baca juga:  Damarjati Supadjar dan Garis Hubung Islam-Jawa

Ijtihad merupakan titik negosiasi antara teks dan konteks; bukan saling menegasi satu di antara keduanya. Untuk itu diperlukan penguasaan memadai atas pelbagai perangkat keilmuan sebagai pisau analisis dari setiap persoalan yang mengemuka. Karenanya dikotomi ilmu pengetahuan; barat-timur, agama-non agama, dll, menjadi tidak lagi penting diperbincangkan.

Menolak ijtihad maupun perangkat keilmuan lainnya seperti hermenutik, adalah langkah mundur, dan diam-diam mengasingkan agama Islam dari percaturan realitas sosial. Padahal, umat Islam memiliki atau diberi tanggungjawab besar untuk menjadi contoh di dalam terwujudnya tatanan sosial yang harmoni.

Dialog antara Mu’az dengan Nabi mengenai cara-cara penyelesaian agama memberi sinyal “ketidak-memadainya” sumber-sumber utama Islam, yaitu al-quran dan hadits. Dengan demikian pintu ijtihad terbuka lebar. Namun, berbeda dengan kalam Allah Swt, ijtihad bukan produk yang tidak bisa diganggu gugat karena ia memiliki kebenaran nisbi dan sangat kontektual. Maka klaim kebenaran dengan memandang ijtihad lain salah tidak dapat diterima.

Sayangnya, medan ijtihad ini, bagi Abd A’la, di tangan kelompok revivalis berubah menjadi sesuatu yang rigid dengan mencampakkan nilai-nilai budaya di mana Islam seharusnya mampu hadir dan memberi warna. Alquran dan hadis memang merupakan sumber utama umat Islam di dalam menentukan langkah atau menghadapi pelbagai problem kehidupan.

Baca juga:  Sabilus Salikin (45): Tarekat Malamatiyah

Tetapi, bagaimana menangkap kandungan Alquran maupun hadis Nabi Muhammad saw tanpa bersandar pada metodelogi keilmuan, qiyas misalnya? Alih-alih bersikap menyimpang daripada maksud Alquran dan hadis.

Buku ini memuat 11 esai refleksi pemikiran salah satu pengasuh pondok pesantren An-Nuqayah, Sumenep, Jawa Timur. Di mana kesemuanya berada dalam bingkai: pentingnya kontektualisasi nilai-nilai agama Islam. Memang nampat seperti “pembelaan” atas rumusan Islam Nusantara yang dicetuskan NU. Tetapi, Abd A’la juga memberi solusi dan kritik atau pengayaan strategi agar rumusan Islam Nusantara betul-betul dirasakan manfaatnya, tidak hanya menjelma wacana kosong yang mengambang.

Salah satu yang bisa disebut adalah menguatkan kembali peran NU di dalam mewujudkan mabadi’ khaira ummah. Suatu tatanan masyarakat bagaikan kehidupan dalam surgawi; penuh kedamaian, kesejahteraan, kenyamanan, ketenangan, dan sebagainya di bumi persada. Cita-cita mulia ini bersifat nilai dan ajaran, yang pada tingkat praktik, masih jauh panggang dari api. Kerusakan lingkungan, kemiskinan, kenakalan remaja, sikap rasisme, perang yang menelawan jutaan korban, diskriminasi dan fanatisme, serta kejahatan dan penindasan dalam bentuk lain merupakan kenyataan yang tak bisa kita pungkiri.

Bagi Abd A’la, kondisi sosial seperti tersebut di atas lahir dari pemahaman parsial akan ajaran dan nilai-nilai agama. Tidak berdaya menghadapi realita kehidupan kontemporer dan terjebak dalam sikap reaktif.

Baca juga:  Berfilsafat dengan Cara Sederhana

Dasar-dasar keilmuan Islam, seperti teologi, fikih, dan akhlak tidak ditempatkan pada posisi integratif yang dapat bersinergi satu sama lainnya. Rekontruksi pemahaman, pemaknaan ulang, dan pengembangan secara kreatif atas pelbagai khazanah Islam merupakan suatu keniscayaan.

NU sebenarnya telah memiliki dasar akan hal tersebut, sebagaimana terungkap dalam adagium al-muhafazhah ala I-qadim al-shalih wa I-akhdzu bi I-jadid al-ashlah. Jika prinsip ini digabung dengan nilai-nilai Aswaja yang dianut NU, semisal al-tasamuh, al-tawazun, al-tawassuth, dan al-ta’adul, tidak dirgunakan lagi NU akan berada di garda depan untuk merealisasikan kehidupan yang enligten (hlm: 77).

Di samping itu, melalui buku ini, Abd A’la juga mengajak untuk melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep jihad. Dari hal-hal yang bersifat vital kepada pemberdayaan ekonomi warga NU atau pengentasan kemiskinan. Sebab ekonomi merupakan salah satu pintu menuju terwujudnya tatanan sosial yang damai, sejahtera, dan sebagainya. Tentu ini semua membutuhkan konsep matang serta keterlibatan semua pihak.

Akhir kata, kumpulan esai dalam buku ini, walau di tulis pada rentang waktu yang terpisah, dapat mengantar pemahaman kita akan agama Islam secara kaffah. Dengan tetap berpijak pada nilai-nilai luhur kebudayaan Nusantara; negeri kita tercinta. Wallahu ‘alam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top