Perkenalan saya dengan kopi, seingat saya, ketika masih kecil. Sedikit demi sedikit ikut mencicipi kopi Bapak di pagi dan sore menjelang Magrib. Saya ingat betul ketika Bapak dengan sangat hati-hati melukiskan gambar sederhana di sebuah batang rokoknya dengan menggunakan ampas kopi pekat. Kadang mengukirnya seperti sketsa batik, atau hanya berupa titik-titik polos nan unik. Rangkaian memori saya tentang kopi ketika itu hanya sebatas kopi pekat punya Bapak, pahit, dan ampasnya bisa dibuat untuk melukis. Hanya itu saja.
Pengalaman tentang secangkir kopi masih berlanjut. Tepatnya saat pertama kali menginjakkan kaki di bumi Seribu Menara, Kairo. Sebuah kota yang menjadi saksi akan perjalanan sebiji kopi di tanah ini yang dibawa oleh beberapa pelajar dari Yaman abad 16 M, dan menjadi konsumsi sehari hari mereka di Riwaq Al-Yemen, sebuah madrasah teologi Al-Azhar, cikal bakal universitas Al-Azhar yang didirikan ketika Dinasti Fatimiyah tahun 970 M.
Sepertinya, saya memang berjodoh dengan kopi. Di sekitar asrama tempat saya tinggal dan kampus utama, berjejer warung kopi lokal yang selalu ramai pengunjung. Mereka menyebutnya dengan Ahwa, atau Maqha. Siapa pun bisa datang, memesan secangkir kopi plus shisha. Di Kairo, kopi, teh, dan shisha seakan tak terpisahkan. Lengket sekali.
Keberadaan ahwas ini pun lambat laun dianggap sebagai ‘istri kedua’, karena warga lokal gemar sekali menghabiskan waktunya untuk nongkrong di warung kopi. Bahkan ada yang lima sampai enam kali sehari. Setiap orang pasti mempunyai maqha langganan. Terlebih jika kebetulan ada isu-isu sosial politik yang sedang panas di Mesir. Seperti ketika Revolusi Mesir yang terjadi beberapa tahun silam. Ahwas, merupakan tempat yang paling diminati sekaligus ditakuti masyarakat.
Di tempat inilah ide-ide sederhana tentang revolusi mulai mengakar dan diperbincangkan. Dari mulai kalangan politisi, pedagang kaki lima, pedagang sayur, pelajar, jurnalis dan berbagai macam latar belakang lainnya. Di masa-masa seperti ini, ratusan bahkan ribuan ahwas seakan menjadi ancaman yang luar biasa. Tak ayal, penjegalan, penculikan dan pembubaran oleh aparat militer menjadi hal biasa.
Dalam sejarah penyebaran kopi, Mesir memang lebih dulu dari pada Turki. Budaya masyarakat yang begitu lekat dengan maqha bukanlah hal baru. Abad 16 M, seakan menjadi saksi akan berdirinya ratusan kedai kopi di seantero Kairo. Minuman kopi awalnya memang disebarkan oleh para sufi dan penganut tarekat. Hal ini menjadi semakin populer ketika Mesir menjadi rumah yang subur bagi pengikut banyaknya tarekat yang tersebar luas dan diikuti oleh mayoritas penduduk lokal.
Dari sebuah catatan sejarawan Turki, Taha Toros, warung kopi pertama di Mesir berdiri tahun 1521. Kepopuleran kopi semakin meluas di seantero Kairo. Bahkan, konon tahun 1700 jumlahnya mencapai 3000. Kedai-kedai kopi ini biasanya terletak diujung sebuah jalan tak jauh dari bangunan toko-toko komersil, dan juga di sekitar masjid juga madrasah. Jam buka nya juga berbeda, yaitu di pagi hari setelah Subuh. Alih-alih pulang ke rumah setelah menunaikan sholat Subuh, masyarakat Mesir gemar menghabiskan waktu pagi nya di kedai kopi sembari sarapan pagi, tak lupa dua cangkir kopi dan keju putih yang selalu menemani.
