Kita sering mendengar kata “peradaban” (hadlarah). Biasanya, ia bersanding dengan “kebudayaan” (tsaqafah). Dari mana istilah-istilah itu muncul? Dan apa pengertiannya?
Saat di madrasah dulu saya diajarkan ilmu manthiq (logika) oleh Ustaz Saifullah Masduki. Saat itu kebanyakan kami hanya menghafal saja, tanpa banyak tahu bagaimana menerapkan manthiq dalam kehidupan sehari-hari.
Saat kuliah di IAIN, saya mendapatkan mata kuliah Logika (manthiq juga) pada semester satu. Bedanya, saat di madrasah saya belajar dalam bahasa Arab, tapi gak begitu mudeng. Saat di IAIN saya belajar dalam bahasa Indonesia, dan jadi lebih paham. Pak Muslih, yang kemudian menjadi mertua kang Prof. Muhammad Ali, mengajariku logika dengan piawai. Saya baru menyadari kemudian bahwa dengan belajar manthiq (logika) itu saya mempelajari dua peradaban, Arab dan Yunani.
Salah satu bab penting dalam logika adalah masalah definisi (had), yakni bagaimana membuat definisi yang benar. Orang bisa berdebat panjang dan melelahkan tetapi tidak nyambung jika definisinya ternyata berbeda. Orang yang sama dalam mendefinisikan saja masih bisa berdebat panjang, apalagi jika definisi berbeda? Haha…
Oleh karena itu, dalam mendiskusikan tentang “peradaban”, pertanyaan ontologis yang sangat penting dijawab pertama kali adalah: apa itu peradaban?
Nah, ternyata ini tidak mudah. Dari berbagai bacaan, ternyata para ahli juga berbeda-beda dalam mendefinisikan peradaban. Tapi saya akan mencoba menelisik kata peradaban itu dari tiga peradaban berbeda, saya sebut secara urut: Arab, Barat, dan Melayu-Indonesia. Urutan ini berdasarkan alasan historis.
“Konsep”, bukan semata “istilah”, yang merujuk kepada fenomena “peradaban” itu sebenarnya telah muncul di dunia Arab pada abad ke-14. Sedangkan di Barat abad ke-17, bahkan dalam pengertiannya yang sekarang baru abad ke-19.
Sementara di Melayu-Indonesia abad ke-20. Tapi saya tidak mengasumsikan bahwa tidak ada konsep serupa untuk peradaban sebelum itu, misalnya di Yunani, Cina, atau India. Saya harus baca-baca lagi. Hehehe…
Adalah Ibnu Khaldun (1332-1406) orang yang memperkenalkan konsep ‘umran. Apa sebenarnya pengertian ‘umran ini dalam konteks keilmuan kontemporer?
Para ahli memperdebatkan kata tersebut. Ada yang menerjemahkan sebagai peradaban (civilization), pengorganisasian masyarakat (social organization), masyarakat manusia (human society). Perdebatan ini memerlukan tulisan tersendiri. Namun yang jelas, istilah ini berkaitan dengan konsep tentang peradaban. Karena, ‘umran merefleksikan ide tentang kesejahteraan sosial (al-Araki 7), dan ini terkait dengan beberapa kondisi (ahwal) sosial, yakni otoritas politik (mulk); surplus pendapatan (kasb); pola produksi (ṣana’i‘), dan ilmu pengetahuan (ulum).
Tak berhenti di situ, Ibnu Khaldun juga mengaitkan ‘umran itu dengan pendirian kota-kota (tamadun), fenomena kehidupan liar, kehidupan beradab, pertentangan antar solidaritas kelompok (asabiyyah), dominasi satu kelompok atas kelompok lain, kelahiran berbagai kerajaan dan dinasti dari berbagai tingkatan, tentang berbagai pendapatan manusia, ilmu pengetahuan, barang-barang konsumsi (Ibn Khaldun 2000:40). Jelas itu terkait dengan gagasan tentang peradaban.
Istilah lain untuk peradaban yang dipergunakan oleh intelektual Arab pada awal abad ke-20 adalah “madaniyyah” dan juga “tamaddun”, istilah yang juga dipergunakan oleh Ibn Khaldun, namun dipergunakan untuk menggambarkan salah satu proses dalam ‘umran al-hadlari (masyarakat urban).
