Sedang Membaca
Kisah Seorang Raja Yang Merayakan Maulid

Mohamad Za'in Fiqron, alumnus Qudsiyyah Kudus, peminat filsafat dan sosial keagamaan. IG @jean_francois_lyotard.

Kisah Seorang Raja Yang Merayakan Maulid

Setiap malam Senin dan Jumat kerap kita dengar pembacaan selawat dan syair-syair kisah Nabi Muhammad, baik di musala, masjid, bahkan di rumah-rumah sekalipun. Ritual seperti inilah yang disebut “Mauludan/Maulidan”. Hampir seluruh umat Islam di seluruh Indonesia terutama di kalangan pelosok bergembira atas Nabi. Bukan hanya malam senin/jumat, perayaan maulid Nabi semakin meriah sedari tanggal 1 di bulan Rabiul Awal (bulan ketiga kalender Hijriyyah).  Perayaan ini  memuncak pada tanggal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan hari lahir Sang Nabi.

Namun, perayaan semacam ini kerapkali atau sudah biasa menjadi perdebatan mengenai hukum syariah-nya. Sebagian kalangan, menyatakan bahwa peringatan Nabi sebagai bidah (sesuatu yang baru, yang tidak dicontohkan al-Qur’an dan Nabi). Selanjutnya, kebanyakan membolehkannya dengan catatan “tidak membawa sesuatu yang haram” sebagaimana musik dan tarian. Tetapi persoalan musik ini juga memiliki problematika dan pembahasannya tersendiri. Kemudian, beberapa kelompok mempunyai argumentasi mengenai kebolehan dengan tidaknya perayaan maulid.

Bagaimana pun perdebatan tersebut, tidak kemudian dijadikan pijakan untuk saling membenci dan mencaci maki. Tetapi, karena menyangkut persoalan maulid Nabi perlu direfleksikan mengapa perlu merayakannya. Sehubungan dengan itu, ada kisah seorang Raja yang inspiratif.

Kisah Sang Raja

Alkisah, ada seorang raja yang setiap bulan Rabiul Awal mengadakan perayaan besar-besar dalam rangka memperingati kelahiran Sang Nabi. Setiap perayaan tersebut, beliau menyiapkan hidangan hingga 5.000 kepala kambing goreng, 10.000 ayam, 100 kuda, 100.000 burung zabadiyah, dan 30.000 loyang besar yang berisi manisan. Perayaan maulid ini dihadiri oleh ulama besar, ulama sufi, dan semua saling bercengkrama bahkan diiringi tarian. Tercatat, perayaan ini menghabiskan dana 100.000 Dinar atau jika dirupiahkan sekarang, nilanya lebih dari 5 milliar.

Baca juga:  Belajar dari Kehancuran: Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Majapahit

Tak hanya kalangan agamawan. Raja tersebut juga menyiapkan “Rumah Tamu” yang disediakan untuk tamu dari segala penjuru dan semua kalangan. Di rumah ini menghabiskan biayanya 1000 Dinar. Setiap tahunnya, beliau memerdekakan budak dari Prancis dengan dana 200.000 Dinar. Berikutnya, beliau mengalokasikan 30.000 Dinar untuk kota Makkah-Madinah dan talang Ka’bah. Semua itu belum termasuk sedekah yang dibagikan secara sembunyi-sembunyi.

Istrinya pun heran karena baju suaminya terbuat dari kain kasar yang senilai 5 Dirham. Bahkan sampai bertanya: “mengapa engkau memakai baju seperti itu?”. Namun sang suami menjawab: “Saya berpakaian seharga 5 Dirham dan bersedekah dengan uang sisanya, lebih baik daripada saya memakai pakaian mahal sementara saya menelantarkan orang fakir dan miskin.

Siapakah Raja itu? Beliau adalah Raja Mudzaffar ibn Zainuddin (549-630 H/1154-1232 M) , Raja Irbil (sekarang Iraq) yang hidup semasa dengan Shalahuddin al-Ayyubi. Beliau salah seorang raja yang agung, besar dan mulia. Kisahnya dapat ditelusuri lebih jauh di kitab Husnul Maqsid fi Amalil Maulid karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Selain tentang kisah Raja yang Sufi tersebut, karya ini juga menjelaskan persoalan-persoalan terkait maulid Nabi.

Berkaca dari Sang Raja

Secara gamblang, kisah sang Raja tersebut mencerminkan pemimpin yang Sufi. Bagaimana beliau kemudian menggunakan hartanya secara profesional, bertanggung jawab terhadap tugasnya, yang kaitannya hablum mina Allah wa hablum minan Nass. Beliau adalah raja yang bukan mementingkan kepentingannya sendiri, melainkan kepada orang lain terutama rakyatnya. Dalam pemaknaan yang lain, ibadah ritual terkait dengan ibadah sosial.

Baca juga:  Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah dan Kemerdekaan

Alih-alih, kita tidak boleh “cuti nalar” mengenai perayaan maulid Nabi. Memang kita bukan Raja Mudzaffar, tetapi itu tidak menjadi alasan untuk tidak merayakannya. Nabi Muhammad adalah sang paripurna, beliau adalah pelita, syafaatnya bukan hanya hadir di akhirat, melainkan di dunia pun kita sudah mendapatkan syafaatnya bila kita menyadarinya. Bisa dibaca, bahwa dengan diutusnya Nabi, perlahan kejahilan-kejahilan zaman jahiliyyah berganti menjadi terang, habis gelap terbitlah terang. Ini merupakan salah satu dari sekian syafaat Nabi di dunia.  Namun, perlu dicatat, adanya syafaat Nabi tidak boleh dijadikan sarana untuk berbuat maksiat.

Sebagai umatnya, bukankah seringkali kita mendapat hak-hak istimewa apalagi di bulan Ramadlan? Maka sudah seharusnya kita merayakannya, tentu saja dengan cara-cara yang baik. Bukan persoalan mewahnya, tetapi bagaimana kemudian kita membawakannya secara jujur, bernurani, damai, dan meniru akhlak-akhlak Nabi. Semoga kita semua mendapat Ridla Allah dan mendapat syafaat Nabi di dunia dan akhirat.

 

Selamat Memperingati Maulid Nabi Muhammad 1444 H

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top