Azbakiyah, Mosky dan Khan Khalili merupakan daerah-daerah yang sangat populer bagi penjaja kopi sampai hari ini. Setiap kedai seakan mempunyai ruh tersendiri. Disinilah tempat berkumpulnya sastrawan kenamaan Mesir, termasuk petinggi dan ulama Al-Azhar, dan juga penganut tarekat. Sebut saja, Naguib Mahfudz. Dari maqha favoritnya di bilangan Azhar, bernama Kafe El-Fishawy, lahirlah karya novel populer Awlad Haratina dan al-Bidayah wa al-Nihayah.
Bagi para pengikut darvesh sufi, lain lagi. Kafe Wali Ni’am menjadi tempat favorit mereka. Tak jarang ketika festival Maulid Nabi, yang biasanya dirayakan besar-besaran oleh pengikut berbagai tarekat, café-café ini pun mendadak seperti pasar. Ramai sekali. Jangan harap menemukan satu tempat duduk kosong. Bahkan ada yang sampai mengeluarkan kursi sendiri dari rumah penduduk sekitar.
Syari’ Thalaat Harb bercerita tentang kisah lain. Jalan yang terletak di kawasan Wast al-Balad, atau Downtown Kairo ini menjadi saksi perjalanan ambisius seorang Khedive Ismail. Ia membayangkan kawasan ini, kelak, akan menjadi ‘Paris on the Nile’. Benar saja, ia mendatangkan arsitek kenamaan Paris dan mendesain kawasan ini mirip seperti di sudut-sudut kota Paris. Imaji tentang Kairo modern seakan ingin disimbolkan salah satunya dari kawasan ini. Abad 18 dan 19, Downtown menjadi pusat permukiman kaum elite dan menjadi simbol hedonisme nan glamour, khususnya pada periode Cairo’s Belle Epoque.
Café Riche, sebuah warung kopi yang dibangun tahun 1908 masih berdiri tegak di sela-sela apartemen tua berwarna abu-abu gelap. Entah, apa karena diselimuti debu tebal dari arah gurun ketika badai debu yang acapkali datang tanpa diduga, atau memang karena sudah usang. Penjual sayur-mayur dengan gerobak plus keledai nya sesekali melewati jalan ini, tak jauh berbeda dengan sisi lain kota Kairo. Ya, jalan ini adalah jalan yang menyimpan ragam memori sejarah sosial politik Mesir.
Didirikan oleh seorang pebisnis berkebangsaan Jerman, Bernard Steinberg, dan beralih tangan ke Henry Recine seorang warga negara Prancis. Perang Dunia I mengharuskan Recine untuk kembali ke Prancis. Kafe ini kemudian dijual kepada seorang pebisnis keturunan Yunani dan dikelola hingga saat ini.
Syari’ Thala’at Harb seakan ingin berkisah tentang masa lalunya dari sudut ini, dari kedai kopi Riche. Ruangan yang tak begitu besar namun sarat akan narasi cerita tentang perjuangan. Benih-benih pemberontakan Revolusi Mesir tahun 1919 terhadap pendudukan Inggris bermula di café ini, yang diprakarsai oleh Sa’ad Zaghloel, pemimpin Hizb al-Wafd. Bahkan dalam bukunya, “National History of Egypt Between 1914-1921”, Abdul Rahman Rifa’i berkisah tentang peran Kafe Riche sebagai tempat mencetuskan ide-ide revolusi yang dihadiri oleh beberapa kalangan.
Selain politisi, kafe ini juga populer bagi para sastrawan, penyair, kolumnis, penyanyi dan juga jurnalis ternama. Ide-ide tentang nasionalisme Mesir dan kecintaan mereka terhadap negara ini banyak menghasilkan karya yang tak biasa. Bermula dari obrolan ringan hingga rumit yang terjadi di kafe Riche. Sebut saja Naguib Mahfudz. Sebagai anak muda kala itu, ia menjadi saksi revolusi 1919 yang dituangkan dalam berbagai tulisannya. Mahfudz juga sangat kritis terhadap kependudukan Inggris.