Namun, di Timur Tengah saat ini, istilah yang lazim dipakai untuk “peradaban” adalah “hadlarah”, salah satu istilah yang dipergunakan oleh Ibnu Khaldun juga untuk menggambarkan fenomena masyarakat kota (urban), sebagai lawan dari badawah (masyarakat nomadik). Dalam hadlarah ini lah terjadi proses tamaddun, pembentukan kota dan urbanisasi itu.
Hari ini, istilah ‘umran sudah jarang lagi dipakai untuk “peradaban”. Nasr Abu Zayd, misalnya, menggunakan istilah “hadlaratun nass” untuk mencandera Arab-Islam sebagai “peradaban teks”. Istilah clash of civilization-nya Samuel Huntington diterjemahkan menjadi ash-shara‘ baynal hadlarat.
Bagaimana dengan Barat?
Kata Inggris civilization berasal dari bahasa Prancis pada abad ke-17 “civilisé”, yang itu dari bahasa Latin civilis (civil), civis (citizen), dan civitas (city).
Di Prancis juga kata “civilization” yang bermakna “kondisi yang civilized (beradab)” dipergunakan pada 1757 oleh Victor de Riqueti, marquis de Mirabeau, dan di Inggris muncul pada 1760, oleh Adam Verguson.
Di Inggris kata “civilization” muncul pertama kali pada dekade pertama abad ke-18 dalam pengertian legal, yakni mengubah hal-hal kriminal atau penjahat menjadi beradab. Pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, pada masa Revolusi Prancis, istilah civilization dipergunakan dalam bentuk singular, dan bermakna “kemajuan manusia secara keseluruhan.” Peradaban bermakna bukan sekedar sebuah sistem organisasi politik dan sosial, tetapi juga cara-cara tertentu dalam berpikir dan mempercayai, tipe-tipe tertentu seni, dan unsur-unsur budaya yang lainnya (McKay, Hill, et al 2012: 36).
Kata “peradaban” ini kemudian beriringan dengan proses kolonialisasi. Muncullah perspektif Eropa atau Barat sebagai beradab, urban, dan canggih; sekular dan spiritual; taat hukum dan nir-kekerasan (terbatas pada kekerasan yang legal di dalam dan antara negara); berkelas, berbudi, sopan; disiplin, teratur, dan produktif; laissez faire, borjuis, dan nyaman; menghargai milik pribadi; bersahabat dan bebas; berbudaya, berpengetahuan, dan menguasai alam. Adapun Timur dipanang sebagai ndeso, buruk, liar; menyembah berhala, fanatis, literalis, dan teokratik; tidak taat hukum dan kekerasan (kekerasan di luar prosedur hukum); tak beradab, kasar; malas, anarkhis, dan tak produktif; komunistik, miskin, dan tak nyaman; pembajakan dan pencurian; tak bersahabat (atau bahkan kanibalistik) dan tidak bebas; tak berbudaya, bodoh, buta huruf, percaya pada takhayul, dan dikuasai alam (Naqvi 2008: 557).
Oleh karena itu penjajahan negara Barat terhadap negara-negara Timur mereka sebut sebagai “civilizing”, memberadabkan dunia Timur. Dalam textbook Belanda tertulis bahwa kolonialisme mereka di Hindia Belanda (Indonesia) sebagai “civilisatie” (pemberadaban).
Dengan istilah itu mereka menjadi merasa berjasa, bukan sebagai penindas dan pelangar HAM. Ini yang membuat kata peradaban bernuansa pejoratif di negeri-negeri pasca jajahan.
Lalu, bagaimana peradaban dalam konteks Indonesia?
Saya belum berhasil mendapatkan referensi mengenai kajian sejarah istilah peradaban ini dalam bahasa Indonesia, atau Melayu.
Sejauh lacakan saya (koreksi saya jika salah), bahasa Melayu, Indonesia, dan Jawa (saya tidak tahu bahasa daerah lainnya) ternyata tidak mempunyai istilah genuin lokal untuk mendeskripsikan fenomena yang disebut “peradaban” itu.
Semua istilah untuk menyebut fenomena itu adalah kata serapan, baik dari bahasa Sanskerta maupun bahasa Arab. Hal ini terkait dengan proses Indianisasi dan Arabisasi, sejalan dengan masuknya Hindu-Buddha dan Islam ke wilayah ini.
Dari Sansekerta kita mengenal istilah “budaya” sebagai padanan “culture”. Di Jawa istilah “kabudhayan” lebih dekat maknanya dengan peradaban. Kabudhayan Jawa adalah peradaban Jawa.
Tapi dalam bahasa Indonesia, padanan “civilization” Indonesia adalah “peradaban” dan dalam bahasa Malaysia dan Brunei dikenal istilah “tamadun”. Keduanya serapan dari bahasa Arab. Namun tidak dikenal istilah yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun: hadarah dan ‘umran. Ini menunjukkan kecilnya pengaruh Ibnu Khaldun di Asia Tenggara. Kata “tamaddun”, satu akar kata dengan kata “madinah” (kota), mempunyai makna literal “urbanisasi”.
Namun, Malaysia dan Brunei mungkin lebih mengenal Ibnu Khaldun, karena istilah “tamadun” juga dipergunakan dalam kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun sebagai “pembentukan kota”, tapi bukan sebagai kata kunci. Ini adalah istilah derivasi yang digunakan Ibnu Khaldun saat membahas tentang ‘umran hadlari (peradaban menetap/urban) yang kemudian melahirkan hadlarah (peradaban). Dengan demikian, tamaddun sebenarnya bukan peradaban tetapi salah satu prasyarat menuju peradaban.
Mengapa Indonesia lebih menggunakan istilah “peradaban”? Saya tidak tahu kapan kata peradaban ini dibentuk dan dipergunakan pertama kali. Tapi istilah “adab” sudah dikenal dalam kitab-kitab beraksara Jawi sejak setidaknya abad ke-16.
Di kitab-kitab Nusantara, kata “adab” menjadi bagian dari istilah “akhlak” atau “etiket”, yakni nilai-nilai dan ketentuan kesopanan terkait tatanan, perilaku dan rasa dalam berbagai aspek kehidupan.
“Adab” kemudian juga terkait dengan sastra, yang makna asalnya adalah tulisan yang sopan, yang mengindikasikan adanya keterkaitan antara tulisan dan perilaku serta norma masyarakat. Kata adab dalam konteks satra ini lalu berkembang menjadi sastra secara umum.
KBBI mencatat adab bermakna “kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, akhlak,” dan peradaban bermakna: (1) “kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin; (2) hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.” Sedangkan kata “peradaban”, masih dalam KBBI, bermakna: (1) kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin; (2) hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Kalau kita membuka majalah dan koran-koran lama, istilah yang dipergunakan yang relevan dengan peradaban adalah “kemajuan”, sebagaimana pengertian pertama di atas. Tapi istilah ini tidak dipergunakan karena dianggap kurang memadai untuk mewadahi makna civilization. Kemajuan hanyalah salah satu prasarat dari peradaban.
Mengapa tidak dipergunakan istilah Belanda yang menjajah Indonesia sekian lama? Bukankah Belanda mengklaim melakukan pemeradaban inlander Hindia Belanda? Atau istilah bahasa Jepang yang juga pernah menjajah, walau sebentar?
Istilah Belanda “beschaving” dan “civilisatie” tidak terserap dalam bahasa Indonesia. Ini bukan berarti tidak ada sumbangan Belanda sama sekali bagi peradaban Indonesia. Para aktivis pergerakan nasionalis awal dan para “founding fathers and mothers” bangsa ini kebanyakan adalah didikan Belanda. Promosi Kartini sebagai ibu bangsa juga tidak lepas dari peran Belanda yang ingin menunjukkan keberhasilan politik etisnya. Indonesia yang seluas sekarang, dari Sabang sampai Merauke, karena secara hukum internasional wilayah Indonesia adalah wilayah bekas jajahan Belanda.
Istilah Jepang “bunmeikaika”, sebagaimana istilah-istilah Jepang lainnya, juga tidak terserap dalam bahasa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa, kendati ada pengaruhnya pada peradaban Indonesia, pengaruh mereka tidak masuk dalam jantung hati masyarakat Indonesia. Berbeda dari istilah yang berasal dari agama–adab dan budaya–yang lebih bisa meresap dalam bawah sadar masyarakat. Bahkan kedua istilah itu secara kreatif dipergunakan dalam bahasa ilmu pengetahuan.
Bagaimana para ahli saat ini memahami peradaban? Sebagian besar masih Eurosentris. Dalam buku-buku baru, seperti McKay, Hill, et al (2012); Duiker dan Speivogel (2016: 8); dan Stearns et al (2017), semuanya menjadikan Eropa/Barat sebagai model peradaban. Di sini buku Stearns et al (2017) merangkum buku-buku yang lain itu, bahwa peradaban umumnya menunjukkan empat gambaran utama yang terkait satu sama lain.