Dalam novel pertamanya, “Palace Walk”, yang terangkum dalam trilogi tentang Mesir, Mahfudz berkisah tentang Fahmy sebagai seorang aktifis sekaligus nasionalis. Pemuda brillian ini berasal dari kawasan tradisional Gamaliyya, sebagai narasi dan setting utama dalam novel Palace Walk. Dua kekuatan politik yang menjadi isu utama Mesir saat itu, kesultanan Usmani dengan legitimasi tradisional yang kian memudar serta kemerdekaan negara-negara baru, membutuhkan pengorbanan dari seorang pemuda bernama Fahmy.
Selang beberapa tahun kemudian, kafe Riche kembali menjadi saksi atas revolusi yang diprakarsai oleh beberapa ‘perwira muda’. Konon, Gamal Abd Naser, di salah satu sudut ruangan ini, membuat rencana penting untuk menurunkan Raja Farouq pada 23 Juli 1952. Namun, sesaat setelah Nasr berkuasa, situasi kafe berubah. Nasr membungkam siapa saja yang bicara tentang politik, terlebih mereka yang tak setuju dengan pemerintah. Beberapa penulis dan jurnalis diasingkan jika menulis dan mengkritik pemerintah. Dalam beberapa tahun tersebut, Mahfudz juga mendadak bungkam. Berdbeda dengan Sa’ad Zaghloul, ia pindah ke Prancis dan bisa menulis secara bebas di era represif Naser.
Ahmad Shawky berkisah tentang kebungkaman yang terjadi di era Naser yang saya baca di sebuah petikan wawancara Ahmed Syawki dengan Peggy Biebers-Robert dalam sebuah jurnal “Café Riche: Memory in the Formation of Egyptian National Identity”.
“I remember in the 60’, we were whispering, you know, because of the Nasser era. The political issues are not welcomed. You cannot discuss it openly because some people were sitting around you. I think some of the journalist were reported to the police and removed. The next day we don’t find Edin and we learned that …because of all the discussion that happened yesterday. He talked about Nasser and military junta”.
Perjalanan Kafe Riche begitu panjang. Masa keemasan kedai kopi ini terjadi di era 50-an hingga 70-an. Sebelumnya, para artis, sejarawan, penulis, essais, novelist, sinemais, gemar berkumpul di sebuah kafe tak jauh dari Riche. Namanya, Isavic Café, kedai kopi yang dimiliki oleh seorang keturunan Yugoslavia. Sesaat setelah Josiv Broz Tito berkunjung ke Mesir, kafe ini tutup. Perkumpulan masih berlanjut, hanya saja berpindah ke Kafe Riche, yang ketika itu dikenal sebagai kafe nya para elit.
Memasuki kafe ini seakan berada di era 60-an. Berbagai foto artis, novelis, akademisi, dan jurnalis ternama Mesir terpampang rapi di sudut café. Termasuk Umi Kulsum, yang berada tepat di bawah tangga dengan ukuran gigantis. Nama lain, seperti Thaha Husein, Naguib Mahfudz, Abbas Akkad, Tawfik Hakim, Yusuf Idris terlihat berjejer berwarna hitam putih.
Segelas kopi hitam pekat dan Karkadea menemani siang menjelang sore di saat terik matahari mencapai puncaknya di akhir bulan Agustus. Tidak sulit menemukan café Riche. Desain kayu berwarna coklat mampu mengalihkan perhatian saya di antara bangunan-bangunan tua semi hitam di bundaran Thala’at Harb.
Ya, secangkir kopi, selalu membawa kisah sekaligus perubahan. Perubahan yang acapkali bisa dilihat secara kasat oleh mata lintas zaman dan peradaban. Buah pikiran yang terejawantahkan dalam bentuk ide-ide segar bisa saja muncul dari kedai-kedai kopi elit, atau bahkan dari sepetak warung kopi sederhana di pinggir jalan. (aa)