Pertama, mengembangkan surplus ekonomi yang melampaui kebutuhan subsisten, dan menistribusikan surplus ini secara tidak setara, yang ini menyediakan dana untuk monumen-monumen baru.
Kedua, mengembangkan pemerintahan formal dengan paling tidak birokrasi yang kecil. Kepemimpinan menjadi lebih terspesialisasi ketimbang dalam masyarakat nomadik atau pertanian.
Ketiga, mempunyai tulisan, yang dengannya mungkin dikembangkan perdagangan yang memungkinkan komunikasi yang terstandardisasi, dan meningkatkan juga penjagaan perekaman.
Keempat, mengembangkan pusat-pusat perkotaan yang lebih luas dan penting sebagai kota yang muncul sebagai konsentrasi penduduk.
Lihatlah, dengan kriteria seperti itu, hanya Eropa dan Barat, dan yang mempunyai standard seperti mereka saja yang dapat disebut sebagai peradaban. Apakah tidak ada peradaban Afrika? Peradaban Melayu? Peradaban Jawa? Namun, bukan berarti juga peradaban menjadi konsep yang mencakup semuanya tanpa kriteria, bukan pula menolak adanya perbedaan dalam peradaban, misalnya peradaban tinggi dan rendah.
Bagi saya perbedaan itu adalah sunnatullah (hukum Tuhan pada alam), asalkan penilaian itu adil dan tidak dalam rangka merendahkan dan mendiskriminasi. Ini etika peradaban. Menilai sesuatu berbeda tetapi tanpa membeda-bedakan.
Namun, parameter-parameter peradaban itu hendaklah tidak bersifat normatif, tetapi faktual dan menghargai subjektivitas pemilik peradaban. Misalnya, bahwa peradaban harus mempunyai tulisan. Memang dengan tulisan dimungkinkan pengembangan ilmu pengetahuan lebih sistematis dan akseleratif, dan itu bisa meningkatkan peradaban lebih tinggi, namun bukan berarti masyarakat yang tidak mempunyai tulisan tidak berperadaban.
Mereka berperadaban juga, nir-tulis, yang sebagaimana masyarakat manusia mempunyai mekanisme pengembangan dan pewarisan pengetahuan (lokal) mereka sendiri. Dengan pengertian “peradaban” seperti ini kita bisa menyebut “peradaban Badui”, “peradaban Samin”, dan “peradaban Asmat”, misalnya, walaupun menurut kriteria peradaban yang Eurosentris belum dapat dianggap sebagai “peradaban”. Inilah kolonialisme yang saya singgung di atas.
Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa peradaban tertentu tidak dapat secara esensial disebut sebagai tunggal dan seragam. Peradaban Eropa, misalnya, tidak dapat dianggap semua wilayah Eropa sama. Eropa Timur dan Eropa Barat mempunyai karakter peradaban yang berbeda.
Demikian juga, peradaban berdasarkan agama, seperti apa yang dikatakan Huntington sebagai “Confucian Sinic civilization” (harusnya civilizations, dengan “s” di akhir) tidaklah tunggal, karena itu mencakup Cina, Korea, Singapura, Taiwan dan Vietnam. Tidak mungkin sama persis.
Demikian juga dengan “peradaban-peradaban Islam”, karena memang wilayah yang mayoritas Muslim juga sangat luas, bukan hanya di dunia Arab.
Bahkan jumlah terbesar muslim berada di luar dunia Arab, dengan segala perbedaannya. Dalam konteks ini kita bisa menyebut peradaban Islam Arab, peradaban Islam Afrika utara, peradaban Islam Nusantara, dan seterusnya, mengingat adanya perbedaan pada masing-masing peradaban itu, walaupun ada suatu yang menyatukan, yakni Islam.
Dengan demikian, peradaban di sini haruslah dalam pengertian jamak (civilizations), dan ada penghargaan dan bahkan dukungan pada pemilik peradaban itu sendiri. Tidak semestinya suatu komunitas manusia disebut “tidak berperadaban”, walau mungkin mengatakan berperadaban beda, tanpa bermaksud membeda-bedakan. Ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep multikulturalisme yang bukan hanya mengakui tetapi juga mendukung kultur, dan sekarang peradaban, yang berbeda, liyan, dan secara standar mainstream mungkin lebih rendah. Sebutlah ini sebagai “multicivilizationalism”. Sudah, begitu ajah.
Yogyakarta, 8 Mei 2019/3 Ramadan 1440